Mohon tunggu...
L. T. Handoko
L. T. Handoko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Periset

Saya hanya seorang peneliti biasa yang penuh dengan rasa keingintahuan dan obsesi untuk membuat aneka invensi dalam riset bersama grup kecil saya di LIPI yang kemudian diintegrasikan ke BRIN. Info detail silahkan kunjungi http://lt.handoko.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jurnal Predator: Siapa Memangsa Siapa?

5 Oktober 2013   07:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:58 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OAJ abal-abal

Sayangnya, dilain sisi ada beberapa pihak yang memanfaatkan model bisnis OAJ dengan lebih 'kreatif' untuk kepentingan mengeruk keuntungan finansial semata, dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah baku. Kondisi ini didukung oleh perkembangan terkini :

  • Pertambahan jumlah peneliti dan publikasi hasil penelitian secara eksponensial dari tahun ke tahun.
  • Tidak hanya negara-negara maju, justru banyak negara-negara berkembang yang mulai menyadari pentingnya investasi ilmu pengetahuan untuk masa depan.
  • Sehingga terjadi peningkatan kompetisi secara signifikan antar negara, institusi dan personil pelaku riset.
  • Tuntutan yang semakin tinggi dari setiap institusi terhadap keluaran grup dan personil periset, khususnya dalam bentuk publikasi ilmiah.
  • Munculnya ketidakseimbangan jumlah publikasi dan jurnal ilmiah seperti ditunjukkan oleh data di grafik di sebelah kanan, dimana kotak (bulatan) menunjukkan pertumbuhan jumlah jurnal (karya tulis) ilmiah.

Lantas, mengapa muncul anekdot OAJ 'abal-abal' alias jurnal predator yang mengesankan penghinaan ? Ini tidak lain karena banyak 'penerbit online penuh' yang menerbitkan beragam jurnal dengan tujuan utama (meski tidak eksplisit diungkapkan) untuk mengambil keuntungan finansial dari biaya lisensi OA. Perbedaan utama antara OAJ yang murni dan abal-abal sangat mudah, antara lain :

  • Biaya lisensi OA tidak dibuka sebagai opsi, melainkan wajib dilunasi bagi semua penulis sebelum artikel diterbitkan.
  • Proses penilaian artikel sebelum diterbitkan (review) yang meragukan / basa-basi, bahkan dalam banyak kasus hampir seperti tanpa review. Ditunjukkan dengan bagian yang diarsir pada gambar di bawah. Padahal proses inilah yang menjadi garda terdepan kontrol kualitas di sisi pengelola jurnal.
  • Daftar Dewan Editor yang terdiri dari para 'pakar' di bidang terkait yang tidak jelas. Setiap peneliti di suatu bidang seharusnya mengenali para pakar di bidangnya. Sehingga bila anggota Dewan Editor terdiri dari orang-orang yang tidak dikenal sudah seharusnya mencurigai eksistensi jurnal tersebut.
  • Pengelola jurnal adalah pihak penerbit itu sendiri.
  • Rekam jejak jurnal yang sangat pendek, secara umum jurnal yang terbit setelah setelah tahun 2005 yang menganut 4 kriteria di atas patut dicurigai.

Hal mendasar yang paling 'merusak' dari model bisnis OAJ seperti ini adalah hilangnya kontrol alami dari komunitas pembaca terkait atas kualitas konten jurnal. Karena penerbit jurnal tidak perlu peduli apakah terbitannya laku atau tidak, keuntungan memadai telah diperoleh hanya dari biaya lisensi OA. Dilain sisi biaya penerbitan artikel sangat rendah karena seluruh proses dilakukan secara online penuh. Sehingga secara alami, ekosistem penerbitan jurnal serta komunitas ilmiah pendukungnya, seperti ditunjukkan di gambar di bawah, yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun silam menjadi mandul. Yaitu dengan hilangnya peran pihak III yaitu konsumen. Konsumen yang ada hanyalah para birokrat penyandang dana yang menerima koleksi artikel yang telah diterbitkan tersebut sebagai bentuk pertanggung-jawaban dana penelitian dari para peneliti penulis artikel. Tentu saja konsumen tipe ini tidak bisa diharapkan menjadi kontrol alami atas kualitas seperti layaknya pembaca individu yang notabene adalah para peneliti di komunitas terkait.

Mengapa hal semacam ini bisa terjadi ? Tidak lain akibat peningkatan tuntutan atas 'publikasi internasional' dari penyandang dana penelitian. Seperti telah disinggung di atas, peningkatan investasi terhadap penelitian memunculkan tuntutan berbasis indikator 'publikasi internasional', khususnya di negara-negara berkembang. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal ini. Kesalahan ada pada munculnya 'petualang-petualang' bisnis yang memanfaatkan situasi dengan menerbitkan OAJ tanpa dibarengi dengan kontrol kualitas, dan ditujukan mencari keuntungan semata.

Permasalahan mendasar bagi para peneliti dan komunitasnya

Dari uraian di atas dengan mudah bisa disimpulkan beberapa masalah mendasar, dalam banyak hal bertentangan dengan etika peneliti dan penelitian, untuk mempublikasikan artikel di OAJ abal-abal :

  • Klaim penelitian telah selesai ? Publikasi merupakan satu bagian tidak terpisahkan dari penelitian. Penelitian belum selesai bila belum dipublikasikan, karena publikasi (dengan proses review dll) merupakan filter terakhir bahwa sebuah penelitian telah 'diakui' oleh komunitasnya. Sehingga publikasi di OAJ dalam konteks ini bernuansa pembohongan atas penyelesaian sebuah penelitian.
  • Pemakaian dana publik yang tidak semestinya ? Selain kebohongan publik atas selesainya sebuah penelitian, terlebih yang didukung dana publik, pemakaian dana publik untuk biaya publikasi ke OAJ abal-abal tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara substansi maupun etika. Hal ini bisa dianalogikan dengan pemakaian dana publik oleh kontraktor pelaksana proyek kontruksi untuk membayar auditor sehingga bisa dikeluarkan sertifikat kelayakan bangunan yang diklaim telah selesai.

Kedua hal di atas saling terkait satu sama lain. Bahkan bisa disimpulkan publikasi di OAJ abal-abal menginisiasi sekaligus dua 'dosa besar' di atas.

Status terakhir

Saat ini, permasalahan ini sudah semakin nyata dan secara langsung menohok komunitas ilmiah global. Di lain sisi kesadaran atas OAJ abal-abal semakin meningkat di kalangan birokrat pengambil kebijakan. Hal ini tidak lain karena efek jangka panjang yang ditimbulkan sangat merusak. Tidak hanya merusak sistem, tetapi juga menghancurkan kepercayaan dan kredibilitas akademis, serta merusak mental para akademisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun