Minggu, 25 September 2016 saya mendapatkan kesempatan untuk menonton film “The Magnificent Seven”, yang diputar serentak pada Jumat 23 September 2016. Mumpung libur, bolehlah saya menikmati hiburan sesaat di Bioskop XXI, Braga City Walk, Bandung, sekaligus mencari materi untuk blog Kompasiana ini. Nggak telat-telat amat ya antara waktu pemutaran film perdana dan jadwal saya menonton, meski review ini saya publikasikan beberapa hari kemudian (baca: hari ini).
Jadi, film “The Magnificent Seven” adalah sebuah film remake “Seven Samurai” yang disutradarai oleh Akira Kurosawa, tahun 1960. Film arahan Antoine Fuqua ini dikemas tidak lagi menggunakan style Jepang, tetapi ala negara-negara barat. Lengkap dengan kuda, style koboi, topi poncho, suku Indian, adegan tembak-menembak dan setting yang dibuat agak jadul. Tepatnya tahun 1879, di mana banyak orang memburu emas untuk memulihkan kekuatan ekonomi selepas perang.
Tak rela kotanya direbut orang-orang yang kejam, Emma dan seorang pria di desa itu menemui Sam Chisolm (Denzel Washington), bintara tinggi dari pengadilan di Wichita, Kansas yang sebenarnya juga merupakan pemburu buronan. Emma menjanjikan untuk memberikan apa yang kota miliki, kalau Chisolm mau membantunya menumpas kejahatan Bogue. Chisolm pun setuju karena ia memiliki misi tersembunyi terhadap pria yang sangat ingin menguasai Rose Greek karena tambang emasnya.
Berawal dari Chisolm yang memiliki karakter kuat dalam berbagai hal, mulai cara berjalan, berbicara, hingga beraksi dengan pistol, Emma berhasil merekrut enam orang lainnya. Mereka di antara Josh Faraday (diperankan Chris Pratt), seorang oportunis berdarah Irlandia yang gemar minum dan piawai mengelabuhi lawannya dengan trik kartu; Goodnight Robicheaux (diperankan Ethan Hawke), seorang sniper sekaligus rekan lama Chisolm saat berperang dulu; Billy Rocks (diperankan Byung Hun-lee), orang Asia yang tidak banyak bicara, namun banyak aksi, terutama saat memainkan pisau; Jack Horne (diperankan Vincent D’Onofrio), seorang pemburu berusia lanjut bertubuh besar dan gemuk, dengan jenggot tebal beruban; Vasquez (diperankan Manuel Garcia-Rulfo), seorang buronan asal Meksiko; serta Red Harvest (diperankan Martin Sensmeier), suku Indian Comanche yang selalu menghiasi wajahnya dengan cat merah biru, juga ahli memanah.
Sementara itu, ketujuh pendekar tadi berupaya melatih warga Rose Greek untuk menggunakan senjata, seperti pisau, pistol dan sebagainya. Juga menyiapkan sejumlah jebakan di area tersebut. Sementara Emma berusaha mengamankan dan menjaga anak-anak, sembari berlatih menembak.
Sebuah tantangan menarik untuk mengajari orang awam menggunakan senjata. Apalagi kebanyakan di antara mereka berprofesi sebagai petani dan guru. Para pendekar ini tadi sempat bingung dan putus asa untuk mengajari mereka. Beruntung, semua orang di kota itu mau bekerja keras dan mencoba, sesuai kemampuan yang dimiliki. Meski pada akhirnya, ada harga dan pengorbanan yang harus mereka bayar saat berperang untuk sebuah kemerdekaan.
Menurut saya, karakter para tokoh ini sangat menarik dan beragam. Mereka yang memiliki latar belakang, keahlian dan budaya berbeda, sanggup dipadukan dan diajak bekerjasama untuk menumpas kejahatan. Tapi yang agak janggal, betapa mudah proses perekrutannya. Chisolm dan Emma merekrut orang-orang yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Ya, karena ini merupakan sebuah film, wajar sekali kalau mereka langsung mendapatkan tim yang jago bela diri dan ahli menggunakan senjata. Sementara di dunia nyata, proses rekrutmen tidak bisa dilakukan seperti itu. Tentu harus ada standardisasi khusus, dalam hal karakter, mental, performance dan sebagainya. Lha ini baru kenal koq sudah diterima saja dan orang direkrut mau? Pengecualian terjadi pada Ethan Hawke dan Byung Hun-lee yang memang sudah bersahabat cukup lama.
Perbedaan di antara orang-orang yang belum saling mengenal tentu cukup berisiko, khususnya untuk mengerjakan sebuah proyek berbahaya. Perbedaan karakter, latar belakang dan budaya individu dalam satu tim menentukan keberlangsungannya ke depan. Akan awet atau putus di tengah jalan, yang artinya tidak berjodoh (ehhh, gagal fokus!).
Yang paling kelihatan adalah Red Harvest yang tidak banyak berbicara karena hanya mampu berbahasa Inggris sedikit. Sesekali ia berbicara dengan Chisolm, satu-satunya orang dalam tim yang bisa berbahasa Comanche. Tanpa ada unsur diskriminasi, namun perbedaan bahasa ini adalah salah satu hal yang sangat memungkinkan terjadinya missed communication.
Meski begitu, saya mengapresiasi ide sutradara untuk memberikan beragam karakter dan budaya tersebut. Hal-hal yang berbeda itu menjadi indah ketika bisa disatukan dengan baik. Juga dapat menginspirasi bahwa perbedaan itu tidak seharusnya dijadikan suatu masalah atau alasan untuk memecah belah, tetapi justru memadukannya. Tujuannya, saling melengkapi dan menjadi sebuah paket yang utuh (seperti aku dan kamu, eaaaa, gagal fokus lagi!)
Terlepas dari analisis budaya yang cukup jauh, “Magnificent Seven” ini cukup memuaskan pecinta film action karena ritmenya yang sangat dinamis. Namun tidak menunjukkan aksi detail kekerasan. Jadi, cukup aman bagi Anda yang tidak menyukai film dengan genre thriller, seperti saya, hehehe.
Sejak awal hingga akhir film, penonton tidak akan dibuat deg-degan, tetapi juga dimanjakan dengan pemandangan yang menarik. Beberapa kali film menampilkan kuda dan penunggangnya melewati sabana, dengan siluet yang mempesona.
Sementara itu, dari sudut pandang religius, film “The Magnificent Seven” cukup saya rekomendasikan untuk ditonton bersama-sama. Biasanya kegiatan santai seperti ini cukup disukai kelompok pemuda. Selain memberikan kesempatan pemuda untuk mengikuti perkembangan film terbaru, film ini mengajarkan tentang pentingnya memperjuangkan apa yang dimiliki. Entah itu iman, keluarga, maupun tanah kelahiran. Prinsip yang kuat akan membuat kita mampu mempertahankan dan mengusahakan yang terbaik, tidak hanya untuk diri kita sekarang, tetapi juga anak cucu di masa mendatang.
Namun, orang dewasa atau pemuda yang lebih senior perlu memberikan pendampingan dan pengarahan ketika film ini dinikmati bersama anak-anak yang lebih kecil. Lantaran beberapa scene menunjukkan bahwa tokoh mengucapkan, “Dalam nama Tuhan,....” maupun menyebutkan beberapa ayat dalam Alkitab, sebelum membunuh musuh. Terlepas musuh adalah orang yang jahat, tentu agama mana pun tidak membenarkan alasan pembunuhan. Apalagi membunuh orang, atas nama Tuhan. Yang ada, semua kitab suci mengajarkan kebaikan, termasuk kepada orang yang sudah berbuat jahat.
Tentu adegan tersebut tidak benar sehingga patut menjadi perhatian. Dengan pendampingan dan penjelasan orang tua kepada anak mengenai hal tersebut, diharapkan, anak hanya menganggap ini sebagai tontonan semata, bukan teladan.
Sebaliknya, mereka justru bisa meneladani, pentingnya mengandalkan Tuhan dalam segala keadaan. Berdoa tidak hanya dilakukan dalam situasi yang terdesak, tetapi juga setiap saat. Berserah kepada Sang Pencipta juga sangat penting. Manusia mengusahakan yang terbaik dan Dialah yang menentukan.
Bandung, 28 September 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H