Berkarier di tingkat internasional terbuka untuknya sejak awal tahun 1960-an. Ia menjadi orang yang “Vienna banget” di antara para pemimpin orkestra Perancis. Pada usia 80 tahun, ia berencana membuat penghargaan member untuk mereka yang terlibat dalam komunitas anak-anak musik. Lalu, para pemenang Wiener Philharmoniker mengajaknya memimpin Le Concert du Nouvel An atau Konser Tahun Baru. Ia adalah satu-satunya konduktor Perancis yang mendapatkan kebanggaan ini.
Masa yang panjang berkutat di bidang opera di seluruh dunia, membuat Georges semakin mengabdikan diri pada repertoar simfoni yang jauh dari batasan La Symphonie Fantastique dan Daphnis et Chloé. Keduanya adalah contoh dari orang Perancis langka yang paling sering ditanya di Bruckner dan Mahler.
Dalam perjalanan internasional Georges, Paris akan menjadi poin hitam dalam waktu yang lama. Marah dengan opera sesudah menjabat sebagai direktur musik tahun 1970, karakternya muncul pada kerasnya kepribadian para musisi orkestra Perancis. Bentrokan pun tak bisa dihindari. Ia layaknya sebuah pepatah yang mengatakan, tidak ada seorang nabi yang dihargai di negerinya.
Namun setelah ia mendapatkan kemenangan dan popularitas di Vienna, Salzburg dan Milan, ia kembali ke Paris sebagai seorang pahlawan. Ia tak hanya tampil dengan orkestra opera dan tingkat nasional, tetapi juga The Vienna Philharmonic atau The Dresden Staatskapelle dengan statusnya sebagai salah satu konduktor terfavorit.
Memimpin dengan Hati
Gaya Georges pun menjadi semakin istimewa. Bahasa tubuhnya mengundang orkestra untuk menciptakan “permainan” fantastis dan tak terduga, sesuai gambaran imajinasinya ynag beragam. Pendukung tempo berfluktuasi dengan kalimat yang sensual dan efek berlebihan ini mengklaim kebebasan interpretasi yang tak tertahankan pada musik Vienna.
Berada di mimbar orkestra, ternyata membuat Georges merasa bebas. Ia tak lagi terkekang pada batasan-batasan bernama partitur.
“Sinon, je ne serais pas un interprète, mais seulement un chef d'orchestre (Jika tidak, saya tidak akan menjadi penerjemah atau orang yang menginterpretasikan, tetapi hanya konduktor musik).”
Ia mengaku, butuh temuan konten dan gambaran, bahkan dalam musik yang abstrak. Sebab baginyaa, sebuah simfoni menceritakan sebuah sejarah. Mantan judoka atau praktisi judo ini mengukir setiap gerakan adalah seni bela diri dan menarinya di atas panggung lingkaran imajiner. Begitu juga ia mengarahkan setiap karyanya dengan hati, bukan untuk membuat sensasi, melainkan karena ia perlu menutup kedua matanya untuk tetap dalam atmosfer kerja dan mengubah halaman partisi yang akan diekstraksi.