Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Trainer BNSP RI, Public Speaker & Professional Hypnotherapist email: Luanayunaneva@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Media Sosial dan Keluarga Pejuang LDR

16 Agustus 2017   13:37 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:15 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang menjalani long distance relationship (LDR) dengan orang yang dikasihi (sumber: liputan6.com)

Pedang bermata dua, istilah tersebut acapkali ditujukan pada media sosial dewasa ini. Ketika berada di tangan orang yang tepat, ia dapat memberikan banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Entah untuk mempermudah komunikasi, menjalin relasi baru hingga menjalankan bisnis. 

Namun sebaliknya, jika disalahgunakan, media sosial dapat membuat penggunanya kecanduan hingga tahap yang mengkhawatirkan, mulai dari kehilangan kehidupan sosialnya yang sebenarnya hingga menjadi korban penipuan. Apalagi cara mengakses media sosial kini sangat mudah, yakni cukup dalam satu genggaman tangan dan satu sentuhan.

Dengan munculnya aneka gadge tdalam berbagai model, merek dan harga dalam satu dekade terakhir, banyak orang tua sudah membekali anak-anaknya dengan benda yang muat dimasukkan ke dalam saku tersebut. Jangankan membekali dengan handphone, anak balita saja sekarang sudah bisa mengoperasikan Android dan mengakses Youtube dengan mudah. Bahkan lebih cepat daripada kakek-nenek dan orang tua kita mungkin.

Hal ini berbeda dengan masa kecil saya di mana tidak banyak orang tua yang mempercayakan handphoneuntuk buah hatinya. Ponsel pertama saya, Nokia 3315 saja merupakan doorprize ketika mengikuti tryout tingkat sekolah menengah pertama (SMP) yang diadakan sebuah lembaga kursus. Untuk menggunakannya pun, saya harus bergantian dengan Mama setiap harinya, tergantung siapa yang sedang membutuhkan. 

Kalau pun saya membawa handphone itu ke sekolah, harus ada alasan yang kuat, mengapa saya harus membawanya. Misal, ketika saya sedang sakit sehingga handphoneakan memudahkan saya dalam berkomunikasi dengan orang tua.

Teknologi yang semakin maju sebaiknya disikapi dengan penggunaannya yang bijak. Tak jarang ketika sedang nongkrong di kafe atau makan malam di sebuah restoran, saya mengamati suasana yang janggal. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak sedang duduk bersama, namun mereka tampak sibuk dengan gawai di tangan masing-masing. 

Ketika makanan datang, mereka tidak berdoa bersama lalu segera menikmati makanan sembari mengobrol sesekali tetapi justru asyik mengambil gambar dengan gadget lalu mengetikkan sesuatu. Mem-posting-nya di media sosial sebagai bukti eksistensi diri, mungkin. Sesudahnya, mereka langsung menyantap hidangan di depan mata tanpa memaknai kebersamaan bersama orang-orang tercinta.

Ilustrasi keluarga yang sibuk dengan ponsel masing-masing saat makan bersama (sumber: dailymail.co.uk)
Ilustrasi keluarga yang sibuk dengan ponsel masing-masing saat makan bersama (sumber: dailymail.co.uk)
Dalam hati, saya miris melihat pemandangan tersebut. Ponsel dan media sosial, dua hal yang mendekatkan orang-orang yang jauh namun menjauhkan orang-orang yang dekat. Asyiknya menjalin komunikasi menggunakan media sosial kerap membuat manusia lupa untuk memperhatikan orang-orang yang berada di dekatnya. 

Mungkin kita dan saya juga. Namun sedikit demi sedikit saya belajar untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial ketika menjalani long distance relationship (LDR). Bukan dengan pasangan melainkan keluarga.

Dua tahun yang lalu, keluarga kami sempat menjalani LDR di mana seluruh anggota keluarga berada di provinsi yang berbeda. Papa dan Mama tinggal di Papua, adik berdomisili di Jawa Timur dan saya berada di Jawa Barat. Tak mudah menjalani hari-hari ketika kami berempat hidup berjauhan dalam waktu yang bersamaan untuk yang pertama kalinya.

Proses adaptasi dengan lingkungan baru di kediaman masing-masing yang tak diimbangi dengan curhat bersama keluarga, seperti kebiasaan kami di rumah, menjadikan kami sempat stres. Belum lagi semenjak LDR tersebut, adik mengalami kecelakaan beberapa kali sehingga membuat kami sekeluarga kepikiran. Namun memang, diperlukan ketenangan dalam menyikapi keadaan dan memikirkan solusi yang terbaik bagi semuanya, terutama dari segi komunikasi.

Pengenalan Media Sosial Lintas Generasi

Perlahan, saya mulai mengenalkan smartphonekepada orang tua. Menjadi tantangan tersendiri ketika saya mengajarkan pengoperasian Android kepada mereka, terutama Mama. Mulai dari menggunakan kamera ponsel, menulis pesan melalui WhatsApp (WA) dan BlackBerry Messenger (BBM), mengakses Facebook, hingga menggunakan video call melalui Line. Saat di perantauan pun, Mama masih sering menggunakan telepon dan mengirimkan SMS biasa, bukan media sosial kepada kami sekeluarga. Alasannya sederhana, Mama tidak mau ribet.

Namun pengenalan jejaring-jejaring sosial yang terus saya lakukan bersama adik kepada orang tua, membuat mereka mau belajar teknologi sedikit demi sedikit. Beruntungnya, teman-teman kedua orang tua juga menggunakan media sosial. Jadi mau tidak mau, akhirnya keduanya mulai mau belajar. Sesekali mereka bertanya dengan gaya penyampaian yang unik kepada saya dan adik, seperti "Ini apa to, Lu, Dek?" pasti ada. Sambil terkekeh, saya dan adik pun menjelaskan dengaan gaya yang tak kalah konyol, hihihi.

 Membiasakan yang Benar, Bukan Membenarkan yang Biasa

Sapaan kepada keluarga melalui WA seakan menjadi kewajiban bagi keluarga kami setiap pagi, sejak menjalani LDR. Celetukan maupun candaan kerap dilontarkan melalui grup keluarga, tak hanya informasi penting.

Namun grup keluarga ini akan sepi seketika ketika kami sekeluarga mudik. Jangankan meramaikan chatdi grup WA keluarga, menyentuh gawai pun jarang kami lakukan saat berada di rumah. 

Sewaktu mudik Lebaran, misalnya. Celotehan yang biasanya hanya bisa meramaikan grup WA, saatnya disampaikan secara langsung kepada sosok yang dituju sehingga kebersamaan menjadi benar-benar terasa. Sesekali kami juga menyempatkan diri untuk foto bersama maupun selfie untuk mengabadikan kenangan.

Namun dalam beberapa kali mudik bersama ini, kami sudah jarang berfoto bersama dan bepergian ke tempat wisata. Kami malah lebih sering beraktivitas di dalam rumah, entah itu membersihkan dan mengecat rumah, memasak dan menyantap hidangannya bersama, bahkan tidur berdesakan di ruang keluarga sambil menonton televisi. 

Tak ada gambar yang diabadikan. Yang ada hanya kebersamaan yang bisa dinikmati dan dirasakan bersama. Hal ini kami lakukan karena kami ingin membiasakan diri untuk menghargai sedikit waktu yang ada untuk menikmati waktu bersama keluarga, bukan sekadar mengabadikan gambar seperti orang-orang kebanyakan.

Tetaplah Bersemangat, Keluarga Pejuang LDR

Setelah waktu untuk berkumpul dengan keluarga habis, saatnya kembali ke "kehidupan yang sebenarnya" yaitu berkarya di perantauan dalam bidang masing-masing. Rasanya tak enak, memang! But, life must go on.

Foto keluarga kami saat liburan sebelumnya (foto: dokumentasi pribadi)
Foto keluarga kami saat liburan sebelumnya (foto: dokumentasi pribadi)
Di saat seperti inilah media sosial sangat menolong dan membentuk kami, para pejuang LDR, menjadi pribadi sekaligus keluarga yang kuat. Aksesnya yang tak terbatas, asalkan ada gawai dan paket data yang cukup, memudahkan kami untuk saling berkomunikasi dengan lancar, baik saat dalam perjalanan maupun setiba di perantauan.

Selain berkirim kabar, foto-foto juga menjadi saksi aktivitas dan perjalanan kami masing-masing, baik melalui grup WA keluarga maupun jejaring sosial lainnya, termasuk Facebook, Twitter, blogdan Instagram. Kami bersyukur, pesan demi pesan yang dikirim menjadikan hati kami semakin dekat, bahkan lebih dekat dibandingkan ketika kami masih tinggal dalam serumah, meski jarak memisahkan.

Ini cerita keluargaku, bagaimana cerita keluargamu?

Kediri, 16 Agustus 2017

Luana Yunaneva

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun