Sekitar semingguan ini, ada nama baru di playlist handphone saya. Seorang penyanyi asal Prancis yang memiliki suara khas dan wajah yang kalem. Namanya Grégory Lemarchal.
Sebenarnya saya mengetahui nama itu sejak setahun yang lalu. Tetapi belakangan ini intensitasnya meningkat, hehehe. Saking sukanya, bisa-bisa hanya tiga sampai empat lagu dari Grégory yang saya putar seharian. Sebut saja “Je Suis en Vie”, “De Temps En Temps” dan "Même si (What You're Made of)", juga “Je T'Aime”, lagu dari penyanyi Lara Fabian yang dinyanyikannya sewaktu merintis karir.
Tetapi kemarin malam, saya agak terkejut ketika iseng kepo tentang sosoknya melalui mbah Google. Situs Wikipedia yang berada di posisi atas pun saya klik. Cukup kaget ketika tertulis umurnya masih 23 tahun. Oh, pantas saja masih muda dan unyu, pikir saya. Lalu, saya pun membaca biodatanya. Dia lahir tahun 1983. Tapi kok umurnya masih 23 tahun? Saya membelalakkan mata. Tertulis kata “Décès” (kematian) dan “Died” berikut tempat dan tanggalnya.
Tak puas mengecek situs Wikipedia berbahasa Inggris dan Prancis, (berharap ada sosok Grégory Lemarchal yang lain, kali aja namanya sama atau apalah) saya pun googling lagi. Hingga akhirnya saya menyerah. Ternyata, selama ini saya ngefans dengan sosok yang telah tiada dan terlambat mengetahuinya karena Grégory meninggal pada tahun 2007.
Namun, ketidaktahuan ini masih wajar, saya rasa. Indonesia kurang mengikuti pemberitaan dari Eropa, khususnya Prancis. Pertama, tidak ada hubungan kekerabatan di antara kedua negara. Berbeda dengan hubungan Indonesia dan Belanda, misalnya. Kedua, perbedaan bahasa pun sangat jelas, apalagi kemampuan berbahasa Prancis tergolong jarang di Tanah Air. Jadi, nggak heran kalau orang Indonesia tidak banyak yang tahu sosok Grégory Lemarchal.
Lagipula, saat ia meninggal tahun 2007, saya masih sekolah. Ingat kan, saat itu di Indonesia juga sedang booming ajang pencarian bakat serupa di sejumlah stasiun televisi. Dan jelas, saya juga mengikuti (baca: menonton) cukup dari layar televisi di rumah.
Okay, meski sampai sekarang saya masih agak belum rela kalau Grégory Lemarchal sudah tiada, saya akan mencoba mengikhlaskannya dengan menuliskannya di sini. Soalnya, setelah ber-googling ria kemarin, saya tidak menemukan artikel tentangnya dalam bahasa Indonesia. Check it out!
Grégory Lemarchal, Siapa Dia?
Ia lahir di La Tronche, Paris, 13 Mei 1983 dan dibesarkan di Chambéry en Savoie. Awalnya, ia sangat mencintai dunia olahraga, seperti basket dan sepakbola. Bahkan ia bercita-cita menjadi wartawan olahraga.
Tetapi sepertinya, seni juga menjadi bakat terpendamnya. Passion Grégory Lemarchal di dunia seni juga sudah kelihatan sejak ia masih kecil. Di usia 12 tahun, ia menjadi juara kompetisi akrobatik, Champion de France de Rock Acrobatique, November 1997.
Pintu dunia hiburan semakin terbuka ketika Grégory mengikuti ajang pencarian bakat di Prancis, bernama Star Academy 4 di Stasiun Televisi TF1, tahun 2004. Ia yang telah lama bermimpi untuk menyanyi di hadapan publik itu pun memiliki kesempatan untuk tampil bersama para penyanyi ternama Prancis, seperti Yannick Noah, Michel Sardou dan Patrick Bruel, juga penyanyi asal Italia, Andrea Bocelli.
Tak berhenti sampai di situ. Suara indahnya yang khas dengan falsetto itu membawanya meraih suara dari pemirsa sebanyak 80 persen dan menjadi juara pertama ajang bergengsi itu pada 22 Desember 2004. Sebagai pemenang musim ini, pemuda bernama lengkap Grégory Jean-Paul Lemarchal itu mengalahkan sesama kontestan, Lucie Bernardoni.
Suara Seorang Malaikat
Single perdana Grégory pun meluncur pada Maret 2005, bertajuk “Écris l'Histoire" (Menuliskan Sejarah). Raup sukses, single tersebut langsung naik ke peringkat kedua chart single Prancis dan meraih platinum. Tak lama, ia merilis album pertamanya berjudul “Je Deviens Moi” yang melesat ke peringkat pertama dan kembali mendapatkan platinum.
Namun sayang, single keduanya dalam album itu yang berjudul “Je Suis en Vie” atau “Saya Hidup” tidak sesukses single sebelumnya. Lagu yang menginspirasi pendengar untuk terus bersemangat dalam hidup itu hanya bisa berada di peringkat 17 French Singles Chart, lalu merosot tajam ke ranking 26 pada minggu kedua, kemudian naik sedikit ke posisi 21. Beruntung, single ini masih bisa nangkring di French Singles Chart selama 13 pekan, sebelum akhirnya 'tereliminasi'.
Mencoba lagi, namun Dewi Fortuna masih belum berpihak pada pemuda ganteng itu. Single ketiganya berjudul “À Corps Perdu” tidak sukses di pasaran, berbeda dengan kedua single sebelumnya. Bahkan, sebagian radio di Prancis menolak untuk memutarnya karena lagu tersebuh terlalu menyedihkan.
Meski begitu, Grégory mendapatkan anugerah "Révélation Francophone de l'Année” atau "Breakthrough Artist of the Year" dalam NRJ Music Awards, Januari 2006. Kesuksesannya membuatnya bersemangat untuk melakukan tur pertamanya di Prancis, Belgia dan Swiss. Penampilannya di ketiga negara tersebut diabadikan dalam album DVD bertajuk “Olympia 06”.
Single pertamanya dari album tersebut, "Même si (What You're Made of)" , menuai tanggapan sangat bagus dari para penggemarnya. “Même Si” merupakan cover dari lagu “What You're Made Of” yang dinyanyikan Lucie Silvas yang dikemas dalam dua bahasa, yakni Inggris dan Prancis. Grégory merekam dan menyanyikannya bersama penyanyi aslinya. Single ini juga mengawali debutnya langsung ke peringkat dua French Singles Chart dan bertahan di chart selama 26 pekan.
Namun, gemerlapnya dunia hiburan tak bisa lama dinikmati kekasih presenter (saat itu), Karine Ferri tersebut. Tahun 2007, dokter memberitahukan bahwa kesehatannya memburuk dan memintanya mengambil cuti selama beberapa minggu untuk memulihkan stamina.
Mengutip situs resminya, Grégory mengidap penyakit la mucoviscidose. Dalam bahasa Inggris biasa disebut cystic fibrosis, sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan fibrosis sistik atau fibrosis kistik. Ini merupakan penyakit genetik yang berhubungan dengan paru-paru, hati, pankreas dan usus.
Komplikasi membuat Gregory menghembuskan nafas terakhirnya, Senin 30 April 2007, tepat dua minggu sebelum ulang tahunnya ke-24. Saat itu, ia tengah menunggu di rumah sakit untuk melakukan transplantasi jantung.
Meninggalnya Gregory menjadi berita utama di seluruh media di Prancis selama satu minggu. Lebih dari lima ribu penggemarnya juga menghadiri pemakamannya untuk memberikan penghargaan secara khusus.
Stasiun Televisi, TF1 bahkan membuat sebuah program khusus bernama "Grégory: La voix d'Un Ange" (Grégory: Suara Seorang Malaikat), Jumat 4 Mei 2007 untuk mengenang kisah hidupnya. Acara ini ditonton lebih dari 10,5 juta penonton.
Program ini ternyata mampu menggerakkan pengumpulan dana untuk memerangi penyakit cystic fibrosis dan membantu para peneliti untuk menemukan obatnya dan meningkatkan kesadaran donor organ. Mengutip situs nonresmi Grégory Lemarchal, terkumpul uang sebesar 6 juta euro hingga pukul 23.45 di hari yang sama.
Meski Tiada, Suaranya Masih Bergema
Meski Grégory telah meninggalkan dunia ini untuk selamanya, perusahaan rekaman Universal Music Group Prancis berusaha mengapresiasi dengan merilis album “La Voix d'Un Ange" (“Suara Seorang Malaikat”). Namun keuntungannya diberikan untuk Asosiasi Grégory Lemarchal. Album ini sempat menuai kontroversi karena perusahaan rekaman dituduh memanfaatkan kesedihan penggemarkan.
Meski demikian, album ini sukses menembus “French Digital and Album Charts” dan “Belgia (Wallonia) Album Chart”. Selain itu, album yang mendapat label Platinum dari IFPI ini berhasil terjual lebih dari 1 juta kopi di seluruh Eropa.Dua lagu yang terkenal dari album ini adalah "De Temps en Temps"(Dari Waktu ke Waktu) dan "Restons Amis" (Tetap Berteman).
Lalu sebuah kompilasi bertajuk “Rêves” (Mimpi) dirilis, November 2009. Album ini berisi seluruh single Grégory, ditambah dua lagu yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Album ini menjadi debut nomor satu di Prancis.
“Mike Mohede”-Nya Prancis?
Setelah mencari tahu sosok Grégory Lemarchal dari berbagai sumber, saya jadi pikir kalau dia ini mirip mendiang Mike Mohede. Ya, bisa dibilang Mike Mohede-Nya Prancis.
Pertama, keduanya sama-sama merupakan jebolan ajang pencarian bakat. Bedanya, Mike adalah Juara Indonesian Idol 2, sedangkan Grégory merupakan Juara Star Academy 4 di Prancis.
Kedua, mereka juga seumuran. Seandainya Grégory dan Mike masih ada, keduanya sama-sama berusia 32 tahun.
Ketiga, keduanya dipanggil Tuhan ketika sedang berada di puncak karir.
Keempat, mereka adalah sosok yang bertalenta dan memiliki kerendahan hati. Hal ini terlihat dari wajah mereka yang tak pelit membagikan senyum terbaiknya. Untuk Mike, tentu kita sudah sering melihatnya di layar televisi. Sedangkan Grégory, bisa Anda lihat sejumlah video-nya di Youtube.
Kok tiba-tiba jadi sedih ya? Pas malam Minggu malah bahas berita duka. Biar nggak galau, nyanyi dulu aja deh!
Versi lengkap tulisan tentang Grégory Lemarchal:
Grégory Lemarchal, Penyanyi Perancis dengan Suara Malaikat (1)
Grégory Lemarchal, Ketiadaan Penyanyi Muda ini Justru Berdampak (2)
Grégory Lemarchal: Lagu-Lagunya Menginspirasi, Meski Idap Penyakit Genetik (3)
Bandung, 22 Oktober 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H