Yang paling kelihatan adalah Red Harvest yang tidak banyak berbicara karena hanya mampu berbahasa Inggris sedikit. Sesekali ia berbicara dengan Chisolm, satu-satunya orang dalam tim yang bisa berbahasa Comanche. Tanpa ada unsur diskriminasi, namun perbedaan bahasa ini adalah salah satu hal yang sangat memungkinkan terjadinya missed communication.
Meski begitu, saya mengapresiasi ide sutradara untuk memberikan beragam karakter dan budaya tersebut. Hal-hal yang berbeda itu menjadi indah ketika bisa disatukan dengan baik. Juga dapat menginspirasi bahwa perbedaan itu tidak seharusnya dijadikan suatu masalah atau alasan untuk memecah belah, tetapi justru memadukannya. Tujuannya, saling melengkapi dan menjadi sebuah paket yang utuh (seperti aku dan kamu, eaaaa, gagal fokus lagi!)
Terlepas dari analisis budaya yang cukup jauh, “Magnificent Seven” ini cukup memuaskan pecinta film action karena ritmenya yang sangat dinamis. Namun tidak menunjukkan aksi detail kekerasan. Jadi, cukup aman bagi Anda yang tidak menyukai film dengan genre thriller, seperti saya, hehehe.
Sejak awal hingga akhir film, penonton tidak akan dibuat deg-degan, tetapi juga dimanjakan dengan pemandangan yang menarik. Beberapa kali film menampilkan kuda dan penunggangnya melewati sabana, dengan siluet yang mempesona.
Sementara itu, dari sudut pandang religius, film “The Magnificent Seven” cukup saya rekomendasikan untuk ditonton bersama-sama. Biasanya kegiatan santai seperti ini cukup disukai kelompok pemuda. Selain memberikan kesempatan pemuda untuk mengikuti perkembangan film terbaru, film ini mengajarkan tentang pentingnya memperjuangkan apa yang dimiliki. Entah itu iman, keluarga, maupun tanah kelahiran. Prinsip yang kuat akan membuat kita mampu mempertahankan dan mengusahakan yang terbaik, tidak hanya untuk diri kita sekarang, tetapi juga anak cucu di masa mendatang.
Namun, orang dewasa atau pemuda yang lebih senior perlu memberikan pendampingan dan pengarahan ketika film ini dinikmati bersama anak-anak yang lebih kecil. Lantaran beberapa scene menunjukkan bahwa tokoh mengucapkan, “Dalam nama Tuhan,....” maupun menyebutkan beberapa ayat dalam Alkitab, sebelum membunuh musuh. Terlepas musuh adalah orang yang jahat, tentu agama mana pun tidak membenarkan alasan pembunuhan. Apalagi membunuh orang, atas nama Tuhan. Yang ada, semua kitab suci mengajarkan kebaikan, termasuk kepada orang yang sudah berbuat jahat.
Tentu adegan tersebut tidak benar sehingga patut menjadi perhatian. Dengan pendampingan dan penjelasan orang tua kepada anak mengenai hal tersebut, diharapkan, anak hanya menganggap ini sebagai tontonan semata, bukan teladan.
Sebaliknya, mereka justru bisa meneladani, pentingnya mengandalkan Tuhan dalam segala keadaan. Berdoa tidak hanya dilakukan dalam situasi yang terdesak, tetapi juga setiap saat. Berserah kepada Sang Pencipta juga sangat penting. Manusia mengusahakan yang terbaik dan Dialah yang menentukan.
Bandung, 28 September 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana