Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menggelandang Perdana di 2020

5 Januari 2020   12:06 Diperbarui: 5 Januari 2020   12:20 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi pribadi

Jika ada yang bertanya seperti apa saya mengawali cerita 2020 dalam hidup saya? Saya akan menjawab: Menggelandang di kota orang.

Ini bermula karena tugas peliputan yang diberikan oleh atasan saya untuk konsep tematik yang diberlakukan oleh kantor saya per 2020 ini. Tahun baru, konsep baru, etos kerja baru, pengalaman baru, dan mudah-mudahan kesuksesan yang baru bagi saya juga bagi kantor di mana saya bekerja. Amin. 

Kebetulan saya ditugasi mewawancarai orang-orang bersuku Karo yang memiliki nama unik. Sejak mendapati tugas itu (Minggu, 29 Desember 2019) sebetulnya saya telah berupaya maksimal untuk mencari informasi terkait itu. Bertanya kepada teman-teman, bertanya kepada saudara seibu dan sebapak. Namun hingga Selasa, upaya saya nihil. Entah apa yang merasuki saya, pada Rabu (1/1) tiba-tiba terlintas begitu saja ide di dalam benak saya untuk langsung mendatangi pusat hidupnya masyarakat bersuku Karo itu. Ya di mana lagi jika bukan di Berastagi, Sumatera Utara, dan sekitarnya. 

Saat itu saya hanya berpikir sederhana. Mendatangi kota itu, kemudian berharap bisa menemukan narasumber yang tepat untuk tugas peliputan saya. Melakukan wawancara, kemudian kembali ke Medan. Bonusnya bisa jalan-jalan ke kota yang kental disebut sebagai 'kota buah' dan 'negeri di atas awan' itu. Liputan sembari berwisata, bukankah itu menyenangkan. 

Karena skema di benak saya sesederhana itu, tentu agenda bermalam tak termasuk dalam rencana. Maka gaya saya santai saja. Memakai celana pendek 7/8, alas kaki tanpa kaos kaki, tubuh yang dibalut hoodie tebal berkupluk, dan menyandang tas kecil. Pun begitu dengan suami yang menemani saya. Hanya memakai celana pendek 7/8, mengenakan jaket tebal, dan sebuah topi yang nangkring menutupi kepalanya. 

Kami bergerak dari Kota Medan sejak pukul 17.00 WIB. Dengan menaksir waktu perjalananan yang normalnya hanya memakan waktu dua jam saja ini, kami pastikan akan sampai pada pukul 19.00 WIB. Ah, kami memang terlalu percaya diri. 

Bayangan kami memang tak neko-neko. Apalagi kami pikir, orang-orang yang merayakan malam tahun baru di kota itu pastilah sedang bergerak pulang menuju rumahnya ke kotanya masing-masing. Tiba di Pancur Batu situasi jalanan tampak normal. Tak terendus wangi macet sepanjang kami jalani. Meski hujan tipis mengawani perjalanan kami, tapi semuanya masih terlihat aman juga nyaman. 

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Kota Berastagi yang berjarak sekita 65 kilometer dari Kota Medan ini memang memiliki pesonanya tersendiri. Secara pribadi saya selalu gembira setiap kali datang ke kota ini. Meskipun jalan mendaki, berkelok yang ditempuh, namun udara dinginnya selalu menenangkan. Perasaan saya damai saja kalau sampai di kota ini. 

Mendekati kawasan Sembahe, situasi jalanan tampak timpang. Terlihat jalur arus balik dari arah Berastagi begitu padat. Sementara jalur arus datang dari Medan menuju Berastagi begitu lengang. Keadaan jalan begitu terus, hingga puncaknya di kawasan Penatapan. Lokasi ini merupakan titik peristirahatan awal pengunjung yang datang ke Berastagi. Sepanjang kawasan Penatapan, terdapat warung jagung yang mewarnai di setiap sisi jalan. Sehingga banyak kendaraan yang parkir di sisi kanan dan kiri jalan. Itu sebab jalanan yang macet jadi tambah macet.

Belum lagi kabut yang menyertai perjalanan. Boleh dibilang jarak pandang mata hanya lima meter. Begitupun keadaan ini tak menyurutkan langkah. Kami malah penasaran dan ingin mengetahui titik akhir dari kemacetan ini. Apa sebab, dan apa yang sebetulnya terjadi di depan sana. Melewati kawasan Penatapan, kemacetan kian menjadi-jadi. Kendaraan bahkan tak bergerak. Hanya pengendara sepeda motor saja yang nampak bergerak mengambil sisi kiri jalan. Pelan-pelan, yang penting selamat. 

