Tap, tap, tap... Langkah kaki riang ini merupakan pertanda acara televisi favorit akan segera mulai. Lalu, saya melewati sebuah tempat sampah di dekat dapur yang tutupnya terbuka. Mungkin ada yang lupa menutupnya, sesudah membuang sesuatu. Lalu saya melihat sesuatu berwarna gelap di dalamnya. Semacam kulit. Hanya itu. Tidak ada benda lain di dalam kotak sampah berwarna jingga tersebut.
“Apa itu?” tanya saya dalam hati. Sempat terdiam dan berpikir. Masih penasaran. Kelihatannya ini adalah salah satu jenis sayuran.
Setelah mencoba mengingat dengan baik, terlintas memori bahwa siang tadi tidak ada menu sayur sama sekali di atas meja makan. Kan yang ada iwak kebo kan? Saya pastikan kembali menu yang ada di meja makan. Dan panci putih kesayangan Mama masih berisi “semur kebo”. Bukan yang lain. “Lalu, ini apa?” pertanyaan tersebut terus menari-nari di dalam otak. Sampai saya lupa kalau kartun kesukaan sudah akan mulai tayang.
Satu-satunya jalan untuk memecahkan pertanyaan itu, pikir saya, bertanya kepada Bu Titi. Saya baru teringat bahwa beliau memesan menu makan siang kepada Mama sejak tiga hari terakhir berturut-turut. Kata hati saya mengatakan, Bu Titi pasti mengetahui, menu apa yang Mama olah hari ini untuk kami sekeluarga.
“Mama hari ini masak menu apa ya?” Kedua wanita ini tertawa melihat saya yang bingung.
“Coba Lulu tanya ke Bu Titi deh!” usul Mama. Bu Titi yang memiliki tiga anak laki-laki itu hanya terkekeh. Tidak ada satu jawaban pun terlontar dari mulutnya.
“Katanya, Mama hari ini masak iwak kebo. Betulkah itu, Bu?” todong saya.
“Iya, semur kebo, Lu. Enak ya masakannya?” tandas Bu Titi.
“Tapi kok iwak kebo-nya empuk sekali? Bukankah daging kerbau seharusnya lebih keras dibanding sapi? Terus kok rasanya kayak di-blender? Tapi Mama kan belum punya blender.”
“Iya, Lu, Mamamu memasak semur kebo. Saya suka sekali masakan Mama kamu,” pujinya. Tidak lama kemudian, saya tinggalkan kedua wanita itu, lalu kembali sambil membawa tempat sampah berisi benda mirip kulit yang membuat cukup penasaran.
“Lalu ini apa, Ma?”
Melihat isi tempat sampah yang saya tunjukkan, Mama dan Bu Titi tertawa dengan sangat keras hingga wajahnya memerah. Bu Titi malah mengeluarkan air mata. Mungkin karena tidak kuat menahan tawa. Sementara saya, hanya bisa menunjukkan muka datar kebingungan.
“Kok malah ketawa sih, Ma?” saya mulai agak kesal. Bukan kesal yang sebenarnya melainkan bingung. Sesungguhnya apa yang mereka berdua tertawakan? Saya memberanikan diri menyentuh benda memanjang yang teksturnya licin itu. Saat saya melihatnya lebih dekat, terkejutlah seketika.
“Ma, ini terong?” pertanyaan yang saya lontarkan ini membuat Mama dan Bu Titi semakin terkekeh. Lalu Mama pun mengangguk sambil melanjutkan tertawanya.
“Mamaaaaaaaaa!!!!!” saya memukul pundak Mama dengan lembut menggunakan kedua punggung tangan.
Rasanya gemas, agak kesal dan ingin marah tetapi tak mampu. Saya gemas karena Mama sengaja merahasiakan menu makan siang hari ini. Saya kesal sebab Mama lebih terbuka tentang menu itu kepada tetangga dibandingkan anaknya sendiri. Dan saya ingin marah lantaran Mama memasak sayuran yang paling tidak saya sukai, memodifikasinya supaya saya tidak mengetahui bahan dasarnya, dan memberinya nama yang ekstrim. Tapi nyatanya, saya tidak bisa mengungkapkan semua perasaan itu selain memukul lembut Mama sambil tertawa gemas. Mama terlihat sangat bahagia bisa sedikit mengusili anak perempuannya ini.
Akhirnya, Mama menceritakan bahwa semur kebo ala beliau itu terbuat dari terong yang dipotong pipih lalu dibalut dengan telur ayam mentah. Selanjutnya digoreng hingga berwarna kuning keemasan. Terong-terong balut telur ini lantas dimasak bersama kentang dan tahu dalam kuah semur. Bumbunya pun tidak berbeda dengan semur pada umumnya.
Mendengar proses pembuatannya membuat saya enggan untuk memakan sayuran bernama latin Solanum melongena itu lagi di kemudian hari. Pernah saya coba memakannya tetapi lidah dan perut berkata lain. Mual. Sejak saat itu, saya yang memang sudah dari awal tidak suka makan terong, semakin enggan memakan sayur berbiji dan berkulit ungu itu. Mendengar menu “semur” pun, entah bagaimana prosesnya, otak saya langsung mengeluarkan kenangan buruk yang menyisakan trauma pada “semur kebo” ini, hahahaha.
Bandung, 6 Juni 2016
Luana Yunaneva
Tulisan ini pertama kali diposting untuk Kompasiana, dalam Event Fiksi Kuliner Fiksiana Community 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H