Akhir-akhir ini komunitas ilmiah Indonesia diramaikan dengan isu jurnal predator (predatory journal), telebih setelah polemik muncul di permukaan dalam bentuk aneka opini di media massa nasional pada medio April 2013 sampai dengan akhir-akhir ini [1-4]. Polemik ini khususnya muncul di antara sivitas akademika Universitas Indonesia (UI). Sebenarnya masalah terkait telah muncul sejak tahun lalu, saat ada polemik karya tulis ilmiah (KTI) diAfrican Journal of Agricultural Research (AJAR) oleh "Inul Daratista dan Agnes Monica". Selain itu keprihatinan atas fenomena penyalahgunaan inisitatif open access journal (OAJ) telah disuarakan pada awal tahun lalu, seperti bisa dibaca di artikel Internasionalisasi jurnal lokal : perlukah ?!
OAJ
Apa itu OAJ ? OAJ pada hakekatnya adalah inisiatif mulia dari komunitas ilmiah global untuk membuka akses informasi ilmiah ke publik secara cuma-cuma. Inisiatif ini tidak lain sebagai konsekuensi teknologi internet di awal tahun 2000-an. Inisiatif ini kemudian diikuti oleh pendirian Directory of Open Access Journal (DOAJ) pada awal 2003. Ide ini didorong oleh keinginan mulia bahwa informasi ilmiah seharusnya menjadi milik publik. Untuk itu biaya penerbitan jurnal seharusnya disokong oleh dana publik, apakah dari organisasi nirlaba maupun institusi riset besar berbasis kolaborasi global. Sejak awal inisiatif ini tidak mudah berjalan karena belum adanya bisnis model yang mapan. Tidak mudah membentuk ekosistem sesuai hukum ekonomi yang realistis. Karena tidak mudah mencari penyokong dana (secara berkesinambungan) untuk penerbitan OAJ dari sebagian pemangku kepentingan di komunitas terkait. Dilain sisi secara historis bisnis penerbitan telah berjalan sejak ratusan tahun lampau dengan model bisnis standar :
- Pemasok : para peneliti penulis artikel.
- Penjual : para penerbit jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas secara sukarela dan nirlaba.
- Pembeli : pembaca / pelanggan artikel ilmiah yang membayar dengan tarif tertentu.
Pihak I diatas menulis dan mengirimkan artikel ke jurnal atas dasar sukarela dan nir honor, tetapi berbasis bisnis proses baku komunitas ilmiah global. Yaitu sebagai sarana publikasi hasil penelitian ilmiah setelah proses penilaian oleh kolega seprofesi (review). Karena sesuai kaidah ilmiah, tanpa publikasi memadai sebuah invensi keluaran suatu penelitian tidak bisa diakui. Ekosistem ini telah bertahan selama ratusan tahun sejak era penelitian ilmiah di abad 19, serta telah mencapai kesetimbangan antara model bisnis berbasis ekonomi pasar dengan prinsip-prinsip dasar komunitas ilmiah (integritas, kebebasan dan independensi ilmiah). Poin utama bisnis proses penerbitan ilmiah konvensional adalah seluruh proses substansi dilaksanakan oleh para relawan dari komunitas ilmiah terkait secara sukarela. Pembiayaan muncul sekedar untuk biaya terbitan versi cetak dan distribusi, ditambah (tentu saja) margin bagi penerbit.
Setelah memasuki era internet di abad 21, model bisnis ini mengalami koreksi, termasuk dari komunitas peneliti sebagai pemangku kepentingan utama. Sebagian besar beranggapan para penerbit terlalu banyak mengambil margin, terlebih distribusi konten semakin banyak didominasi oleh media internet dengan biaya yang jauh lebih rendah. Selain itu, biaya cetak juga terpangkas signifikan dengan sistem printing on demand sesuai kebutuhan. Bahkan 'pembelian' produk didominasi oleh access only purchase dalam bentuk berkas elektronik.
Sehingga, di tengah euforia internet secara riil terjadi pergeseran model bisnis dalam 'dunia penerbitan jurnal ilmiah'. Di satu sisi konsumen menghendaki penurunan biaya akses (berlanggan), karena diyakini teknologi internet telah menurunkan biaya produksi dan distribusi penerbitan. Di lain pihak, penerbit mengalami 'krisis' atas peningkatan kompetisi antar penerbit, baik lama maupun baru, mengingat kemudahan akses dan perubahan pola akses konsumen modern yang hanya ditentukan oleh satu 'klik' di tetikus.
Apa yang menjadi konsekuensi berikutnya dari model bisnis di atas ? Lepas dari realita kesuksesan OAJ pertama, Journal of High Energy Physics (JHEP), banyak masalah mendera model bisnis OAJ ini. JHEP diinisiasi pada awal 2000-an oleh konsorsium fisika energi tinggi dengan dukungan pembiayaan dari SISSA Italia, yaitu sekolah pasca sarjana terkemuka untuk bidang fisika teori. JHEP adalah jurnal resmi pertama yang sejak pendiriannya mengimplementasikan online penuh (tanpa versi cetak) dan pembebasan biaya akses. Karena dukungan dana pihak ketiga, para penulis juga tidak dikenakan biaya apapun. Dalam perjalanannya JHEP menjadi jurnal terkemuka di bidangnya dengan faktor impak tertinggi. Semua ini tidak lepas dari banyaknya sitasi ke artikel-artikel yang diterbitkan karena bisa diakses oleh siapapun secara cuma-cuma. Ditambah dengan kemudahan proses (pengiriman, penilaian, komunikasi, penerbitan) yang semuanya online penuh dan ternyata mampu memangkas semua proses menjadi rata-rata 1/4 total waktu standar pada saat itu. Sebenarnya Indonesia tidak terlalu ketinggalan, karena pada 2002 melalui LIPI telah diluncurkan layanan awan untuk pengelolaan jurnal di Jurnal Online yang diinspirasi oleh sistem JHEP. Jurnal Online ini yang kemudian menjadi cikal bakal Open Journal System (OJS) yang saat ini dikelola organisasi Open Public Knowledge.
Mengikuti ekosistem alami, faktor-faktor diatas mendorong masuknya artikel-artikel dalam jumlah besar. Ditambah dengan dukungan komunitas ilmiah yang solid, tidak heran JHEP bisa mencapai statusnya saat ini meski berusia muda dibandingkan dengan jurnal-jurnal utama di bidang yang sama seperti misalnya Physical Review maupun Nuclear Physics yang telah berusia puluhan tahun. Dukungan komunitas ilmiah utamanya adalah para pakar yang diakui global sebagai relawan Editor dan penilai untuk menyaring substansi dari artikel-artikel yang masuk. Sayangnya dengan semakin meningkatnya beban finansial akibat peningkatan status dan pengakses, SISSA akhirnya menyerah dan menyerahkan pengelolaan JHEP ke penerbit swasta, yaitu IOP sampai saat ini.
Berkaca dari kasus JHEP, bisa diambil beberapa pelajaran penting :
- Kontrol kualitas substansi oleh para pakar global yang mumpuni yang merupakan modal dasar jurnal ilmiah tetap terjaga secara konsisten.
- Meski biaya pengelolaan jurnal sangat rendah dibandingkan sistem konvensional, tetap diperlukan biaya yang cukup signifikan yang tidak bisa ditanggung hanya oleh satu institusi tertentu.
- Karena muncul inefisiensi akibat kantor sekretariat yang hanya mengurus penerbitan satu jurnal. Ini kontras dengan penerbit yang sudah mapan yang mengelola ratusan jurnal.
- Sulitnya mencapai 'kesepakatan' dukungan pendanaan dari para pemangku kepentingan, sehingga kembali dikelola oleh penerbit konvensional IOP. Karena sulit 'membagi beban biaya' ke para pemangku kepentingan dengan spektrum (level - cakupan - kemampuan finansial) yang beragam. Harmonisasi dan distribusi beban pendanaan secara adil pada prakteknya sulit dicapai dan dicari justifikasinya.
Sehingga untuk saat ini bisa disimpulkan OAJ dengan idealisme awal masih sulit direalisasikan serta belum menemukan model bisnisnya. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan dalam status quo.
Lebih jauh lagi, akhirnya OA hanya menjadi salah satu opsi yang disediakan penerbit jurnal ke para penulis artikel. Sehingga karya tulis yang 'dibayar' lisensinya oleh penulis (atau lembaganya) dibuka bebas untuk publik, selebihnya tetap didistribusikan sebagai produk berlisensi yang hanya bisa diakses oleh pelanggan yang membayar. Meski untuk sementara model bisnis ini cukup adil bagi semua pihak, tentu saja belum menjadi solusi memuaskan untuk merealisasikan idealisme awal OAJ. Secara teknis hal ini dimungkinkan oleh distribusi jurnal ilmiah yang berbasis internet pada level artikel per-artikel, sangat kontras dengan distribusi konvensional yang berupa satu bundel nomor penerbitan.