Tuhan memang tidak tidur. Melihat anak-Nya yang gigih berusaha dan terus berharap, Tuhan memberikan saya kesempatan untuk diterima di jurusan yang saya idam-idamkan. Ilmu Komunikasi. Rasa syukur tiada hentinya saya ucapkan karena bidang ini membuka kesempatan lebar agar saya semakin dekat dengan impian saya sejak kecil, yakni menjadi seorang penulis dan announcer.
Tanpa Sadar, Impian itu Telah Lama Terukir
Sejak duduk di kelas empat SD, saya memang gemar menulis cerpen di dalam kelas. Tulisan-tulisan itu saya goreskan di lembaran kertas dan buku tulis biasa. Ceritanya tidak jauh dari kehidupan anak-anak seumuran saya atau lebih dewasa.
Seiring bergulirnya waktu, saya mulai tertarik dengan dunia broadcasting, entah radio maupun televisi. Saya sangat senang mendengarkan penyiar radio yang memiliki suara merdu dan piawai membawakan program. Juga presenter berita yang kelihatan cerdas tatkala membacakan berita dan reporter yang menyampaikan laporan on the spot. Yang terbesit di benak saya, “Kayaknya keren ya kalau saya yang berdiri di situ, dengan nama yang tertera di bawahnya.” Percikan-percikan imaji itu mulai tertanam dalam benak.
Ambil Langkah Unlimit8
Memiliki label sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi tentu bukanlah jaminan kemudahan melenggang ke dunia penulisan maupun penyiaran. Menyadari hal itu, saya pun berkomitmen untuk tidak menjadi mahasiswi kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang.
Sejak menyandang status sebagai mahasiswi, saya sudah sibuk mencari kegiatan ini-itu yang saya yakini dapat mendekatkan saya dengan cita-cita maupun menyalurkan hobi. Dari beberapa organisasi yang pernah saya ikuti di awal kuliah, hanya ada tiga kegiatan yang bertahan yaitu broadcasting radio, paduan suara, dan persekutuan mahasiswa.
Prioritas saya waktu itu adalah radio sebab saya melihat ada masa depan yang cerah di dalamnya. Bukan karena namanya yang terkenal melainkan sebuah kesempatan untuk mempelajari banyak hal baru dan menantang bersamanya. Sabtu 9 Maret 2016 merupakan momen bersejarah dalam hidup ketika saya memutuskan untuk bergabung. Saya yang tadinya buta dunia ini, perlahan mulai mengerti bahwa seorang penyiar bukanlah sosok yang asal berbicara di depan publik melainkan pribadi yang menggunakan seluruh indera yang dimiliki untuk memberi manfaat bagi siapa pun.
Ada banyak sekali proses yang tidak mengenakkan sebelum seorang penyiar benar-benar mengudara. Di tengah padatnya jadwal kuliah dan ujian, saya dan calon penyiar yang lain harus menyisihkan waktu untuk membuat sepuluh skrip siaran setiap harinya,dalam kurun tiga bulan. Kemudian hampir setiap malam kami harus mengikuti training. Terkadang kami harus mengikuti kegiatan di radio pada Sabtu atau Minggu. Belum lagi dua konsultan radio selalu pasang muka sangar kepada generasi baru seperti kami. Jangankan mendiskusikan sesuatu, menyapa mereka saja kami seakan tak punya nyali. Sapaan ramah kami yang mereka abaikan, itu hal yang biasa. Bisa membuat mereka berdua menoleh atau berdehem saja, itu sudah luar biasa. Sempat ingin menyerah? Pasti. Namun kalau saya menyerah, perjuangan selama ini bakal sia-sia.