Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Trainer BNSP RI, Public Speaker & Professional Hypnotherapist email: Luanayunaneva@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tak Tidur Semalaman, Pengalaman Pertama Siaga Erupsi Gunung Kelud bersama Radio

17 September 2016   23:56 Diperbarui: 18 September 2016   02:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://coralislandadventures.org/wp-content/uploads/2015/01/bigstock-blue-microphone-and-audio-cons-77877953.jpg

Tema “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio” yang digagas Kompasiana ini mengingatkan kenangan saat saya masih bekerja sebagai salah satu staf pemberitaan di Radio Suara Surabaya. Tepatnya pada erupsi Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis 13 Februari 2014 lalu. Meski jarak antara Kota Surabaya dan Kabupaten Kediri tidak terlalu jauh, kami memberikan update perkembangan seputar Gunung Kelud.

Usaha yang dilakukan tidak hanya memantau stasiun televisi, tetapi juga berkomunikasi secara intensif dengan Kepala Badan Nasional Penanggulagan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho melalui telepon. Sebagai radio dengan format citizen journalism, berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama di Kota Kediri dan sekitarnya, kami tampung dengan baik. Dari mereka inilah kami sebagai pelaku media mendapatkan informasi dengan cepat, sekalipun tetap harus melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak berwenang untuk mendapatkan informasi yang akurat, sebelum disampaikan kepada masyarakat. Proses konfirmasi sering dan selalu kami lakukan agar pendengar benar-benar mendapatkan update berita yang cepat dan tepat. Tentu hal ini tidak lepas dari kekuatan radio yang dapat menyampaikan informasi secara langsung, yakni cukup dengan bertutur. Tanpa harus mengetik ulang dan membawa tulisan kepada redaktur untuk dikoreksi sebelum ditayangkan.

Ketika aktivitas Gunung Kelud semakin meningkat, materi pemberitaan mulai diarahkan secara intensif ke salah satu kawasan wisata yang terletak di perbatasan Kabupaten Kediri dan Blitar tersebut, selain radio juga membawakan berita terkini, baik secara nasional maupun internasional. Saat itu belum ada reporter yang diterjunkan secara langsung ke lokasi. Namun berita tentang Gunung Kelud terus di-update dengan menghubungi pihak-pihak berwenang, seperti BNPB, Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kepolisian, serta kepala desa dan warga setempat.

Berhubung kantor kami bernaung merupakan radio dengan segmen berita, sudah bisa dipastikan bahwa tidak ada program sandiwara. Jadi, jangan harap ada sandiwara radio, terutama asmara, dapat hadir ke ruang dengar Anda, Kawan (sapaan untuk para pendengar Radio Suara Surabaya)! Meski begitu, tim pemberitaan maupun on air menyiapkan sejumlah paket berita berdurasi satu hingga lima menit, yang berisi perkembangan terkini di kawasan Gunung Kelud dari para narasumber yang kompeten. Para narasumber juga tak lupa menyampaikan edukasi perihal penanggulangan bencana gunung meletus, sehubungan apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu, bagaimana caranya, mengapa harus demikian dan perkiraan waktunya.

Kenangan yang takkan pernah terlupa adalah saat Gunung Kelud itu meletus. Malam itu saya masih berada di kantor hingga pukul 21.00 karena sedang membantu persiapan perayaan ulang tahun She Radio – salah satu anak usaha Suara Surabaya Media – yang akan berlangsung keesokan harinya. Setelah semuanya beres, saya bersiap pulang ke kos-kosan. Namun sebelumnya, saya menyempatkan diri mampir ke ruangan kerja. Ternyata ada peningkatan status Gunung Kelud (lagi).

Sekitar pukul 22.50, beberapa pendengar di Kota dan Kabupaten Kediri melaporkan bahwa atap rumah mereka kejatuhan kerikil dan abu panas dan hawa terasa gerah. Belum lagi warga Desa Segaran dan Sumber Waras yang tak jauh dari Gunung Kelud juga berusaha mengungsi ke kota, demi keamanan. Mendengar informasi tersebut, saya teringat kedua orang tua di sana dan berusaha menghubungi mereka. Setelah mendapatkan kepastian bahwa mereka berdua baik-baik saja, saya pun cukup lega. Namun ada perasaan tidak tenang ketika hendak pulang ke kos-kosan. Rasa penasaran terhadap suasana di lokasi membuat saya ingin bertahan di kantor.

Saya membantu teman-teman gatekeeper untuk mengangkat telepon dan melayani laporan pendengar. Kantor yang biasanya sepi pada malam hari, mendadak panik dengan tiada hentinya telepon-telepon itu berdering. Isi laporannya rata-rata sama, yakni update Gunung Kelud. Saat menerima laporan pendengar yang meresahkan, sesungguhnya batin ini juga ikut gundah karena kedua orang tua saya juga berada di sana. Namun sebagai sebagai seorang broadcaster, tidak selayaknya menyampaikan keluh-kesahnya kepada pendengar. Kami justru harus menanggapi laporan mereka dengan ramah dan menenangkan mereka agar dapat berpikir dengan akal sehat di tengah situasi yang mengkhawatirkan. 

Suasana di ruang Gatekeeper Radio Suara Surabaya pada malam hari (dokumentasi pribadi)
Suasana di ruang Gatekeeper Radio Suara Surabaya pada malam hari (dokumentasi pribadi)
Saya rasa, di sinilah pentingnya media massa, seperti radio. Tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk mengetik dan mengedit berita. Cukup mengetik poin naskah yang akan dibacakan, berita sudah bisa langsung disampaikan penyiar. Yang tak kalah pentingnya, bagaimana sebuah media mampu memberikan edukasi dan menyampaikan informasi penting, tanpa membuat pendengarnya merasa takut dan terancam. Kalau perlu, media justru mengingatkan pendengarnya untuk tetap tenang, sekalipun situasi sedang menghimpit. Hal yang disampaikan Kepala BNPB, Sutopo Purwo Nugroho yang masih saya ingat adalah masyarakat diminta tetap tenang dan tinggal di dalam rumah. Namun untuk warga yang tinggal tidak jauh dari kawasan Gunung Kelud memang diimbau untuk meninggalkan lokasi tersebut untuk sementara waktu. Hal inilah yang perlu dan memang disampaikan berkali-kali kepada pendengar.

Singkat cerita, saat Gunung Kelud 'menunjukkan aksinya', saya dan seorang rekan wanita memutuskan untuk bertahan di kantor lebih dulu. Kemudian kami pulang ke tempat tinggal masing-masing sekitar pukul 02.00. Sementara rekan-rekan pria yang bertugas shift malam tetap bertahan di kantor. Keputusan kedua gadis untuk nekat pulang, selain karena pertimbangan hari sudah gelap dan keesokan harinya kami harus masuk shift pagi, listrik di kantor tengah padam. Praktis, kami tidak dapat melakukan kegiatan apapun, bahkan ketika pendengar membutuhkan informasi terkini seputar Gunung Kelud. 

Setiba di kos-kosan pun, komunikasi intensif masih saya lakukan bersama teman-teman dan keluarga untuk memastikan mereka semua dalam keadaan yang baik. Radio pun saya nyalakan, siapa tahu listrik sudah menyala dan saya dapat mendengarkan perkembangan terkini Gunung Kelud. Alhasil, saya pun tidak tidur pada malam itu! Hehehe...

Sejak saat itulah, pemberitaan di kantor fokus pada Gunung Kelud. Sudah dapat dibayangkan, tentu para penyiar akan membahas soal erupsi setiap waktu, sesuai isu terkini. Sempat ada rasa jenuh juga di pikiran saya. Yang dibahas ini lagi, ini lagi. Tetapi apatah dayaku, memang inilah yang menjadi isu terkini.

Sebagai bentuk penyegaran supaya tidak bosan memproduksi dan mendengarkan berita tentang bencana gunung meletus, saya mencoba menanyakan kabar terbaru dari para relasi di Kota Kediri, pascaerupsi. Ternyata ada hal menarik yang tak saya temui pada hari-hari biasa. Dan hasil wawancaran dengan merekainilah yang saya buat menjadi paket berita. Program yang hanya berdurasi maksimal lima menit ini bernama Fresh News On Sunday (FENOS). Jam tayangnya pun agak nyempil di akhir Program Berita Suara Surabaya (BSS), setiap hari Minggu pukul 13.00-13.20. Ini dia kedua paket FENOS tersebut. Selamat mendengarkan!



Paket berita singkat di atas mungkin memang bukan sandiwara siaga bencana dalam balutan romansa, sesuai program BNPB yang diputar di 50 stasiun radio. Tentu hal ini tidak lepas dari format Radio Suara Surabaya sebagai radio berita. Meski begitu, paket tersebut berusaha menampilkan bahwa di balik sebuah bencana alam, ada orang-orang yang berusaha memanfaatkannya sebagai lahan mengais rezeki.

Jalan Veteran, Kota Kediri yang tertutup oleh abu vulkanik Gunung Kelud (dokumentasi pribadi)
Jalan Veteran, Kota Kediri yang tertutup oleh abu vulkanik Gunung Kelud (dokumentasi pribadi)
Para petugas sedang membersihkan jalanan di Kota Kediri dari abu vulkanik Gunung Kelud (dokumentasi keluarga)
Para petugas sedang membersihkan jalanan di Kota Kediri dari abu vulkanik Gunung Kelud (dokumentasi keluarga)
Dengan perjuangan yang penuh risiko, sejatinya manusia memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya, baik melalui jasa membersihkan atap rumah maupun menjual karung goni atau kantong beras besar yang selama ini disepelekan. Warga Kota Kediri dan sekitarnya yang selama ini hanya merindukan proses pembangunan rumah yang kokoh dan indah, juga mendapatkan bahan baku secara gratis. Kualitasnya pun bagus karena langsung dari alam. Jujur saja, keluarga kami berhasil mendapatkan abu vulkanik gunung kelud sekitar 1,1 kuintal. Jumlah yang fantastis bukan? Apalagi jika ada warga yang mengumpulkan abu vulkanik dari rumah-rumah tak berpenghuni, tentu hasilnya lebih banyak.

Abu vulkanik yang dikumpulkan keluarga dan tetangga di depan lapangan RT (dokumentasi keluarga)
Abu vulkanik yang dikumpulkan keluarga dan tetangga di depan lapangan RT (dokumentasi keluarga)
Menurut saya, ide BNPB untuk mengemas edukasi siaga bencana kepada masyarakat melalui program sandiwara radio merupakan inovasi yang bagus.

Asmara di Tengah Bencana (sumber: https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/09/sumbere-kompasiana-57d26c22727a61094689ad2e.jpg?t=o&v=700)
Asmara di Tengah Bencana (sumber: https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/09/sumbere-kompasiana-57d26c22727a61094689ad2e.jpg?t=o&v=700)
Pertama, masyarakat bisa mendapatkan informasi yang bermanfaat dengan mudah dan murah. Mudah karena bisa didengarkan di manapun, kapanpun dan oleh siapapun. Murah lantaran radio masa kini bisa didengarkan melalui ponsel maupun perangkat yang dipasang di mobil. Jadi, di manapun berada, termasuk jalanan, Anda tidak akan kesulitan mengaksesnya.

Kedua, penyampaian pesan di radio menggunakan bahasa tutur cenderung mudah dipahami. Sebab, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Apalagi, broadcaster sudah terbiasa menyederhanakan kalimat rumit. Pilihan kata yang sedikit diubah tanpa mengurangi makna, menolong pendengar saat mencerna pesan.

Ketiga, sandiwara radio merupakan wadah yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme ataupun budaya setempat, tidak hanya penanggulangan bencana. Menyelipkan nilai-nilai ini tentu akan sangat bermanfaat bagi generasi muda di masa mendatang, untuk tidak melupakan dari mana mereka berasal.

Keempat, kalau menurut saya pribadi, unsur asmara digunakan BNPB untuk menarik minat masyarakat, termasuk kaum muda dan remaja. Tujuan utamanya, tetap menyimak edukasi siaga bencana yang telah disiapkan pemerintah. Pemilihan model sandiwara tentu dapat disesuaikan dengan wilayah, budaya masyarakat setempat, potensi bencana yang mungkin terjadi dan jangkauan radio. Harapannya, jika musibah terjadi, mereka sudah mengetahui langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang dikasihi.

sumber: http://coralislandadventures.org/wp-content/uploads/2015/01/bigstock-blue-microphone-and-audio-cons-77877953.jpg
sumber: http://coralislandadventures.org/wp-content/uploads/2015/01/bigstock-blue-microphone-and-audio-cons-77877953.jpg
Bandung, 17 September 2016

Luana Yunaneva

Facebook, Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun