Salah satu pepatah Jawa mengatakan, “Mangan ora mangan, sing penting kumpul.” yang berarti makan ataupun tidak, yang penting adalah pertemuan. Pertemuan bisa dengan siapa saja, tergantung konteks yang dibahas. Namun seringkali kalimat tersebut mengacu pada orang-orang terkasih seperti keluarga.
Sejak saya masih kecil, kedua orang tua selalu mengajarkan bahwa aktivitas makan makanan berat dilakukan di meja makan. Sebisa mungkin makan dilakukan bersama-sama seluruh anggota keluarga, kecuali dalam situasi mendesak yang tidak memungkinkan kami berempat duduk di meja bundar. Bukan untuk melakukan konferensi karena ini bukanlah konferensi meja bundar (KMB) seperti di buku-buku sejarah biasanya, melainkan sesi mengobrol sambil menikmati berkat Tuhan melalui makanan yang tersedia.
Apapun bisa dibahas di meja makan, mulai sekolah, pekerjaan, impian, candaan, hingga asmara (eaaaaa, hehehe). Ledek-ledekan bisa dipastikan selalu ada antara saya dan adik. Hal ini didukung dengan posisi yang stategis. Adik duduk di seberang saya. Sementara kedua orang tua terlihat menikmati 'tontonan' berantem kecil di hadapan mereka, sambil sesekali tertawa dan menegur kalau gaya bercanda kami sudah mulai kelewatan. Dan itu wajar, saya rasa.
Kini kami berempat sudah tidak lagi tinggal di satu atap yang sama. Long Distance Relationship (LDR) dengan keluarga ini membuat kami tidak lagi bisa menikmati momen makan bersama. Kalau dulu aktivitas makan adalah rutinitas belaka, kini kegiatan tersebut adalah momen yang sangat kami rindukan, terutama ketika kami saling berjauhan. Dan sebentar lagi, momen itu akan saya dapatkan lagi ketika bertemu dengan Mama, Papa, dan Adik saat liburan Hari Raya Idul Fitri. Saya tidak sabar ingin bertemu tiga orang terpenting dalam hidup saya untuk makan bersama dan berbagi cerita.
Kamis 9 Juni 2016 lalu, saya sempat makan di Hokben yang terdapat di Bandung Electronic Center (BEC), Bandung. Saya menikmati makan siang di restoran cepat saji dari Jepang itu bersama teman-teman, saat istirahat siang menjelang production oral atau speaking testdalam rangkaian ujian Diplome d'Etudes en Langue Français (DELF) di salah satu lembaga pendidikan Prancis tidak jauh dari sana. (Maaf, saat itu kami tidak berfoto karena kami terlalu fokus menikmati makanan, dilanjutkan dengan latihan berdiskusi).
Saat asyik menikmati Hoka Hemat 2 siang itu, saya melihat bahwa Hokben memiliki menu baru. Namanya Omiyage. Paket ini bisa menjadi salah satu solusi makanan cepat saji (fast food) yang bisa dinikmati bersama orang-orang terkasih dalam segala suasana, baik perayaan ulang tahun maupun Lebaran. Konsep yang diangkat dalam paket ini saja sudah jelas. Share to Love, Love to Share. Berbagi untuk mencintai dan mencintai untuk berbagi. Konsep ini membuat saya berpikir bahwa hidangan Hokben ini sangat tepat untuk semakin menghangatkan kebersamaan bersama keluarga, saat mudik Lebaran nanti.
“Okay, Mama, Papa, Adik, tunggu ya. Saya akan bawakan Paket Omiyage untuk kalian,” begitulah tekad saya waktu itu.
Sebelum mudik, saya memutuskan untuk mencari tahu apa itu Omiyage. Nggak lucu kan, kalau saya Berbagi Hokben melalui Paket Omiyage kepada keluarga tetapi saya tidak mengetahui filosofi yang sebenarnya dari Jepang.
Mengutip salah satu situs yang mengulas banyak hal tentang Jepang, kata “Omiyage” berarti produk lokal yang mewakili kota pembuatannya. Sebut saja apel dari Aomori, kentang dari Hokaido, atau kumamon yang lucu dari Kumamoto. Jadi bisa dikatakan bahwa “Omiyage” adalah oleh-oleh atau buah tangan versi orang Jepang. Mereka beranggapan, memberi Omiyage merupakan upaya mempromosikan produk-produk yang unik dari daerah yang mereka kunjungi, baik di dalam maupun luar negeri.