Bekerja sesuai minat tentu menjadi harapan para mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikannya di universitas. Tak hanya ingin lepas dari tanggungan kedua orang tua tetapi dengan bekerja, mereka bisa mengaktualisasi diri di masyarakat. Yang lebih menyenangkan lagi, dengan memiliki penghasilan sendiri, anak muda bisa membeli apapun sesuka hati, tanpa merepotkan keluarga.
Pemikiran tersebut pernah terlintas di benak saya setelah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu. Mengantongi status diterima di salah satu radio berita swasta di Surabaya, saya bertekad untuk belajar hidup mandiri dan tak menjadi tanggungan keluarga. Menjadi anak kos pun tak menyurutkan keinginan saya untuk bekerja dan berkarya di luar kota. Padahal bisa dibayangkan, biaya hidup di kota besar tidak semurah di kota kecil seperti domisili saya, Kota Kediri.
Namun saya bersyukur, hidup di perantauan membuat saya belajar mengelola keuangan yang sebelumnya tak pernah saya lakukan ketika hidup bersama kedua orang tua. Saat itu saya memikirkan segala cara agar penghasilan rutin setiap bulan cukup untuk membayar kamar kos, listrik, air, makan, transportasi dari rumah kos menuju kantor maupun mudik ke kampung halaman, perpuluhan serta berbagi dengan keluarga. Perihal cukup tidaknya, ya harus dicukupkan menggunakan "sistem amplop", begitu pikir saya. Dengan menyediakan amplop bertuliskan alokasi dana dan penggunaannya, saya berharap tidak akan mengambil jatah milik amplop lain.
Tadinya sempat khawatir juga kalau tidak ada saldo dari gaji pertama saya bekerja selepas lulus kuliah. Namun saya cukup terkejut ketika melihat amplop bulanan tersebut yang masih menyisakan sedikit uang. Dengan adanya saldo tersebut, saya semakin yakin untuk menambahkan satu amplop bertuliskan "tabungan".
Saya pun mulai menabung dengan nominal kecil menggunakan sistem amplop bulanan, sembari menjalani kehidupan dengan segala kebutuhan anak muda. Pundi-pundi amplop tersebut saya simpan dulu di dalam lemari, kemudian saya setorkan ke rekening pribadi di bank. Anehnya, menabung ternyata tidak membuat saya mengalami kekurangan. Yang ada justru rasa aman karena saya memiliki dana cadangan kalau sewaktu-waktu saya membutuhkannya.
Saat mulai bosan menabung dengan sistem amplop yang disetorkan ke bank setiap bulannya, saya mendapatkan penawaran tabungan berjangka dari customer service dari bank tempat saya menabung. Produk perbankan tersebut menawarkan penyimpanan uang dalam durasi mulai satu tahun dengan bunga yang lebih besar dibandingkan bunga rekening biasa.
Awalnya saya sempat ragu dan khawatir dari segi keamanannya. Namun setelah memastikan bahwa bank tersebut terjamin keamanannya, akhirnya saya pun mengikuti program tabungan berjangka dalam kurun waktu setahun.
Setahun berlalu, tabungan berjangka pun cair sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Alhasil, saya pun ketagihan mengikuti program tersebut karena saya merasa terbantu dalam menabung setiap bulannya. Kondisi "terpaksa" karena terikat kontrak dengan bank-lah yang membuat saya rutin menabung setiap bulan dengan nominal pasti. Coba kalau menabung dengan sistem amplop, belum tentu saya bisa menabung rutin setiap bulan dengan nominal yang sama. Yang ada, saya bisa menoleransi diri sendiri tanpa pengawasan, "Ah, tidak apa-apa kalau saya pakai alokasi ini untuk membeli ini-itu."
Ketagihan menabung secara terikat melalui program tabungan berjangka, membuat saya akhirnya mengikuti program yang sama di dua bank yang berbeda. Tentu saja setelah memastikan keduanya aman dan tergabung dalam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dari segi bunga, tentu lebih besar dibandingkan tabungan biasa. Namun saya lebih mengutamakan sisi keamanannya di mana tabungan saya akan cair pada waktu yang telah disepakati bersama dalam perjanjian. Selain itu dengan tabungan tersebut, saya memiliki "pegangan" jika sewaktu-waktu saya membutuhkan dana dalam jumlah besar ke depannya.
Pernyataan di atas tentu menjadi tanda tanya bagi sebagian orang, "Baru pertama kali bekerja koklangsung menabung, mana bisa? Dinikmati dulu donk!" Namun Farid menceritakan, ada seseorang yang pernah memberinya tips menata keuangan, yaitu setiap kali seseorang mendapatkan keuntungan sebesar Rp25,00, gunakan Rp5,00 untuk makan, Rp5,00 untuk kebutuhan seperti membayar uang sekolah, dan sisanya ditabung. Jadi, menabung dan berinvestasi sudah memiliki porsi tersendiri sejak awal mengantongi uang.