Mohon tunggu...
L. T. Handoko
L. T. Handoko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Periset

Saya hanya seorang peneliti biasa yang penuh dengan rasa keingintahuan dan obsesi untuk membuat aneka invensi dalam riset bersama grup kecil saya di LIPI yang kemudian diintegrasikan ke BRIN. Info detail silahkan kunjungi http://lt.handoko.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Internasionalisasi Jurnal Lokal: Perlukah ?!

5 Februari 2012   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, dan yang terpenting, proses menuju sebuah jurnal global merupakan proses alami berbasis hukum pasar. Itulah sebabnya setiap jurnal (global) juga mengalami pasang surut pengakuan dari komunitasnya. Secara umum sebuah jurnal akan diakui secara global oleh komunitasnya melalui proses dari sebuah ekosistem alami :

  1. Dikelola oleh Editor yang memiliki kredibilitas dan kewibawaan ilmiah di bidang dan komunitasnya.
  2. Sehingga banyak penulis tertarik untuk menerbitkan artikelnya ke jurnal tersebut sebagai bentuk pengakuan atas kebaruan (invensi) yang diklaim di dalam artikelnya.
  3. Ini meningkatkan kompetisi untuk diterbitkan di jurnal tersebut.
  4. Sehingga hanya tulisan bermutu, alias mengandung kebaruan yang signifikan, yang diterbitkan di jurnal tersebut.
  5. Sehingga akan banyak penulis berikutnya yang merujuk pada artikel di jurnal tersebut.
  6. Ini menyebabkan komunitas pembaca jurnal tersebut akan meningkat karena perlu mengetahui perkembangan terakhir ilmu di bidang tersebut.
  7. Kembali ke siklus nomor 2 diatas dan seterusnya...

Dari uraian ekosistem diatas sudah jelas apa yang harus dilakukan oleh jurnal lokal untuk beranjak menjadi global :

  • Undang sivitas ternama di bidang terkait sebagai Editor, kalau perlu dibayar.
  • Undang sebanyak mungkin sivitas-sivitas top di bidang terkait untuk menuliskan dan menerbitkan artikelnya di jurnal.

1328458625866370891
1328458625866370891
Strategi ini dilakukan oleh semua jurnal-jurnal yang relatif baru. Terlebih di era internet saat ini, secara teknologi menerbitkan jurnal sangat mudah. Ditambah dengan inisiasi Open Access (OA) yang awalnya ditujukan untuk mendorong diseminasi informasi ilmiah dengan biaya rendah, atau bahkan cuma-cuma. Tetapi dewasa ini tujuan mulia tersebut sering diselewengkan dalam bentuk opsi OA ditawarkan bagi penulis dengan embel-embel biaya publikasi yang cukup mahal, lebih kurang US$ 500 - 1000 / artikel. Akhirnya jurnal-jurnal baru banyak yang mengadopsi sistem OA penuh, tetapi mengambil keuntungan dari pembayaran biaya publikasi ini. Tidak heran banyak sekali 'bisnis penerbitan jurnal (internasional)' dengan model bisnis ini, karena potensi keuntungan yang cukup menggiurkan dibandingkan dengan biaya penerbitan yang relatif sangat rendah karena semua dilakukan secara daring.

Tetapi sebenarnya kita dengan mudah bisa membedakan jurnal yang (meski baru) cukup bermutu secara global atau tidak. Kriteria terindeks secara global diatas bisa dipakai, juga bisa dilihat apakah Editor jurnal tersebut personal-personal yang mumpuni di bidangnya atau tidak, apalagi bila ditambah dengan kriteria memiliki faktor impak !

Untuk jurnal-jurnal terbitan lokal, minimal untuk saat ini, sebaiknya tidak usah terlalu memiliki obsesi tinggi. Khususnya di tengah realita bahwa jurnal di Indonesia banyak yang 'masturbasi', alias : di-edit sendiri, diterbitkan sendiri, ditulis sendiri dan dibaca sendiri (kalaupun dibaca). Karena memang hanya sekedar untuk mendapatkan angka kredit untuk kenaikan pangkat fungsional dosen / peneliti. Sebenarnya kedua sistem akreditasi di Dikti dan Pusbindiklat Peneliti LIPI harus dan cukup berperan di level ini, yaitu mengeliminasi aneka jurnal-jurnal tidak jelas tersebut. Tidak heran kendala umum dari para pengelola jurnal tersebut adalah 'keberlangsungan' karena kekurangan artikel meski untuk menerbitkan kurang dari 10 artikel dalam setahun !

Idealnya sebuah jurnal dikelola dan diterbitkan oleh himpunan profesi terkait sebagai representasi komunitas terkait, atau oleh penerbit komersial dengan dukungan himpunan profesi. Sehingga :

  • Cukup ada satu jurnal untuk satu bidang, atau bila perlu dibagi menjadi sub-bidang cukup dibuat dalam beberapa volume.
  • Dikelola himpunan profesi atau oleh penerbit komersial atas nama himpunan profesi.
  • Pendanaan dilakukan bersama, sehingga cukup memiliki kemampuan finansial untuk membentuk sekretariat administrasi, membayar DOI, atau kalau perlu biaya sebagai anggota yang diindeks global.
  • Editoral bersama oleh sivitas-sivitas yang mumpuni dari beberapa institusi terkait.

Semoga ke depan sudah tidak ada lagi pendapat atau pemikiran (serius) yang salah-kaprah dan (sebenarnya) cukup memalukan untuk meng-internasional-kan jurnal lokal...;-(. Ide-ide semacam ini hanya menunjukkan level pemahaman akan dunia riset kita yang masih sangat rendah, sehingga tidak heran bila aneka regulasi yang menyertainya seringkali salah kaprah. Ini sebenarnya mirip dengan jargon "menciptakan peraih Nobel dari Indonesia tahun 2020" yang diusung pak Yo(hanes Surya) hampir 20 tahun yang lalu. Padahal peraih Nobel bukan sesuatu yang diciptakan, dan riset tidak dilakukan untuk meraih Nobel...;-(.

Salah satu contoh ke-salah-kaprah-an kebijakan tercermin dari opini yang sering terdengar : "kebanyakan peneliti yang bagus maunya hanya publikasi di jurnal global, dan tidak mau di jurnal lokal". Kembali ke pemahaman diatas, yang harus dilakukan di Indonesia saat ini adalah bagaimana memperbanyak akademisi yang bisa bersaing global, ditunjukkan dengan kemampuan menulis di jurnal global. Dengan itu peringkat Indonesia akan naik, dan pada saatnya kelak jurnal lokal akan ikut terangkat ! Karena di dunia ilmiah, sekali lagi, yang penting bukan jurnalnya tetapi sivitas pelakunya... Jurnal global akan muncul dengan sendirinya bila kita memiliki cukup banyak sivitas yang berkiprah secara global. Kecuali kalau kita hanya akan berbisnis menjadi penerbit jurnal global : cukup adopsi sistem OA, sediakan sedikit modal untuk mengundang + membayar pelaku-pelaku riset global untuk menjadi Editor dan penulis. Sehingga sangat naif dan tidak bermakna bagi pembayar pajak di republik ini untuk 'menciptakan' jurnal global dari Indonesia tanpa memperbaiki iklim riset terlebih dahulu... Ini sama seperti investor yang ingin membuat toko roti hebat dengan membeli merek + resep + lokasi bagus, tetapi tidak berusaha memiliki koki yang mumpuni...;-)

Contoh kedua tentu saja polemik kewajiban publikasi bagi mahasiswa S1-S3 yang baru saya ulas di Kewajiban publikasi di jurnal untuk kelulusan mahasiswa : bagus tetapi... kemarin. Pendapat umum di kalangan komunitas ilmiah di Indonesia : saat ini di Indonesia terlalu banyak jurnal lokal dan sebagian besar tidak jelas. Sebaliknya kalau melihat opini yang berkembang akibat kewajiban publikasi diatas, jumlah jurnal di Indonesia bisa jadi sangat kurang ! Kontradiksi semacam ini muncul akibat kebijakan yang salah kaprah, tidak terintegrasi dan reaktif alias instan. Kalaupun dipaksakan untuk diberlakukan akan merusak iklim ilmiah yang masih memble. Bagaimana tidak, kalau kelak pengelola jurnal lokal (atau malah mikro saking 'lokal'-nya) seperti mendapatkan justifikasi untuk tetap mempertahankan jurnalnya meski berkategori 'masturbasi', dan memang bakal hidup (mungkin lebih makmur) karena ada pasokan 'tidak terbatas' dari karya tulis mahasiswa di jurusan masing-masing.

Saya menyadari bahwa kita memang masih harus bersabar, karena ya memang masih di level itulah posisi kita, karena jumlah 'akademisi riil' masih belum mencapai mayoritas atau minimal titik kritis. Beruntunglah Malaysia yang memiliki populasi kecil, dan jumlah PT hanya belasan (di era 90-an), sehingga dengan cepat memiliki mayoritas akademisi dengan pemahaman akademis yang benar hanya dengan mengirim rakyatnya belajar ke luar negeri sebanyak dua kali lipat dari Indonesia di era Mahathir tahun 90-an... Sehingga saat mereka mengalokasikan dana pendidikan besar-besaran di awal milenium, semuanya dilakukan dengan jauh lebih bertanggung-jawab dan mengikuti kaidah ilmiah global. Bahkan pendidikan bisa dijadikan salah satu industri masa depan dengan mendirikan banyak sekali PT baru dengan target mahasiswa asing dengan mayoritas penduduk Indonesia dan Timur Tengah. Tapi tidak apa, saya percaya saat kita mencapai titik kritis, dengan jumlah populasi akademisi yang jauh lebih besar kita akan mampu bersaing kelak. Yah, asal tidak terlalu lama saja, karena makin lama artinya potential loss makin besar...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun