Judul tersebut benar adanya. Kebiasaan mengantar anak pada hari pertama sekolah sudah dilakukan Papa dan Mama, jauh sebelum imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan turun pada awal tahun akademik 2016-2017 yang dimulai sejak Senin 18 Juli 2016 lalu. Kebiasaan mengantar ini tentu ketika saya dan adik masih kecil. Bukan saat kami sudah mulai besar dan bisa berangkat ke sekolah sendiri.
Hari pertama sekolah adalah momen yang paling ditunggu para siswa. Tak terkecuali saya sewaktu masih menjadi pelajar di era 90-an. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi membuat saya bersemangat menunggu datangnya “hari itu”. Sudah bisa dipastikan kalau Mama akan bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan bergizi dan membangunkan anak-anak yang akan masuk di kelas baru. Tentu semuanya itu tidak lengkap tanpa atribut-atribut sekolah. Baju seragam baru yang masih berwarna putih, buku-buku penunjang baru yang masih bau toko, buku-buku tulis yang berwarna-warni, sepatu yang disemir hingga klimis, dan aneka alat tulis yang masih lengkap karena belum habis dipinjam teman, hehehe.
Hal yang masih berkesan di benak saya hingga kini adalah pendampingan Papa dan Mama pada hari pertama sekolah. Penerapannya memang tidak dilakukan keduanya secara bersamaan tetapi bergantian, sesuai porsi dan pembagian waktu masing-masing. Namun satu hal yang pasti, salah satu di antara keduanya pasti mengantar saya dan adik sampai ke depan pagar sekolah. Sewaktu saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak (TK), Mamalah yang selalu mengantar saya ke sekolah. Meski rumah kami berjarak cukup jauh dari sekolah, sekitar lima kilometer , Mama tidak pernah mengeluh kelelahan mengantar dengan mengayuh sepeda jengki. Padahal, Mama tentu sudah capai menyiapkan sarapan sebelumnya. Saya yang cukup cengeng saat masih kecil, tak kuasa melihat Mama meninggalkan sedetik pun. Namun Mama dengan setia menemani dari luar pagar sekolah hingga saya masuk ke dalam kelas bersama ibu guru. Lambaian tangan yang tak selalu dilakukannya seakan berkata, “Selamat belajar dan bermain di kelas ya, Lulu sayang. Mama menunggumu sepulang sekolah.” Benar saja, ketika bel pulang berbunyi dan ibu guru mengantar para murid keluar sekolah, Mama sudah menanti di ujung gerbang. Senyumnya tak pernah luntur melihat anak perempuannya ini menghampiri. Padahal, Mama baru saja tiba dengan sepeda jengkinya. Jadi memang, setelah mengantar saya sekolah sekitar pukul 07.00 WIB, Mama selalu pulang ke rumah dengan sepedanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan menyeterika. Sesudahnya, Mama mengayuh sepeda untuk menjemput saya ke sekolah sekitar pukul 10.00 WIB. Tentu hal ini sangat melelahkan ketika harus berangkat-pulang dengan mengayuh sepeda. Tak pernah sekalipun menunjukkan kelesuannya, setiba di rumah, Mama justru antusias menanyakan aktivitas saya di sekolah, mulai pelajaran yang disampaikan guru, permainan yang dilakukan, hingga teman-teman sekelas.
Sementara itu, Papa lebih banyak mengajarkan hal-hal teknis seperti mengeja, membaca, dan menghitung. Kesibukan Papa di kantor memang tidak bisa dipaksakan untuk memberikan perhatian se-intensif apa yang Mama berikan. Namun, Mama tak pernah sekalipun lupa memberikan “laporan kegiatan saya” setiap harinya sehingga Papa selalu tahu pergerakan buah hatinya ini dari hari ke hari, terutama pada hari pertama sekolah. Selain itu, Papa selalu menyisihkan waktunya sepulang dari kantor untuk bercanda dan bercengkerama dengan saya. Pun membelikan majalah anak-anak setiap minggunya untuk mengasah daya imajinasi. Saya pun sangat antusias setiap kali Papa membawakan majalah itu, kemudian kami mendiskusikannya bersama. Lantaran saya belum bisa membaca, yang bisa saya lakukan adalah membolak-balik majalah, melihat gambar yang bertebaran dan meminta Papa menceritakannya.
Begitu saya duduk di bangku sekolah dasar (SD), pola yang orang tua terapkan sedikit diubah. Papa yang mengantar-jemput, sedangkan Mama stand by di rumah. Papa yang memiliki segudang pekerjaan di kantor tidak pernah memiliki alasan untuk langsung meninggalkan sekolah, meski saya sudah masuk ke kelas. Terlebih lagi pada hari pertama sekolah. Papa selalu menyisihkan waktu untuk melihat keadaan sekolah dan papan pengumuman. Durasinya tidak lama, mungkin hanya sekitar lima menit karena Papa memang harus pergi ke kantor. Pernah saya mencoba menanyakan alasannya dan Papa menjawab, “Siapa tahu ada informasi penting.” Dalam hati saya berkata, Papa memang luar biasa. Perhatiannya diberikan bahkan untuk hal-hal sekecil ini.
Lalu, apa yang Mama lakukan? Mama melakukan bagiannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan penyayang yakni menyiapkan makanan yang sehat untuk keluarga dan membimbing anak-anak. Sepulang sekolah, Mama selalu menanyakan aktivitas saya mulai pagi hingga siang di sekolah. Antuasiasme Mama semakin meningkat setiap hari pertama sekolah. Tidak peduli kami tengah berada di kelas berapa. Tidak heran, Mama pun hafal dengan jadwal pelajaran setiap harinya, jadwal ulangan dan ujian, serta nama teman-teman sekelas. Semua data itu Mama ketahui berkat kerajinannya mem-follow up saya setiap hari. Tanpa disadari, tanpa Mama bertanya pun, saya bercerita segalanya.
Berdasarkan pengalaman kami sekeluarga, ada beberapa manfaat ketika orang tua mengantar anak pada hari pertama sekolah:
1. Anak merasa diperhatikan
2. Pendampingan orang tua membuat anak belajar bertanggung jawab
3.Mendekatkan hubungan orang tua dan anak
Foto di atas adalah salah satu bukti kedekatan kami sekeluarga. Ketika ada anak-anak yang enggan menunjukkan kebersamaannya di tengah keluarga, kami justru bangga melakukannya. Tidak lepas dari peran orang tua yang mendampingi sejak saya dan adik menempuh pendidikan, terutama pada hari pertama sekolah. Terima kasih, Papa dan Mama!
Luana Yunaneva
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H