"Kak, saya merasa ada yang tidak beres dengan diri saya, tapi saya tidak tahu itu apa," kata seorang anak perempuan berusia belasan tahun kepada saya. Sore itu, gadis ini datang seorang diri untuk menemui saya dalam sesi hipnoterapi. Dia tidak banyak bicara. Hanya saja, deret kalimat tersebut tidak hanya satu-dua kali dia ucapkan, tetapi berulang kali.
Sebut saja nama klien ini adalah Sekar (bukan nama sebenarnya). Awalnya, dia hanya menjawab satu-dua patah kata atas pertanyaan-pertanyaan saya. Saat bingung atau enggan menjawab, dia hanya memilih diam.Â
Namun saat sudah merasa nyaman, perlahan Sekar mulai menyadari, bahwa ketidaknyamanannya selama ini berhubungan erat dengan masa kecilnya saat kedua orang tuanya berpisah. Butuh waktu yang cukup lama untuk memproses perasaan-perasaan yang tidak nyaman ini. Sedih, tentu. Menyesakkan, iya. Namun, ketidaknyamanan ini perlu dirasakan kembali, untuk kemudian diterima dan didamaikan di dalam hati.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh "Sekar-Sekar" yang lain. Tentu saja dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda satu sama lain. Ada yang hanya tinggal dengan ayahnya, ada yang hanya tinggal dengan ibunya, dan ada juga yang tidak tinggal dengan keduanya. Namun berdasarkan pengalaman saya, mereka memiliki kesamaan, yaitu (kebetulan)usia mereka masih cukup belia. Saya pun memberikan apresiasi atas keberanian dan kepedulian mereka atas diri sendiri untuk pulih.
Di sini, saya sama sekali tidak turut campur perihal permasalah orang tua. Pada dasarnya, setiap pasangan tentu memiliki alasan tersendiri, ketika memutuskan untuk hidup bersama maupun akhirnya berpisah.Â
Itu merupakan hak setiap pasangan yang tidak dapat dicampuri oleh pihak lain, maupun terapis. Dan dalam beberapa kasus menghadapi anak-anak korban broken home, tugas saya adalah mendampingi dan menguatkan hati mereka yang pernah terluka.
Anak-anak yang ditinggalkan orang tua saat masih kecil, tidak memahami alasan perpisahan ayah dan ibunya. Entah itu karena perbedaan prinsip, rasa cinta yang memudar, faktor ekonomi, adanya orang ketiga, dan sebagainya. Anak tidak memahami semuanya itu.Â
Terlebih lagi, jika usia anak ada di kisaran 0 hingga 13 tahun, pikiran bawah sadar anak masih aktif. Hal inilah yang membuat anak-anak belum bisa menganalisis dengan baik tentang apapun. Apalagi, mereka belum memiliki pengalaman di masa lalu untuk berpikir.
Yang bisa mereka lakukan adalah menerima apapun dari panca indera, seperti ekspresi marah orang tuanya, suara caci-maki saat ada pertengkaran, dan rasa sakit ketika lengan anak dicubit. Biasanya di usia tersebut, anak-anak tidak bisa berbuat banyak. Mungkin hanya terdiam atau bahkan menangis. Bingung. Takut.
Waktu pun berjalan, kehidupan terus berputar, anak pun semakin bertumbuh dan bertambah usia. Mungkin ada yang beranggapan, bahwa atas suatu kejadian, waktu kan menjawabnya.Â
Namun, dari sisi psikologi menyebutkan, bahwa pertambahan usia tidak menjamin seorang anak seketika bisa memahami apa yang terjadi di masa lalu, sekalipun usianya mulai beranjak dewasa.Â
Pasalnya, saya pernah membaca sebuah buku yang menyebutkan bahwa, efek dari kejadian di masa lalu bisa dirasakan sekitar 10 tahun kemudian. Dan sebagian besar ini terjadi di para klien saya pula. Bahkan mereka dapat mengingat dan merasakan kembali dengan persis, bagaimana perasaan dan sensasi di tubuh mereka pada saat itu.
Kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan?
Jika kamu sudah atau akan menjadi orang tua, teruslah belajar dan bertumbuh bersama pasangan dan anak-anakmu. Belajarlah dari mana saja. Buku, kelas online, internet, dan sebagainya. Pasalnya, menjadi orang tua di era sekarang, tidak bisa disamakan dengan menjadi orang tua di masa lalu. Tidak cukup kita hanya menggunakan pengalaman seperti cara orang tua mengasuh saat kita masih kecil. Ya mungkin beberapa poin, masih bisa diterapkan. Namun, ada juga yang tidak relevan, karena jika ada hal-hal yang belum tuntas di masa lalu, justru bisa melahirkan intergeneration trauma. Apa lagi itu ? Next kita akan bahas di tulisan berikutnya.
Jika kamu masih berstatus sebagai seorang anak (yang mungkin masih terluka), sadari bahwa setiap orang memiliki cerita dan jalan masing-masing untuk pulih. Tinggal seberapa besar keinginan dan kemauanmu untuk pulih dan kembali menjadi sosok sebagaimana fitrahnya dirimu. Ada yang mampu menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan dan perjalanan semesta, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia untuk dapat memulihkan dirinya sendiri. Namun, ada juga yang memerlukan bantuan terapis atau profesional.
Ingat, kamu tidak sendirian. Kamu masih punya Tuhan yang menciptakan dan mencintai kamu dengan sempurna sesuai dengan cara-Nya. Kamu juga masih punya dirimu yang selalu ada, kapan pun kamu perlu teman untuk bercerita. Dan coba kamu ingat kembali, siapa saja orang-orang yang selalu ada buat kamu. Kalau tidak ingat, tidak apa-apa. Di sini, saya hadir untuk menemani kamu dan perjalanan pulihmu. Sini, peluk dulu!
Kediri, 23 Mei 2023
Luana Yunaneva
Hipnoterapis profesional & founder @serenity.hipnoterapikediri
Trainer BNSP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H