Bahasa Inggris menjadi salah satu komponen penting di era globalisasi, baik dalam dunia pendidikan maupun pekerjaan. Semua orang dituntut menguasai bahasa ini dengan fasih secara lisan dan tulisan. Dan itu merupakan hal yang biasa. Berbeda dengan anggapan pada tahun 1990-an bahwa orang Indonesia yang bisa berbahasa Inggris itu mengagumkan.
Ketika saya masih bersekolah dulu, bahasa Inggis mulai diajarkan kepada murid kelas enam sekolah dasar (SD). Penerapan ini dilakukan di seluruh SD di kota kelahiran saya, Kediri, Jawa Timur.
Namun saya sangat beruntung bisa mempelajarinya saat duduk di kelas tiga. Lho, koq lebih mendahului? Kebetulan, saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di kota yang terkenal dengan kuliner tahu kuningnya ini, yang memang mengenalkan bahasa Inggris kepada seluruh siswa sejak kelas tiga.
Namanya juga pengenalan, mata pelajaran baru ini saya pelajari bersama teman-teman sekelas seminggu sekali. Proses belajarnya dari nol, mulai mengeja, menyebut angka, hingga menghafal nama-nama benda yang sering ditemui. Dua tahun mempelajarinya, saya mulai tertarik. Wah, kelihatannya bahasa Inggris ini sangat menyenangkan, batin saya saat duduk di kelas empat.
Namun pemikiran saya berubah ketika duduk di kelas lima SD dan mulai mengenal tenses. Penjelasan ibu guru cantik selama tiga minggu berturut-turut tidak juga membuat saya mengerti apa itu simple present tense, simple past tense,dan present continuous tense. Saya pun tidak paham, bagaimana penggunaannya dalam sebuah kalimat. Hingga suatu ketika, nilai saya jelek sekali dalam tes dadakan. Jujur, itu adalah nilai terburuk sepanjang masa sekolah saya di SD.
Terpuruk dalam hal baru tidak membuat saya menyerah. Meski awalnya sempat takut jujur kepada Ayah perihal nilai ulangan yang jeblok, saya pun memberanikan diri untuk mengakui kejatuhan saya ini. Tak pernah terbayang dalam benak, jika Ayah justru tidak marah. Beliau malah mengajarkan ketiga tensesitu dengan sabar. Penjelasannya yang mudah dipahami membuat saya mengerti, apa yang membedakan di antara ketiganya. Bahkan pada tes selanjutnya, saya mendapatkan nilai yang nyaris sempurna. Bagi saya, prestasi itu tidak lepas dari peran Ayah yang rela mengajarkan materi tersebut.
“Ah, tahu begini, minta diajari Papa sejak awal ya,” saya agak menggerutu dalam hati. Sedikit menyesal.
Ketika “kunci” bahasa Inggris itu sudah mulai saya pegang saat itu, saya mulai menyukai pelajaran ini, bahkan sempat terbesit mengambil jurusan Sastra Inggris saat kuliah mendatang. Untuk itu, kedua orang tua memberikan saya kesempatan untuk memperdalam bahasa Inggris melalui kelas berjenjang yang merupakan program dari salah satu lembaga pendidikan bahasa asing di Kota Kediri.
Menelusuri pengalaman di atas, saya menganalogikan belajar bahasa Inggris itu seperti orang berpacaran.
1.Komitmen
Sebelum orang berpacaran, tentu sepasang laki-laki dan perempuan akan menentukan visinya, mau dibawa ke mana hubungan ini. Begitu juga dengan belajar bahasa Inggris. Dengan adanya visi yang jelas, kita mengetahui tujuan kita belajar bahasa asing ini dengan pasti. Dengan kesungguhan komitmen, tanpa disuruh pun kita akan berusaha menepatinya. Misal dengan datang kursus tepat waktu, membacanya sepulang kursus, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
2.Sisihkan Waktu
Kalau Kompasianers masih sekolah, tentu pelajaran bahasa Inggris sudah jadi makanan pokok, minimal sekali pertemuan dalam seminggu. Lalu untuk Kompasianers yang sudah kuliah dan bekerja, tentu perlu menyisihkan waktu khusus untuk memperdalam bahasa Inggris.
Opsi pertama, kursus. Saat ini ada banyak lembaga yang menyediakan layanan kursus bahasa Inggris. Paket yang ditawarkan pun beragam, mulai level berjenjang, kelas conversation, hingga persiapan TOEFL atau IELTS. Kompasianers bisa memilih kelas yang sesuai kebutuhan dan budget yang ditetapkan. Terkadang manusia memang harus memaksa diri, seperti membayar kursus, untuk belajar. Kalau tidak, ia cenderung bermalas-malasan belajar, meski sekadar membaca buku.
Opsi kedua, mengikuti komunitas-komunitas berbahasa Inggris. Biasanya orang-orang yang memilih bergabung dalam komunitas seperti ini adalah mereka yang sudah memiliki dasar berbahasa Inggris yang kuat. Mereka hanya butuh bertemu banyak orang untuk mempraktikkannya.
3.Banyak praktik
4.Buat cara unik
Setiap orang tentu memiliki cara yang unik untuk mengungkapkan perhatian kepada orang yang dikasihinya. Jadi, tidak alasan untuk Kompasianers tidak mengeksplorasi diri lebih banyak saat menerapkan bahasa Inggris. Pengalaman pribadi saya sih, cukup sederhana. Bisa juga Kompasianers terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak SMP, saya punya kebiasaan menulis diary berbahasa Inggris. Saat itu, alasannya sepele. Agar orang lain, termasuk orang tua (hehehe), tidak mengerti apa curahan hati saya. Kalau pun si pembaca itu bisa berbahasa Inggris, tentu ia membutuhkan waktu untuk memahaminya. Tidak bisa langsung paham, seperti kalau saya menggunakan bahasa Indonesia.
Apa saja bisa menjadi pokok bahasan, mulai jalanan yang macet, kuliner yang enak, atau pengalaman bertemu orang yang berbeda. Yang penting, speak in English sajalah! Oya, kalau menerapkan hal ini, jangan lupa tutup masker helm-nya ya supaya tidak dikira pengendara lain sedang gila, hihihi…
Namun rasa perih itu terbayar menjadi hal yang manis. Saya tidak usah ragu ketika harus presentasi berbahasa Inggris. Pun tak lagi grogi ketika harus mewawancarai narasumber bule di lapangan, kini.
Keep spirit !
Bandung, 11 Juli 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H