Singkat cerita, selama tiga tahun saya membekali diri di dunia radio sebagai penyiar, event organizer (EO), dan radio management. Juga memilih magang di salah satu stasiun televisi swasta di kota asal untuk lebih memperkaya diri. Salah seorang dosen pernah menyarankan saya untuk magang di stasiun televisi lokal agar saya bisa menerapkan ilmu yang saya miliki selama ini. Untuk skripsi pun, saya mengambil radio sebagai objek penelitian.
Setelah terjun ke dunia kerja, lantas tidak ada duka yang dialami? Siapa bilang? Keputusan saya untuk 100 persen berkarya di radio harus kembali saya pertanggungjawabkan kepada orang tua bahwa inilah yang menjadi mimpi sejak masih kecil. Jujur saja, Ayah dan Ibu menginginkan saya menjadi wanita karier yang tampak anggun. Mengenakan pakaian ala office style, memakai high heels, dan menjinjing tas kulit. Tetapi nyatanya, saya lebih tertantang terjun di media dengan seragam bebas rapi. Saya bisa pergi ke kantor dengan mengenakan celana jeans, kemeja, dan sepatu kets atau menggunakan dress formal.Â
Lebih jauh, orang tua terkadang mempertanyakan kapan saya pulang, terutama menjelang hari libur nasional dan long weekend. Sementara, hari libur yang sudah kantor tetapkan untuk saya adalah Minggu. Maklum, ada penerapan sistem shift kerja di sini. Kalau sudah begitu, ingin rasanya saya terjun dari lantai tiga kantor ke perkampungan warga sebab kebingungan mau menjawab apa. Keinginan pulang pasti ada. Namun apatah daya ini jika jadwal sudah menetapkan saya tetap masuk ke kantor? Belum lagi kalau anak kos seperti saya mengalami tanggal tua alias belum gajian. Berbagai jalan harus ditempuh demi kesehatan dompet. Dan sebagai seorang penyiar, tentu saya mengupayakan segala cara untuk menutupi kegalauan kepada orang tua. Salah satunya membuat suara terdengar seceria mungkin. Penyiar kan harus bisa memainkan theater of mind, betul nggak? Hihihi...
Semakin banyak ilmu yang dimiliki, semakin besar pula tanggung jawab untuk dibagikan kepada orang lain. Kesempatan berbagi itu saya dapatkan dari radio pertama tempat saya bergabung. Mereka mengundang saya untuk menjadi pemateri dalam seminar World of Radio, Mei 2015.
Kuliah strata satu (S1) sudah lulus, pekerjaan ada di tangan, lalu apa lagi yang masih saya cari? Sejak Ayah wisuda program pascasarjananya, jujur, saya juga ingin mengikuti jejaknya. Namun dengan sedikit catatan. Bukan dengan biaya pribadi melainkan beasiswa. Memang, setelah saya lulus S1, kedua orang tua pernah menyatakan keinginannya untuk membiayai saya kuliah S2, namun saya menolak dengan halus. Saya rasa, sudah cukup kerepotan mereka yang membiayai sedari kecil hingga kuliah. Tekad saya untuk kuliah S2 dan mencari beasiswa semakin kuat setelah sering menghadiri seminar pendidikan.
Prancis menjadi tujuan saya mengajukan beasiswa. Ketertarikan saya sepele. Bahasanya seksi. Penyanyi idola saya, Anggun Cipta Sasmi juga membesarkan namanya dalam bidang tarik suara di negara Eiffel tersebut. Setelah saya telusuri lebih jauh, sistem pendidikan yang nyaris gratis (saking murahnya) membuat saya bergeming. Tidak ingin melewatkannya, saya memperdalam kemampuan berbahasa Prancis dan mengikuti ujian internasionalnya yang disebut DELF (Diplôme d'Etudes en Langue Française). Browsing informasi sana-sini pun sudah saya lakukan.