Dari sebuah panggung yang telah di-setting dalam keadaan gelap, tiba-tiba muncul seorang pria yang berdiri disorot lampu panggung. Ia mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam dan dasi. Sebuah penampilan layaknya seorang pegawai kantoran.
Namun kali ini, ia tidak sedang maupun akan bekerja. Begitu musik mulai dimainkan dengan tempo yang cukup cepat, pria tersebut mulai menggerakkan anggota-anggota tubuhnya. Organ-organ tubuhnya bertumpu pada kedua kaki yang menjadi penentu setiap geraknya.
Tak, tuk, tak, tuk, tak, tuk, begitulah kedua kakinya memainkan peranannya secara bergantian di satu titik sebagai pembuka atraksi pria tersebut. Mengikuti irama, langkah kakinya kelihatan biasa saja memang, dengan ketukan yang sama ketika orang-orang yang menyaksikan penampilannya menggoyangkan kepala ke kiri dan kanan, sebagai tanda menikmati lagu “Les Bourgeois” yang tengah diputar.
Namun ketika danseur – sebutan untuk penari balet pria - tersebut mulai berputar dengan cara bertumpu pada satu kaki, sementara kakinya yang lain dilipat dengan telapak kaki berada di dekat lutut, tepuk tangan para penonton di Teater Besar Taman Ismail Marjuki (TIM), Jakarta mulai bergemuruh.
Kakinya yang jenjang tak hanya menari dengan gemulai layaknya balet yang dimainkan kaum hawa, tetapi juga melompat dengan lincahnya. Bahkan pada hentakan musik tertentu, ia memberikan tekanan maksimal pada lantai panggung agar ia dapat melayang dengan indahnya, bersama gerakan kedua tangannya yang memperkuat perannya sebagai le bourgeois atau borjuis. Tak ketinggalan, sesekali ia menebarkan senyum penuh kebanggaan dengan statusnya sebagai borjuis, yang didefinisikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas.
Penampilan Daniil Simkin dalam lagu Les Bourgeois (foto: http://www.chacott-jp.com/magazine/world-report/assets_c/2012/12/tokyo1212e_07-thumb-196x294-32521.jpg)
Penampilan di atas dibawakan danseur asal Rusia, Daniil Simkin dalam International
Ballet Star Gala 2017, Sabtu 4 Februari 2017 lalu. Dalam perhelaan internasional itu, pria yang tergabung dalam American Ballet Theatre tersebut tampil bergantian dengan sembilan penari balet dunia lainnya, baik secara solo maupun berpasangan, yakni Ulrik Birkjaaer dan Ida Praetorius (Royal Danish Ballet), Igor Kolb dan Sofia Gumerova (Mariinsky Ballet), Tiit Helimets dan Loreina Feijoo (San Francisco Ballet), serta Jaeyong Ohm dan Hye Min Hwang (Universal Ballet).
Pria kelahiran Novosibirsk, 12 Oktober 1987 tersebut membawakan lagu yang dirilis penyanyi asal Perancis, Jacques Brel pada 15 March 1962 itu dengan gagah dan cukup menarik perhatian saya. Pembawaannya yang “laki
banget” saat menari, seakan mematahkan stigma bahwa balet hanya bisa dilakukan kaum wanita. Selain lantaran Daniil mengenakan pakaian ala karyawan kantoran, performa lincahnya menunjukkan bahwa melalui tarian balet, pria dapat menunjukkan kekuatannya melalui hentakan kaki dan lompatan-lompatan indah. Jadi, ketika sedang menari balet, bukan berarti pria itu selalu tidak macho ya!
Coba bayangkan, kalau seorang danseur tidak macho, bagaimana bisa ia menari dengan menunjukkan sisi maskulinitasnya? Saat menari berpasangan, misalnya, sudah jelas seorang danseur akan menari bersama balerina. Dari segi pakaian pun, tentu sudah jelas perbedaan di antara keduanya. Apalagi dari segi gerak tubuh, danseur menonjolkan kekuatan pria dan balerina menari dengan gayanya yang anggun.
Saya berkesempatan menghadiri acara yang dimulai pukul 19.00 dan berakhir pukul 22.00 tersebut berkat undangan Kompasiana. Di sana saya bertemu lima kompasianer, antara lain Mbak Dewi Puspa, Mbak Riap Windu, Mas Reno, Mas Edy Rolan dan Mbak Dina Mardiana, serta dua admin Kompasiana, yaitu Mbak Dewi Rachmawati dan Mas Rizky Saragih. Ini adalah kali pertama saya menyaksikan pertunjukan balet, setelah beberapa kali menyaksikan
pertunjukan dancesport atau dansa.
Penampilan sembilan danseur dan balerina – sebutan untuk penari balet wanita – lainnya juga tak kalah menarik. Penampilan berpasangan ternyata cukup membuat para penonton baper
alias bawa perasaan. Pasalnya, danseur dan balerina mampu menghayati peran yang dimainkan. Gerak tubuh mereka yang kompak, ditambah dengan alunan melodi dan gemerlap tata panggung, membuat suasana malam Minggu itu pun semakin mendukung.
Penampilan danseur dan balerina dalam International Ballet Star Gala 2017 (foto: dok.pri.)
Penampilan danseur dan balerina dalam International Ballet Star Gala 2017 (foto: dok.pri.)
Yang tak kalah menarik ketika lagu khas Betawi, Jali-Jali dan Ondel-Ondel mulai mengalun sebagai iringan musik tarian balet. Ini merupakan sebuah kolaborasi yang indah antara budaya Indonesia dipadukan dan balet kontemporer. Keduanya merupakan hal yang sangat berbeda, tetapi jika dimainkan secara bersama-sama dengan menonjolkan keunggulan masing-masing, ternyata mampu menghasilkan sebuah karya yang ciamik.
Kediri, 3 Maret 2017
Luana Yunaneva
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di blog pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya