Mohon tunggu...
SUAR LSSPI
SUAR LSSPI Mohon Tunggu... -

SUAR (Suara Akar Rumput) adalah bagian dari LS2LP (Lembaga Studi Sosial Lingkungan @ Perkotaan)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Aneka Ragam Masalah Lingkungan Membelit Jakarta

1 November 2013   17:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:43 2239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_275472" align="aligncenter" width="300" caption="Paulus Londo, Ketua LS2LP/SUAR"][/caption]

Aneka Ragam Masalah Lingkungan Membelit Jakarta

Oleh:

Paulus Londo.- *)

Provinsi DKI Jakarta terbagi dalam5 wilayah Kota dan 1 Kabupaten.Semuanya berstatus administratif (tidak memiliki otonomi sendiri). Status daerah otonomberada pada tingkat provinsi. Kabupaten Kepulauan Seribu adalah satu-satunya kabupaten yang bersifat administratif di Indonesia.Wilayah DKI Jakarta berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Laut Jawa. Di selatan bagian Timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.Sebelah Selatan bagian Barat berbatasan dengan Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan. Sedangkan sebelah Utara terdapat Laut Jawa.

KotaJakarta Barat terdiri dari 8 kecamatan dan 56 kelurahan. Kota Jakarta Pusat terdiri dari 8 kecamatan dan 44 kelurahan. Jakarta Selatan terdiri dari 10 kecamatan dan 65 kelurahan. Jakarta Timur terdiri dari 10 kecamatan dan 65 kelurahan.Kota Jakarta Utara terdiri dari 6 kecamatan dan 32 kelurahan. Kabupaten Kepulauan Seribu terdiri dari delapan kecamatan dan 56 kelurahan 2 kecamatan dan 6 kelurahan.

Adapun luas dari setiap Kota dan Kabupaten di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

1. Kota Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2,

2. Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2,

3. Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2,

4. Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2,

5. Kota Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2,

6. Kabupaten Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2.

Di wilayah utara Jakarta membentang garis pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Strukturgeologis Jakarta seluruhnya berupadataran rendah yang terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah.

Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m.

Kota Jakarta beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7°C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C -25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, selama periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik.(Sumber : Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012)

Problematika Lingkungan hidup

Dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta adalah meruoakan daerah sedang berhadapan dengan bebagai permasalahan lingkungan hidup yang kompleks, dan hampir membelit semua aspek dan dimensi kehidupan masyarakatnya. Juga kadar, jenis maupun cakupannya terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, salah satu permasalahan menjadi penyebab timbulnya permasalahan berikutnya yang tak kalah rumitnya.

Hal itu terjadi sebagai akibat tingginya tingkat pertumbuhan pendudukan, baik darikelahiran maupun karena urbanisasi.Pertambahanjumlah penduduk yang terus meningkat pada akhirnya menimbulkan tekanan terhadap lingkungan hidup juga meningkat. Alih fungsi lahan semakin sulit dihindari . Data yang dirilis oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan bahwa dengan rata-rata 100 lubang makam/perhari, maka tiga tahun kedepan DKI Jakarta bakal mengalami krisis lahan pemakaman.

Dari diskusi dengan berbagai pihak serta pengamatan di lapangan maka permasalahan lingkungan hidup yang menonjol di DKI Jakarta antara lain:

1.Kerusakan lingkungan di DKI Jakartaditandai dengan berkurangnya daerah resapan air, menyusutnya areal terbuka hijau (RT), kerusakan area terbuka biru (sungai, situ, saluran air, dan perairan pantai) eksploitasi air bawah tanah dengan berbagai dampak negatifnya (penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, dan sebagainya),abrasi pantai akibatberkurangnya hutan mangrove di pantai utara,serta sistem drainase kota yang buruk.

2.Pencemaran lingkungan di DKI Jakarta ditandai dengan tingginya tingkat pencemaran udara, air, dan perairan laut akibat pengelolaan sampah dan limbah yang belum baik dan benar.

Masyarakat memiliki peranan penting dalam kerusakan dan pencemaran lingkungan, karena itu seyogyanya mengambil peran yang sama pentingnya dalam perlindungan lingkungan hidup sebagai implementasi hak dan kewajiban asasi warga negara yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Masalah Aktual

1Alih Fungsi Lahan Ruang Kota

a. Ruang Terbuka Hijau.

Ruang Terbuka Hijau(RTH)tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota, penyerap polusi udara, tapi juga memberikan rasa nyaman. Ia juga bertfungsi sebagai penyerap air sehingga kota terhindar dari ancaman banjir. Jika berpatokan pada standar RTHyang berlaku di negara-negara maju yakni 7,81 m2 RTH/penduduk, studi Fakultas Kehutanan IPB (2003) memperhitungkan luas RTH di Jakarta seharusnya 15.897 ha (21,45 persen dari total luas kota). Ini berarti dengan target luas RTH 13,94 persen (Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010), Jakarta di tahun 2010 hanya mampu memiliki kapasitas resapan air sekitar 54 persen dari kebutuhannya.

Laju pertumbuhan penduduk yang melaju pesat telah mendorong perubahan fungsi lahan kota secara besar-besaran. Ini tergambar jelas pada citra satelit yang menunjukan tutupan hutan kota terus menyusut, bahkan nyaris lenyap dari wilayah DKI Jakarta. Sejak 15 tahun silam, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah bertekad menambah luasan RTH. Selain itu juga dilakukan pembagian RTH atas 4 (empat)kategori yakni: 1. RTH Taman; 2. RTH Privat; 3. RTH Pemakaman; 4. RTH Pembibitan.

Meski ada niat untuk terus mengembangkan luasan RTH, namun dalam pelaksanaan di lapangan kerap berbenturan dengan kepentingan yang lain, dan RTH yang selalu dikorbankan. Hal ini antara lain terlihat pada RTH Pemakaman Menteng Pulo, yang kian menyusut karena pembangunan jalan, pendirian gedung dan sebagainya yang menelan lahan pemakaman sekitar 1 hektar lebih.

Sementara pada saat yang sama, luas RTH Taman juga menyusut karena banyak berubah menjadi area komersial. Bahkan tak jarang taman-taman kotayang berada di areal pemukiman berubah fungsi menjadi tempat parkir atau tempat pembuangan sampah sementara. Berbeda dengan kota-kota di negara maju sepertiSingapura, Melbourne, Sydney, London, Tokyo, atau New York, konsep pembangunan RTH Taman (interaktif), kerap asing dengan lingkungan sekitarnya.

b. Ruang Terbuka Biru

Sebenarnyapembangunan RTH dapat diintegrasikan dengan elemen di sekitarnya seperti situ, telaga, sungai dan sebagainya. Misalnya dengan menjadikan bantaran sungai sebagai RTH Taman, begitu pula dengan tepian telaga/situ.Dengan demikian, yang dikembangkan tidak hanya ruang hijau (green area) tapi juga blue area (ruang biru). Di Singapura, pengelolaan ruang hijau menyatu dengan ruang biru, yakni oleh National Parks (NParks) dan Urban Redevelopment Authority (URA). Lembaga ini menyusun Singapore Green and Blue Plan 2010 yang memandu penataan RTHtermasuk pengembangan situ-situ.

Tidak terintegrasinya pengelolaan ruang hijau dan biru menyebabkan banyak situ di Jakarta hilang tak berbekas, dan yang masih tersisa umumnya dalam keadaan rusak. Areal Ruang Terbuka Biru biasanya dipenuhi pemukiman liar, menjadi tempat pembuangan limbah, atau tempat pembuangan sampah, dan kemudian diuruk untukdialihfungsikan. Departemen Kimpraswil (2003) mencatat 16 situ di Jakarta dari luas semula 168,42 ha dipastikan sudah menyusut. Misalnya Situ Rorotan, Jakarta Utara, Situ Rawa Kendal, Situ Rawa Ulujami di Jakarta Selatan, dan Situ Rawa Penggilingan di Jakarta Timur telah hilang tak berbekas.

Pengelolaan RTH dan RTB (Ruang Terbuka Biru) selama ini jadi tanggung jawab instansi yang berbeda. RTH menjadi tanggung jawab Dinas Pertamanan dan Pemakaman sedangkan RTB menjadi wewenang Dinas Pekerjaan Umum khususnya unit pengelola tata air. Akibatnya, disatu sisi pengelolaan RTH kurang mencapai target sementara RTB banyakterbengkalai. Adalah kenyataan, saat ini hampir semua situ/telaga di Jakarta mengalami degradasi kualitasyang serius.

c. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Tekanan kebutuhan masyarakat menyebabkan daerah aliran sungai yang seharusnya dapat dijadikan ruang terbuka menjadi sesak karena dimanfaatkan untuk kebutuhan yang lain. Hal ini terlihat dengan jelas pada Hilir DAS Ciliwung yang termasuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup lahan hilir DAS Ciliwung seluas 66.152 Ha.

2. Pencemaran Udara

Tingkat polusi udara di DKIJakarta adalah tertinggi di seluruh Indonesia, sehingga wajar bila ada yang menyebutnya sebagai “kota polusi.” Pada skala global, Kota Jakarta termasuk nomor kota dengan pencemaran udara tertinggi3 setelah kota di Meksiko dan di Thailand.Masih dalam skala global kandungan partikel debu (particulate matter) dalam udara Jakarta berada pada urutan nomor 9 (yaitu 104 mikrogram per meter kubik. Uni Eropa menetapkan ambang batas tertinggi 50 mikrogram) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia pada tahun 2004.

Jumlah hari udara tidak sehatjugameningkat, yakni 22 hari di tahun 2002 menjadi 7 hari di tahun 2003. Hasil penelitian Kelompok Kerja Udara Kaukus Lingkungan Hidup, pada tahun 2004 dan 2005, jumlah hari dengan kualitas “udara terburuk”di Jakarta jauh di bawah 50 hari. Tapi pada tahun 2006, jumlahnya justru naik di atas 51 hari. Menurut BPLhD DKI Jakarta,kandungan PM-10 (Partikel Debu) yang pernah mengalami penurunan justru kembali meningkat pada 2011 dan 2012 cenderung mengalami peningkatan, diduga akibat penurunan aktivitas uji emisi kendaraan bermotor.

Sumber utama pencemaran udara adalah dari gas buang kendaraan bermotor. Hal ini terjadi selain akibatjumlah kendaraan bermotor terus meningkat tajam, jugakarena warga masyarakat cenderung enggan melakukan uji emisi, dan bengkel-bengkel pemeliharaan kendaraan yang tidak melakukan perbaikan kendaraan secara baik dan benar. Melihat kenaikan jumlah kendaraan bermotor, maka bisa dipastikan pencemaran udara di Jakarta juga bakal meningkat.

Data Komisi Kepolisian Indonesia, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik TNI dan Polri)pada bulan Juni 2009 adalah 9.993.867 kendaraan. Padahaljumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan Maret 2009 adalah 8.513.385 jiwa. Artinya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta melebihi jumlah penduduk. Sementara tingkat jumlah kendaraan di DKI Jakarta juga sangat tinggi, yaitu mencapai 10,9 persen per tahun.

Tingginya tingkat kemacetan di jalan juga menjadi penyebab tingginya polusi udara. Rasio panjang jalan dengan jumlah kendaraan di Jakarta memang timpang. Saat ini, panjang jalan di DKI Jakarta hanya hanya sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi atau hanya 6,26 persen dari luas wilayahnya. Padahal, perbandingan ideal antara prasarana jalan dan luas wilayah adalah 14 persen. Dengan kondisi yang tidak ideal tersebut, dapat dengan mudah dipahami apabila kemacetan makin sulit diatasi dan pencemaran udara semakin meningkat.

Meningkatnya laju polusi udara di DKI Jakarta adalah akibat kurangnya ruang terbuka hijau (RTH) kota, yaknibagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) untuk mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. Kurangnya RTH kota akan mengakibatkan kurangnya kemampuan ekosistem kota untuk menyerap polusi.

Adapun reaksi masyarakat terhadap kondisi udara yang semakin tercemar adalah selain tetap meminta kepada pemerintah agar menambah RTH juga membiasakan diri memakai masker. Namun kesadaran untuk melakukan pemeriksaankualitas gas kendaraanatau melakukan penanaman pohon atas inisiatif sendiri masih kurang. Pada hal akibat udara semakin tercemar, biaya kesehatan yang membebani masyarakat jadi meningkat. Data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB menyebutkan bahwa di tahun 2010 warga Jakarta harus membayar Rp 38 triliun untuk biaya pengobatan karena menderita Ashma, Bronkitis, infeksi pernapasan akut, pneumonia, hingga jantung koroner yang disebabkan pencemaran udara. Sementara parameter pencemaran udara pada 2011 hingga 2012 mencapai 60 mikro gram per meter kubik. Artinya berada diatasstandar nasional yakni h 50 mikro gram per meter kubik, dan standar World Health Organization (WHO) 20 mikro gram per meter kubik.

Parameter lainnya adalah tingkat pencemaran Nitrogen Dioksida dan Oksigen, yang menyebabkan beberapa penyakit. Seperti gangguan fungsi ginjal, kerusakan pada sistem saraf, hingga penurunan kemampuan intelektual (IQ) pada anak-anak. Pencemaran udara juga mengakibatkan keguguran, impotensi, jantung koroner, kanker dan kematian dini. Data yang dirilis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukan, sebanyak 46 persen penyakit di Jakarta, timbul karena pencemaran udara. Seperti infeksi saluran pernapasan, asma, dan kanker paru-paru. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan mustahil kematian akibat polusi udara semakin meningkat

3.Pencemaran Air dan Eksploitasi Air Tanah

Air menjadi sumber masalah yang serius bagi DKI Jakarta. Di musim hujan banjir menggenangi kota, sedangkan di musim kemarau terjadi defisit air bersih. Daya dukung lingkungan untuk menyediakan air bersih bagi warga kota juga semakin terbatas, sementara tingkat kebutuhan air bersih terus meningkat. Beberapa masalah yang terkait dengan lingkungan hidup adalah degradasi kualitas air akibat pencemaran, hilangnya sumber air akibat pemanfaatan areal daerah aliran sungai dan situ, serta tingginya pemanfaatan air tanah sehingga menyebabkan penurunan permukaan tanah.

Mengenai pencemaran air, Data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jakarta (2011) menyebutkan bahwa 90 persen air tanah di Jakarta sudah tercemar oleh logam, nitrat dan e-coli. Pencemaran tidak hanya terjadi pada air tanah, tapi juga pada sumber-sumber air yang memasok jaringan pelayanan publik. Sedangkan air dari sumur penduduk selain umumnya telah tercemar oleh bakteri, juga terdapat kandungan logam bahkan pada sebagian wilayah terasa asin karena kadar garam meningkat. Air tanah di beberapa tempat Sementaraair di sungai-sungaisudah sulit didaur ulang akibat pencemaran yang parah. Bahkan menurut Kementerian Lingkungan Hidup, air sungai Ciliwung di wilayah Jakarta sudah “no class.” Pemerintah telah berusaha menurunkan beban pencemaran sungai Ciliwung, namun tidak mudah. Beban pencemaran ideal menurut KLH berkisar7.019 kilogram per hari. Sedangkan saat ini beban pencemaran Ciliwung berada padakisaran 29.231 kg per hari. Artinya, perlu penurunan beban pencemaran sekitar 76 persen agar kembalinormal.

Sumber pencemaran air di sungai-sungai di Jakarta adalah limbah domestik. Bahkan menurut media massa sekitar sepertiga dari 6000 ton /hari sampah di DKI Jakarta masuk (dibuang) ke dalam sungai dan badan-badan air lainnya (situ, selokan, dan sebagainya). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia memaparkan datayang dapat menjelaskan bahwa sebagian besar air sungai diJakarta berkualitas buruk.

Degradasi kualitas dan ketersediaan air juga terjadi akibat eksploitasi air tanag yang massif. Akibat keterbatasan akses air dari jaringan publik, warga terpaksa memanfaatkan air tanah untuk berbagai keperluan. Hal ini menyebabkan pencemaran air tanah, permukaaan tanah dan intrusi air asin. Sistem sanitasi kota yang buruk menyebabkan berbagai zat pencemar semakin mudah masuk ke ceruk (aquifer) air di dalam tanah. Sedangkan akibat pengurasan air tanah yang massif,ceruk air (aquifer) yang semula berisi air tawar, kini dimasuki air asindari laut. Beberapa sumber melaporkan, saat ini intrusi air asin sudah mencapai beberapa wilayah di tengah kota Jakarta. Dengan demikian ancaman korosi terhadap logam yang menjadi fondasi bangunan sulit dihindarkan.

Ancaman korosi pada fondasi bangunan , danpenurunan permukaan tanah –akibat pengurasan air tanah— kini sudah menjadi ancaman serius bagi bangunan dan keselamatan warga. Tanda-tanda terjadinyapenurunan permukaan tanah telah teridentifikasi ketika suaturetakan ditemukan di jembatan Sarinah pada tahun 1978.Penyebabnya, selain eksploitasi air tanah yang massif juga disebabkan oleh berat bangunan semakin tinggi. Menurut sejumlah sumber tingkat penurunan permukaan tanah di Jakarta memang bervariasi. Dalam rentang waktu antara 1993 dan 2005 tingkat penurunan tanah terbesar terjadi di Jakarta Pusat pada, dari 3.42m sampai 1.02M atas permukaan laut. Di Jakarta Utara penurunan itu 57 cm, dari 2.03m ke 1.46m. Di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan penurunan itu 2, 11 dan 28 cm.

3.AncamanSampah

Saat ini, sampah telah menjadi permasalahan serius hampir di semua kota di Indonesia. Di Jakarta, volume sampah setiap hari rata-rata sekitar 6000 ton, dan lazimnya mengalami peningkatan sekitar 15% pada momentum tertentu seperti lebaran, natal dan tahun baru. Volume sampah juga meningkat pada musim hujan, musim pernikahan, musim hajatan, musim order percetakan, musim belanja, musim buah rambutan, maka bisa bertambah ribuan ton lagi.

Sampah tidak pernah habis, karena merupakan konsekuensi dari aktivitas manusia. Bahkan akan selalu bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat. Saat ini sebagian sampah dari kota Jakarta di kirim ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, dan tinggi gunungan sampah di TPA tersebutyang sudah mencapai minimal 20 meter. Sedangkan di TPA Sumur Batu (juga di Bekasi) ketinggiannga sudah mencapai 30 meter.

Dari karakteristiknya sampah di Jakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia, rata-rata 60 - 70% adalah sampah organik, yang didominasi oleh sampah sisa makanan dan daun-daunan. Sedangkan 40% merupakan sampah non organik berupa sampah plastik dan sejenisnya.Tidak semua sampah kota Jakarta dapat terangkut ke TPA, karena itu sebagian lagi dibuang di sembarang tempat, seperti masuk ke dalam sungai, dan tak sedikit pula yang terbawa aliran sungai sehingga mengotori laut.

Beberapa cara pengelolaan sampah dengan pendekatan high investment and high technolog yang pernah diujicobabelum berhasil. Hal yang sama juga terjadi dalam pengelolaan sampah dengan berbasis masyarakat. Namun Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup belakangan semakin gencar mengkampanyekan pengolahan sampah berbasis lingkungan dan masyarakat, antara lain melalui kegiatan daur ulang, pemilahan sampah berdasarkan karakteristiknya sehingga kembali berguna.

Biaya pengolahan sampah memang mahal. Namun tetap menjadi prioritas mengingat dampak yang ditimbulkannya jauh lebih mahal. Tapi masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan cara yang lebih mudah dan murah yakni dengan pengelolaan tradisional yang terorganisir rapi dalam bentuk bank sampah dan pengembangan kerajinan serta industri berbahan baku sampah, yang telah mulai banyak ditekuni oleh beberapa pelaku bisnis sampah.

