Bicara tentang sosok Mama, memang tidak ada habisnya dan tak lekang oleh masa. Apalagi, saya dan Mama memiliki hubungan yang sangat dekat. Saking dekatnya, sejak dulu saya lebih banyak curhat dengan Mama dibandingkan orang lain. Bahkan urusan sereceh cinta monyet saya pun, Mama tahu, hehehe. Namun sejak menikah, saya mulai membatasi untuk bercerita panjang lebar seperti dulu dan saya bersyukur, Mama mampu memaklumi dan malah mendukung keputusan saya tersebut.
Di balik kedekatan hubungan kami layaknya sahabat, Mama adalah orang terbaik dan tersabar yang pernah saya kenal.
Saya bilang orang terbaik, bukan karena beliau adalah Mama saya, melainkan Mama selalu menjadi teladan bagi keluarga kecilnya, termasuk saya. Secara kasat mata, Mama tampak biasa saja. Seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan hari-harinya di rumah, dengan usaha sampingan yang mampu menopang perekonomian keluarga.
Meski demikian, Mama sangat berkomitmen atas segala yang dilakukannya. Pekerjaan rumah dilakukannya secara profesional, tanpa saya pernah mendengar keluh kesahnya. Sejak saya masih kecil sampai sekarang, rumah selalu tampak bersih. Nyaris tanpa noda.
Tentu ini tidak mudah karena semuanya dilakukannya seorang diri, tetapi beliau melakukannya setiap hari. Sampai beberapa waktu yang lalu saat saya mengobrol berdua dengan Papa, Papa memujinya, "Papa itu nggak tega menyakiti Mama. Orangnya sangat baik dan sayang keluarga." Saat mendengarkan curahan hati kecil Papa, hati saya trenyuh.
Kemudian, saya katakan bahwa Mama adalah orang tersabar. Ya, beliau nyaris tak pernah marah. Kalau pun ada kejadian maupun perkataan yang kurang mengenakkan bagi orang pada umumnya, Mama selalu bisa tersenyum. Bahkan saya pernah menanyakan perasaan Mama atas ketidaknyamanan situasi tersebut, Mama hanya berkata, "Nggak apa-apa. Biasa aja. Mama nggak marah. Disenyumin aja." Saya hanya bisa menggelengkan kepala atas ketulusan dan kesabaran Mama.
Tapi kalau kalian bertanya, apakah Mama pernah marah? Ya, pernah. Tapi selama saya hidup, saya hanya mengingat Mama marah hanya beberapa kali saja. Tidak sampai sepuluh jari, jika jemari digunakan sebagai alat hitung. Kalau pun Mama marah, itu dikarenakan situasi yang sudah tidak mampu dikendalikannya, sehingga beliau merasa lelah.Â
Kalau pun Mama marah, Mama cenderung diam, lalu melampiaskannya dengan semakin giat membersihkan rumah. Kalau pun Mama marah dan tak mampu membendungnya dalam kesunyian, Mama hanya bisa menangis dan menjelaskan apa yang dirasakannya. Lalu sesudahnya, beliau mampu kembali dalam mode normal. Sekalipun saya tidak tahu sesungguhnya, bagaimana isi hatinya.
Mama pun sangat sabar dalam mengajar anak-anaknya. Dari segi pendidikan, Mama hanya lulusan SMA, tetapi Mama tidak pernah luput akan keseharian dan pencapaian anak-anaknya. Kalau dulu zaman sekolah, Mama selalu menanyakan perihal tugas dan ulangan untuk keesokan harinya.Â