Mendengar kata "tambang", kira-kira apa yang terbesit di benak Anda?
Ya, kata "tambang" tersebut membuat siapapun pendengarnya langsung terbesit pada hasil bumi, alat berat dan alam yang sulit dijangkau. Hasil bumi seperti bijih emas, minyak, timah dan batubara tentu tidak bisa didapatkan dengan mudah dan cuma-cuma. Pertama, kebanyakan hasil bumi tersebut masih lebih mudah ditemukan di Pulau Kaliman dan Papua. Berbeda dengan Pulau Jawa yang jumlahnya tidak terlalu banyak, pun padat dengan penduduk. Untuk menggali dan mengolah bahan tersebut, tentu memerlukan alat-alat berat yang membutuhkan banyak uang dan tenaga dalam proses operasionalnya.
Padahal sebenarnya, barang-barang tambang berada di sekitar kita. Coba amati benda-benda di sekitar kita. Mulai bangun tidur, kita perlu menekan saklar untuk menyalakan lampu. Mandi, kita perlu menyalakan keran air, minimal bahkan pemanas air. Sekolah dan bekerja, kita memerlukan alat tulis dan perangkat elektronik, seperti komputer, laptop, kamera dan sebagainya.
Pergi ke manapun, kita memerlukan bahan tambang berupa minyak bumi sebagai bahan bakar kendaraan. Hingga kita mau tidur, bisa jadi kita masih menggunakan barang elektronik, seperti radio atau music player yang terbuat dari bahan tambang. Jadi sebenarnya, tambang untuk kehidupan kita sama sekali tidak jauh.
Pada sesi pertama acara yang dimoderatori oleh Superintendent Content & Community Division Kompasiana, Nurulloh, Ir. Sukmandaru Prihatmoko, M.Sc.menjelaskan,produksi tambang di Indonesia meningkat sejak era pertambangan modern pada akhir tahun 1960-an, termasuk “penemuan” depositnya.
Pria yang akrab disapa Sukmandaru tersebut menjelaskan, kekayaan tambang di Tanah Air tidak lepas dari aktivitas gunung berapi yang tersebar di berbagai daerah. Sebut saja Pulau Jawa, Kalimantan dan Papua; juga Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara. Tidak menutup juga area tertentu lain yang memiliki gunung berapi, diduga melakukan proses mineralisasi. Saat ini, badan geologi sudah mengeluarkan peta metalogen indonesia untuk mengetahui kandungan-kandungan mineral di berbagai daerah.
“Dari jari-jari bumi 3.600 kilometer, yang “dimainkan” untuk mencari bahan tambang hanya kulitnya, mulai 20 sampai 60 kilometer. Sangat tipis dari jari-jari bumi,” jelasnya.
Perihal batuan yang juga termasuk bahan tambang, Sukmandaru mengemukakan, batuan tersusun dari mineral. Ia mencontohkan mineral dengan NaCl atau natrium klorida. Sedangkan mineral tersusun dari elemen. Elemen inilah yang selalu dicari para pegiat geologi. Kegiatan kesukaan mereka adalah eksplorasi, yakni masuk ke hutan, jauh dari keramaian.
“Pekerjaan mereka adalah mencari “barang” yakni elemen, bukan menambang di Tanah Air,” tegasnya.
Namun sejak lima hingga sepuluh tahun terakhir, jumlah penemuan elemen tersebut menurun tajam karena berkurangnya kegiatan eksplorasi. Penyebabnya beragam, yakni harga komoditas yang jatuh akibat kondisi ekonomi yang masih belum stabil, tidak ada daerah eksplorasi baru, ketidakpastian hukum dan bisnis untuk berinvestasi di bidang pertambangan, hambatan akibat aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) dan masalah sosial.
Sehubungan hal tersebut, tukas Sukmandaru, IAGI menyampaikan melalui siaran pers di Bandung, 11 Oktober 2016 yang berbunyi demikian
Namun, di balik pesona industri pertambangan yang membuat manusia berbondong-bondong mengejarnya, ada sejumlah kerugian yang dimiliki.
“DI balik nilai investasi yang sangat besar, risikonya juga cukup besar. Apalagi ini berpotensi menciptakan perubahan pada situasi setempat. Barang tambang kan tidak bisa diperbaharui. Kita juga harus mengubah bentang alamnya. Sementara, sumberdaya manusia yang menguasai hal ini tidak banyak,” tandasnya.
Situs www.ptfi.com mencatat, perusahaan yang beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Papua tersebut telah menginvestasikan dana sebesar 7,7 miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk infrastruktur dan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto Nasional lebih dari 60 miliar dollar AS sejak tahun 1992.
Kalau nantinya benar-benar habis, kami mau mencarinya ke mana lagi?
Atau itu merupakan sebuah pertanda untuk manusia harus mengekplorasi hal baru untuk mendapatkan pengganti barang tambang di kemudian hari?
Jadi, masihkah tambang menjadi sesuatu yang jauh dari kita?
Bandung, 13 November 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H