Sebagian pengendara sepeda motor ada juga yang enggan melewati sisi kiri badan jalan. Pasalnya hujan yang tak berhenti membuat tanah cokelat berlumpur menjadi becek dan licin. Dikhawatirkan sepeda motor malah tak bisa melalui jalan itu, hingga akhirnya terjebak atau malah tergelincir karena licin. 

Pukul 21.30 WIB, akhirnya kami sampai ke pusat kota Berastagi, Karo. Melebihi target waktu sampai yang sebelumnya telah kami prediksi tiba pukul 19.00 WIB. Ternyata puncak kemacetan terjadi di sini. Jalan lingkar yang mengelilingi tugu kota disesaki kendaraan, dan tak satupun kendaraan yang bergerak. Gara-gara kemacetan itu, hampir semua tempat disesaki manusia. Mulai dari SPBU, warung kaki lima, kafe-kafe, hingga mini market di kota ini. Orang-orang seperti membunuh waktu, menunggu berakhirnya macet yang melanda jalanan di Berastagi. 

Seperti rencana semula, kami pun memasuki warung kopi yang sebenarnya lebih tepat disebut coffee shop. Sembari melepas lelah perjalanan, juga menebar pesan kepada teman-teman yang tinggal di kota ini. Siapa tahu ada teman yang bisa membantu, mencarikan narasumber yang pas untuk diwawancarai. Gayung bersambut, pesan kami disahuti. Tapi keberadaan narasumber itu tidak di Berastagi, namun di Kabanjahe. Tepatnya di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabanjahe. Jaraknya dari Berastagi sekitar 6,3 kilometer, memakan waktu sekitar 15-30 menit. 

Tanpa pikir panjang, kami pun bergegas ke sana. Saat itu waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Kami memang nekat. Padahal memasuki Kabanjahe, jalanan sudah sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan saja yang melintas. Rumah-rumah penduduk juga terlihat sepi. Begitu juga ketika memasuki Desa Suka. Keadaan sekelilingnya didominasi sawah dan ladang dibandingkan rumah penduduk. 

Terus terang ada perasaan cemas, namun kami pasrah. Tak boleh kendur, apalagi menyerah. Hingga akhirnya sampailah kami di warung kopi yang di maksud. Waktu menunjuk pada angka 23.30 WIB. Teman bersama nara sumber pilihan itu menyambut kami dengan senyuman. Mereka kaget kami mengendarai sepeda motor. Dalam pikir mereka, kami mengendarai mobil. Ya kami memang nekat. 

Wawancara berlangsung santai juga luwes. Sesekali kami tertawa mendengar kisah di balik nama sang nara sumber. Tanpa terasa, waktu sudah menunjuk pukul 01.00. Mau tak mau rencana bermalam masuk dalam agenda peliputan kami malam itu. Karena tak mungkin kami langsung kembali pulang ke Kota Medan. Untuk yang satu ini, kami tidak mau nekat. Skema rencana susulan pun tercipta di benak kami. Beristirahat sebentar di hotel, menunggu pagi, baru pulang ketika matahari bersinar di Karo. 

Lantas teman kami itu pun mengantarkam kami ke sebuah tempat penginapan yang berada di pusat kota Kabanjahe. Setelah mengucapkan terima kasih dan saling bersalaman, kami pun memasuki tempat penginapan itu. Belum lagi sepeda motor kami terparkir, seorang lelaki bertubuh besar mengatakan kalau kamar sudah penuh. Sekalipun ada yang kelas VIP, biayanya mencapai satu juta rupiah per malam. 

Sementara kami hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk beristirahat. Kami pun menolak, lantas berbalik arah meninggalkan tempat penginapan itu. Tak patah arang, kami terus mencari tempat penginapan. Mendatangi satu per satu tempat penginapan. Namun nihil, kamar di seluruh tempat penginapan di kota ini penuh. 

Mungkin dengan bantuan aplikasi traveloka atau mesin pintar google, kami bisa mendapatkan informasi. Nihil juga. Informasi yang kami dapatkan hanyalah sebuah pemberitahuan yang mengabarkan, semua kamar hotel di kota ini penuh. Termasuk Redoorz, juga OYO. Tak satupun yang masih menyediakan kamar kosong. Penuh. 

Karena hanya butuh istirahat beberapa jam, kami pun menyasar warung kaki lima, kafe, sampai restoran yang buka 24 jam. Ternyata setiap kali ditanya, jawaban pemilik tempat makan itu serupa. Sebentar lagi warung, kafe, restoran mereka akan tutup. Kami mati bakat, juga mati langkah. Tak tahu mau istirahat di mana. Juga tak mengerti harus ke mana.

Sampailah kami mendatangi sebuah mini market.  Terletak di Jalan Tambak Lau Mulgap, Berastagi. Ini merupakan satu-satunya mini market yang masih buka kala waktu sudah menunjuk pukul 02.00 WIB. Kepada pegawainya pertanyaan sederhana kami lontarkan. Apakah mini market ini bukan24 jam? Sang pegawai mengangguk. Kami pun gembira, segembira mendapatkan tempat penginapan. 

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi
Mini market ini menyediakan beberapa meja dan tempat duduk di dalam. Juga ada meja panjang dan beberapa kursi. Lengkap juga menyediakan air panas untuk menyeduh mie, juga tersedia mesin kopi instan. Ketika berada di dalamnya, suhu ruangannya begitu hangat. Sangat kontras dengan suhu di luar ruangan. Tak hanya menyediakan kursi di dalam ruangannya, mini market ini juga menyediakan beberapa kursi di luar ruangan. Beruntung pengunjung yang datang ke mini market ini boleh menggunakan fasilitas kamar mandi yang disediakan. 

Tanpa membuang waktu, kami pun menuju meja panjang itu. Menduduki kursi, kemudian melipat tangan kami sembari meringkuk wajah di balik tangan yang kami lipat. Setidaknya memejamkan mata sejenak sudah cukup. Sesekali kami berganti posisi. Meluruskan kedua kaki, menyandarkan kepala di kepala kursi yang diduduki. Tapi tak juga membuat nyaman. 

Kami tak sendirian. Ada beberapa pengunjung lain di mini market ini. Meski tak saling kenal, tapi nasib kami serupa. Menggelandang di kota orang. Terlantar karena tak mendapatkan tempat penginapan. Begitupun saya salut dengan mini market ini. Apalagi pegawainya begitu ramah dan terbuka menerima orang-orang yang bernasib seperti kami. Saya malah penasaran dengan pemilik mini market ini. Boleh jadi kejadian seperti ini kerap terjadi di awal tahun baru. Dan apa yang saya alami mungkin hanya satu di antara ratusan kejadian yang terus berulang setiap tahunnya. 

Saya akui, untuk pertama kalinya di usia 40 tahun ini, saya kembali melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan oleh kaum muda pada umumnya, yakni begadang semalaman. Menolak kantuk, menjaga sadar harus tetap terjaga. Tapi kenekatan luar biasa tanpa rencana seperti ini merupakan kenekatan kedua kali yang pernah saya lakukan sepanjang saya masih bernafas. 

Kenekatan pertama yang saya lakukan saat saya masih berstatus mahasiswi. Usia saya kala itu masih 20 tahun. Momennya juga serupa, malam tahun baruan. Sekitar 1999 silam. Saya berdua bersama teman saya, berjalan kaki dari Lapangan Monas hingga ke Pancoran. 

Alasannya sederhana, karena pasca kembang api dipetaskan, kami tidak mendapatkan kendaraan angkutan umum untuk pulang ke Depok. Maka kami pun berjalan kaki. Saya ingat, kami sesekali berhenti di depan gedung-gedung pencakar langit. Duduk di rumput-rumput taman gedung, hingga akhirnya diusir satpam. Karena rumput tidak boleh diinjak, apalagi diduduki. 

Rasanya jika ditaksir saya selalu melakukan kenekatan setiap 20 tahun sekali. Sebelumnya usia saya 20 tahun, dan hari ini ketika saya berusia 40 tahun. Dua puluh tahun lagi, usia saya menginjak 60 tahun. 

Saya malah penasaran, kenekatan apa lagi yang akan saya lakukan di usia itu. Ah, untuk apa berandai-andai tentang itu. Siapa tahu nafas saya telah terhenti di usia itu kan? Yang pasti saat menggelandang di Tanah Karo kami sangat merindukan kasur tipis yang sempit itu. What a day...

Foto: Dokumentasi pribadi
Foto: Dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun