Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Trainer BNSP RI, Public Speaker & Professional Hypnotherapist email: Luanayunaneva@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Demi Mimpi, Rela Banting Setir Jurusan dan Korbankan Liburan

25 Mei 2016   22:25 Diperbarui: 26 Mei 2016   01:44 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak SMA yang serius belajar di kelas (ilustrasi: https://hirangputihhabang.wordpress.com)

Beginilah suasana saat pelatihan dan evaluasi di radio. Mukanya tegang semua (dokumentasi pribadi)
Beginilah suasana saat pelatihan dan evaluasi di radio. Mukanya tegang semua (dokumentasi pribadi)
Proses siaran yang panjang pun memberikan pemahaman mendalam bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Seseorang harus menjalani banyak tempaan untuk menjadi pribadi yang tangguh. Abang-abang konsultan yang kelihatan jutek itu sebenarnya memiliki niat yang baik kepada anak-anak didiknya. Selain mengasah mental, mereka juga sering memberikan wejangan untuk kami, baik mengenai perkuliahan, pekerjaan, maupun percintaan #eaaa

Singkat cerita, selama tiga tahun saya membekali diri di dunia radio sebagai penyiar, event organizer (EO), dan radio management. Juga memilih magang di salah satu stasiun televisi swasta di kota asal untuk lebih memperkaya diri. Salah seorang dosen pernah menyarankan saya untuk magang di stasiun televisi lokal agar saya bisa menerapkan ilmu yang saya miliki selama ini. Untuk skripsi pun, saya mengambil radio sebagai objek penelitian.

Saya membacakan berita untuk salah satu program saat magang di televisi lokal (dokumentasi pribadi)
Saya membacakan berita untuk salah satu program saat magang di televisi lokal (dokumentasi pribadi)
Penelitian skripsi di radio lain membuat saya siaran (dokumentasi pribadi)
Penelitian skripsi di radio lain membuat saya siaran (dokumentasi pribadi)
Bersyukur, setelah lulus kuliah, saya mendapatkan kesempatan berkarir sebagai pembaca berita di salah satu radio berita di ibukota. Hal ini menjadi sukacita tersendiri lantaran tanpa ditempa di radio sebelumnya saat kuliah, belum tentu saya bisa bergabung di sana.

Saya membacakan berita di salah satu radio berita di ibukota (dokumentasi pribadi)
Saya membacakan berita di salah satu radio berita di ibukota (dokumentasi pribadi)
Di radio yang baru, saya juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi diri yang selama ini terpendam dan tidak disadari. Saya tidak hanya berkutat di depan komputer dan ruang siaran, tetapi juga bertemu banyak orang untuk liputan. Kebetulan, saya membuat sebuah program rutin setiap minggunya. Kesempatan berjejaring dengan banyak pihak pun saya manfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri dan memperkaya wawasan. Bahkan sepulang jam kerja pun, saya masih bisa melanjutkan kursus untuk meningkatkan lifeskill.

Setelah terjun ke dunia kerja, lantas tidak ada duka yang dialami? Siapa bilang? Keputusan saya untuk 100 persen berkarya di radio harus kembali saya pertanggungjawabkan kepada orang tua bahwa inilah yang menjadi mimpi sejak masih kecil. Jujur saja, Ayah dan Ibu menginginkan saya menjadi wanita karier yang tampak anggun. Mengenakan pakaian ala office style, memakai high heels, dan menjinjing tas kulit. Tetapi nyatanya, saya lebih tertantang terjun di media dengan seragam bebas rapi. Saya bisa pergi ke kantor dengan mengenakan celana jeans, kemeja, dan sepatu kets atau menggunakan dress formal. 

Lebih jauh, orang tua terkadang mempertanyakan kapan saya pulang, terutama menjelang hari libur nasional dan long weekend. Sementara, hari libur yang sudah kantor tetapkan untuk saya adalah Minggu. Maklum, ada penerapan sistem shift kerja di sini. Kalau sudah begitu, ingin rasanya saya terjun dari lantai tiga kantor ke perkampungan warga sebab kebingungan mau menjawab apa. Keinginan pulang pasti ada. Namun apatah daya ini jika jadwal sudah menetapkan saya tetap masuk ke kantor? Belum lagi kalau anak kos seperti saya mengalami tanggal tua alias belum gajian. Berbagai jalan harus ditempuh demi kesehatan dompet. Dan sebagai seorang penyiar, tentu saya mengupayakan segala cara untuk menutupi kegalauan kepada orang tua. Salah satunya membuat suara terdengar seceria mungkin. Penyiar kan harus bisa memainkan theater of mind, betul nggak? Hihihi...

Semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin besar pula tanggung jawab untuk dibagikan kepada orang lain. Kesempatan berbagi itu saya dapatkan dari radio pertama tempat saya bergabung. Mereka mengundang saya untuk menjadi pemateri dalam seminar World of Radio, Mei 2015.

Saya menyampaikan materi dalam workshop World of Radio, Mei 2015 (dokumentasi pribadi)
Saya menyampaikan materi dalam workshop World of Radio, Mei 2015 (dokumentasi pribadi)
Bertemu kedua konsultan yang banyak memberikan pelajaran kehidupan, juga generasi baru radio ini memberikan saya energi bahwa hidup merupakan kesempatan untuk belajar dan bermimpi. Melihat mereka yang bermimpi menjadi penyiar, melahirkan mimpi baru bagi saya.

Saya berfoto bersama salah satu konsultan dan generasi baru di radio (dokumentasi pribadi)
Saya berfoto bersama salah satu konsultan dan generasi baru di radio (dokumentasi pribadi)
Setahun ini saya menjadi redaktur salah satu majalah komunitas di ibukota. Setelah enam tahun menjajaki broadcasting radio, saya kembali 'banting setir'. Bedanya dengan banting setir sebelumnya, kali ini bidangnya masih mirip. Sama-sama di bidang pemberitaan, hanya saja melalui tulisan. Bagi saya, ini merupakan kesempatan luar biasa untuk mengembangkan talenta yang sudah Tuhan percayakan. Penyesuaian lagi? Pasti. Namun inilah seni dari menjadi jurnalis. Menjadi pembelajar seumur hidupnya.

Kuliah strata satu (S1) sudah lulus, pekerjaan ada di tangan, lalu apa lagi yang masih saya cari? Sejak Ayah wisuda program pascasarjananya, jujur, saya juga ingin mengikuti jejaknya. Namun dengan sedikit catatan. Bukan dengan biaya pribadi melainkan beasiswa. Memang, setelah saya lulus S1, kedua orang tua pernah menyatakan keinginannya untuk membiayai saya kuliah S2, namun saya menolak dengan halus. Saya rasa, sudah cukup kerepotan mereka yang membiayai sedari kecil hingga kuliah. Tekad saya untuk kuliah S2 dan mencari beasiswa semakin kuat setelah sering menghadiri seminar pendidikan.

Prancis menjadi tujuan saya mengajukan beasiswa. Ketertarikan saya sepele. Bahasanya seksi. Penyanyi idola saya, Anggun Cipta Sasmi juga membesarkan namanya dalam bidang tarik suara di negara Eiffel tersebut. Setelah saya telusuri lebih jauh, sistem pendidikan yang nyaris gratis (saking murahnya) membuat saya bergeming. Tidak ingin melewatkannya, saya memperdalam kemampuan berbahasa Prancis dan mengikuti ujian internasionalnya yang disebut DELF (Diplôme d'Etudes en Langue Française). Browsing informasi sana-sini pun sudah saya lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun