"Perbankan Syariah”, dua kata yang enggan saya lirik ketika pergi ke sebuah bank. Dalam benak saya, perbankan syariah hanya ditujukan pada umat Muslim yang hendak melakukan transaksi dalam bidang perbankan karena ada penekanan kata “syariah” di belakangnya. Berarti, seorang non-Muslim seperti saya – mungkin – tak cocok bahkan tak dapat mengikutinya karena ada label agama yang muncul. Sementara untuk mendaftar pun, tentu saja harus menyertakan berkas seperti kartu tanda penduduk (KTP) yang jelas-jelas menunjukkan identitas agama pemiliknya.
Namun pemikiran tersebut akhirnya mulai luntur pada Desember 2015 lalu. Saat itu saya berkunjung ke sebuah bank swasta untuk mengikuti program tabungan berencana. Kemudian customer service (CS) menjelaskan beberapa program tabungan berencana secara umum yang dimiliki oleh bank tersebut. Melihat saya yang mulai menimbang-nimbang sejumlah hal, mbak CS pun memberikan saya opsi tabungan berencana syariah dan menjelaskannya. Baru kali itu saya mendapatkan penawaran produk perbankan syariah. Saya sempat mengernyitkan dahi.
“Lho, Mbak, saya non-Muslim. Bukannya itu hanya untuk customer beragama Islam? Kan nanti daftarnya pakai KTP.”
“Nggak apa-apa, Mbak, ini sistemnya saja kok,” tukas CS itu dengan ramah.
Kemudian ia menjelaskan produk perbankan syariah sesuai kebutuhan saya. Melihat saya yang sempat kebingungan dengan sejumlah istilah seperti hasil, mudharabah, wadi'ah, nisbah dan sebagainya, mbak CS yang ramah berusaha memaparkan definisi tersebut dengan kata-kata yang mudah saya pahami dalam bahasa Indonesia. Pemikiran awal saya bahwa perbankan syariah yang kelihatannya kurang mengikuti perkembangan teknologi pun kurang tepat karena kini perbankan syariah mulai melengkapi dirinya dengan sistem IT yang canggih dan mudah digunakan. Produk-produknya juga tak kalah dengan perbankan konvensional.
Benar saja! Selama saya menabung secara terencana tersebut, tak ada pajak maupun biaya ini-itu yang dikenakan dan ditarik secara tiba-tiba oleh pihak bank. Begitu juga saat jatuh tempo yakni enam bulan, tabungan berencana saya pun langsung cair tanpa potongan biaya. Yang ada malah bertambah dengan bunga, layaknya program tabungan berencana di bank-bank konvensional lain. Dari sini saya melihat, ternyata perbankan syariah bagus juga ya!
Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, perbankan syariah nasional tumbuh sebesar dua kali lipat dibandingkan perbankan konvensional dalam periode tahun 2010 hingga 2016. Pertumbuhan rata-rata (CAGR)-nya bahkan mencapai 24 persen untuk aset serta 25 persen untuk pembiayaan dan DPK.
OJK Perbankan Syariah juga melaporkan bahwa manfaat perbankan syariah tak hanya dirasakan masyarakat di Indonesia tetapi juga dunia. Hal ini dikarenakan kemunculan perbankan syariah mampu mendorong perkembangan industri keuangan syariah lainnya, seperti jasa hukum syariah (arbitrase, persidangan dan sebagainya), pendidikan Islam (hukum, ekonomi, keuangan dan sebagainya), instrumen keuangan syariah (sekuritas, sukuk ritel, reksadana dan sebagainya), institusi keuangan syariah nonbank (asuransi, multifinance dan sebagainya), industri syariah lainnya (hotel, makanan dan fashion) serta dewan pengawas syariah.
Perbankan syariah ini juga memberikan dukungan dalam pengembangan makanan halal, pendidikan dan kesehatan Islam. Perannya juga dilakukan terutama dalam seluruh aktivitas dan transaksi haji dan umrah, seperti dana giro umroh, dana tabungan haji, pembiayaan invstasi untuk haji dan umrah, hingga booking seat pesawat dan hotel.
Tak heran jika perkembangan perbankan syariah ini mendapatkan perhatian dari pemerintah Indosnesia dalam strategi dan kebijakan, di antaranya menetapkan strategi dan arah pengembangan perbankan syariah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPM), menunjuk Perbankan Syariah sebagai Bank Penerima Setoran Haji dan mengelola dana haji; payroll gaji PNS, TNI & POLRI; mitra dalam pembiayaan program Pemerintah, menetapkan instrumen likuiditas perbankan syariah seperti SBIS, FASBIS, Term Deposit, Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA), memberikan program bantuan teknis kegiatan bernilai tinggi, prioritas, dan sektor strategis untuk perbankan syariah, membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada awal 2016 serta menerbitkan kodifikasi produk untuk mempermudah Perbankan Syariah dalam mengeluarkan produk dan aktivitas baru sebagaimana tercantum dalam kodifikasi.
Dukungan lain yang diberikan pemerintah adalah meratifikasi sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Undang-Undang Perpajakan. Tak cukup berhenti di peraturan yang dibuat, pemerintah terus berkampanye tentang perbankan syariah untuk pendidikan dan produk keuangan syariah.
Menjadi salah satu negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, bukan berarti tak ada kendala di Tanah Air. Rata-rata modal inti bank syariah di Indonesia masih terbatas dibandingkan negara-negara Islam lainnya. Keterbatasan tersebut dihadapi dalam bidang ekspansi jaringan kantor, pengembangan infrastruktur dan jasa. Sementara perbankan syariah juga dituntut meningkatkan efisiensi dan daya saing bagi customer dan kandidat pegawai.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga masih belum memiliki pemahaman dan kesadaran mengenai produk dan jasa yang ditawarkan oleh perbankan syariah. Mereka baru terpatok pada produk-produk yang disediakan bank-bank konvensional, terutama yang sudah memiliki citra sebelumnya. Seperti pengalaman saya sebelumnya, kebanyakan orang masih kebingungan dengan rumitnya akad atau proses pendaftaran dan istilah-istilah yang digunakan.
Saya yang non-Muslim saja sudah menggunakan dan merasakan manfaatnya. Kamu kapan?
Kediri, 4 Juni 2017
Luana Yunaneva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H