PEJABAT PUBLIK ITU PETUGAS PARTAI
Oleh:
PAULUS LONDO
Meski menimbulkan polemik namun pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bahwa Presiden Joko Widodo adalah petugas partai sungguh benar dan tepat. Tentu tidak hanya presiden, tapi semua orang yang memangku jabatan public karena mendapat mandat, penugasan dan atau direkomendasi oleh satu partai politik adalah petugas partai.Memang,seseorang dapat meraih jabatan public setelah melalui8 proses politik yang melibatkan aspirasi rakyat banyak yaknipemilihan umum.Namun peluang untuk itu hanya bisa terjadi jika seseorang diusulkan oleh satupartai politik. Jadi tidak salah jika seorang pejabat public tetap ingat diri bahwa ia juga petugas partai.
Kesadaran diri pejabat public bahwa ia ditugaskan oleh partai untuk memangku jabatan tertentu, hanya akan bermakna negative jika oleh partaiia ditugaskan melakukan perbuatan tercela menguntungkan partainya sendiri, seraya merugikan pihak lain. Namun ia tetap bermakna positif bila dalam penugasan itu, pimpinanj dan warga partai dengan tegas menggariskan keharusan sang petugas partai mengabdi dengan tulus ikhlas demi kepentingan bangsda, negara dan kemaslahatan seluruh umat manusia.
Penegasan Ketua Umum PDIP, bahwa Presiden Jokowi adalah petugas partai sesungguhnya mengandung pengakuan bahwa baik atau buruknya kinerja presiden,tidak hanya menjadi tanggung jawab dari sang presiden sendiri, tapi juga menjadi tanggung jawab partai yang menugaskannya. Dengan demikianseorang presiden tidak akan bertindak semena-mena mengikuti kemauan diri sendiri, melainkan harus tetap pada jalur penugasan yang ditetapkan partai. Dengan kata lain, dalam kontek pelaksanaan tugas, Presiden Jokowi mesti konsisten menjalankanNawa Cita dan Trisakti yang mendasari pengajuan dirinya sebagai calon presidenj dalal Pilpres yang lalu.
Dalam konteks itu, partai mesti mermiliki kemampuan untuk mengontrol perilaku pejabat public agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang mendasari penugasannya.Bahkan harus memiliki kemampuan menjatuhkan sanksi jika sang pejabat public mengingkari keberadaannya sebagai petugas partai. Pengalaman yang terjadi pada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang memutuskan hubungan dengan partai yang mengusungnya sehingga meraih jabatan Gubernur DKI Jakarta, hendaknya tidak boleh terulang. Karena hal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk pengkhianatan dan pengingkaran terhadap asal usul, yang tak pantas dilakukan oleh pejabat public.
PAULUS LONDO, Kertua LS2LP/SUAR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H