Lagian, terang saya kala itu, seorang jurnalis, apakah ia berkelamin perempuan atau berkelamin pria sejatinya mengusung prinsip tidak gender. Tapi lihatlah kak, saya jelaskan padanya. Mana kekompakan jurnalis perempuan di kota ini. Sekali ada peristiwa besar, kita hanya mengerjakan beban 'lepas utang' kan? Meliput hanya karena memenuhi tugas yang ditetapkan oleh perusahan media di mana kita bekerja.Â
Secara pribadi saya butuh lebih dari itu. Dalam bayangan saya teman-teman jurnalis perempuan akan meliput bersama-sama, membuat tulisan bagi yang pewarta tulis, membuat foto story bagi yang pewarta foto. Melihat hal-hal yang melebihi dari peristiwa itu sendiri. Tanpa melihat apa jabatannya di kantor.Â
Apakah ia hanya menjabat sebagai pewarta tulis, atau sebagai pewarta foto, sekalipun ia menjabat sebagai redaktur, bahkan seorang pemimpin redaksi, tapi para jurnalis perempuan ini turun bersama-sama meliput peristiwa dalam sudut pandang yang sama, yakni angel keibuan.Â
Keibuan
Apa angel keibuan? Ya, ibu. Sosok yang melahirkan kita ke dunia. Sosok di mana surga diletakkan di bawah telapak kakinya. Seperti ibu, begitulah laiknya jurnalis perempuan melakukan sebuah peliputan. Tak harus sempurna, namun mengandung nilai-nilai luhur keibuan. Tak juga harus memilih nara sumber ibu-ibu untuk menunjukkan angel keibuan.Â
Tapi bagaimana jurnalis perempuan peka dalam memandang peristiwa. Melalui angel ini, tulisan yang dihasilkan bukan hanya menenangkan juga mencerahkan. Adem membacanya.Â
Ya sebut saja jurnalis tanpa ada kata perempuan. Justru saya melihat dengan menegaskan jenis kelamin para jurnalis itu idealnya menawarkan sebuah formula lain. Sehingga terasa perbedaan dalam perilaku menjalankan profesinya juga dalam karya-karya berita atau tulisan yang dihasilkan.Â
Syukurnya pimpinan organisasi jurnalis perempuan itu memiliki kematangan dalam bersikap. Ia dengarkan celoteh kegelisahan saya, dan diakuinya ia tak menampik kenyataan itu. Ia juga membenarkan jurnalis perempuan belum sepenuhnya bisa berbuat sebebas itu. Apalagi bagi jurnalis perempuan yang telah menikah dan memiliki anak.Â
Melakukan sebuah peliputan secara komunal tentu menghabiskan waktu yang panjang. It is impossible, bilangnya. Seringkali unsur pasangan hidup (suami) dan buah cinta hasil pernikahan (anak) menjadi alasan yang paling sering diungkapkan para jurnalis perempuan. Jika sudah begitu, apalagi yang bisa diperbuat kan?
Lalu di mana nilai-nilai kesetaraan gender yang digaung-gaungkan itu. Saya khawatir teman-teman malah tidak memahami defenisi soal kesetaraan gender. Atau malah hanya memahami secara sempit perihal kesetaraan gender. Justru menurut saya, inilah panggung untuk membuktikan tentang kesetaraan gender itu. Bahwa dalam pekerjaan perempuan juga bisa setara dengan kaum pria.Â