Penanggulangan sampah di perairan laut dan pantai hingga saat ini belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah di sepanjang Pantura Jakarta. Kendalanya adalamfasilitas kebersihan yang minim, dan kesadaran masyarakat Jakarta akan kebersihan yang sangat rendah. Tumpukan sampah itu tidak hanya berasal dari daratan, tetapi juga laut. Fasilitas kebersihan yang dimiliki Sudin Kebersihan Jakarta Utara hanya lima kapal pengambil sampah. Satu berukuran besar dan empat lainnya kecil. Namun, kapal yang kerap rusakDengan lima kapal itu, kapasitas pengangkutan sampah hanya sebanyak 45-50 kubik sampah dari pantai. tu hanya sampah dari Muara Baru dan hutan mangrove di Kapuk, sedangkan sampah di wilayah yang lain belum bisa tertangani.

5.Pencemaran Laut

Pencemaran air di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya tidak hanya terjadi di daratan tapi juga di perairan laut Teluk Jakarta. Sebagian besar sumber pencemaran Teluk Jakarta berasal dari daratan, berupa sampah dan limbah cair yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Namun belakangan, pencemaran laut juga terjadi akibat buangan dari kapal-kapal, dan juga berasal dariberbagai aktivitas manusia di Teluk Jakarta. Menurut Subdit Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan pada Direktorat Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan, tingkat pencemaranperairan Teluk Jakarta sudah sangat tinggi.

Bahkan Teluk Jakarta merupakan perairan laut paling kotor urutan 3 di dunia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2011) sedikitnya 21 perusahaan besar membuang limbahnya ke perairan Teluk Jakarta. Pencemaran laut oleh Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan logam berat berpengaruh terhadap kualitas hasil laut. Karena itu sejumlah pakar mengingatkan agar berhati-hati menyantap hasil laut yang sudah tercemar sebab bukan bukan kesehatan yang bakal diperoleh melainkan kemungkinan besar, tingkat kesuburan justru akan menurun dan angka kecerdasan pun bakal berkurang..

Saat ini diprediksi terdapat 14 ribu kubik sampah dari limbah rumah tangga dan limbah industri, yang mencemari teluk seluas 2,8 kilometer persegi itu.Seluruh limbah tersebut mengalir melalui 13 anak sungai yang bermuara di teluk tersebut. Jika hal tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan akan mengancam kelestarian hutan bakau dan terumbu karang. Sekalipun demikian, pencemaran yang berasal dari daratan atau land base pollution menyumbang 80 persen terhadap pencemaran perairan teluk. Baik akibat bahan organik, bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam dan pestisida, pencemaran minyak dan sedimen, pencemaran organisme patogen dan eksotik, serta detergen

Sejak tahun 1979, para peneliti di Badan Atom Nasional (Batan) telah mendapati bahwa kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi. Bahkan di beberapa lokasi seperti Muara Angke kadar logam beratnya cenderung meningkat. Meskipun tercemar parah, sampai saat ini masih banyak saja udang, kerang-kerangan, dan beberapa jenis ikan yang hidup di Teluk Jakarta yang dijual dan dikonsumsi penduduk Jakarta. Kerang hijau, sebagai contohnya, masih jadi komoditas favorit karena harganya yang lebih murah sehingga terjangkau untuk dikonsumsi. Sebenarnya pencemaran Teluk Jakarta bukan hanya berasal dari darat, karena memang ada banyak sekali sungai yang bermuara ke teluk ini.

Pencemaran juga bisa datang dari laut.Sebab tidak sedikit kapal yang membuang limbah dan mencemari teluk Jakarta ini.Karena itu pengawasannya sebenarnya ada di masyarakat.

6.AncamanBanjir

Banjir yang terjadi di Jakarta selain karena faktor alam juga merupakan dampak kerusakan lingkungan yang parah di kawasan Jakarta Depok, Bogor, Bekasi dan Tanggerang.Dimaksud dengan faktor alamiahadalahadanya muara dari 13 sungaidi DKI Jakarta, kondisi topografi DKI Jakarta yang hampir 40% berada di bawah permukaan air laut, dan naiknya muka air laut sebagai dampak pemanasan global (global warming). Sedangkan faktor manusia antara lain adalah, kebiasaan sebagian warga masyarakat membuang sampah di sungai dan badan air lainnya, pemanfaatan bantaran sungai untuk pemukiman, konservasi lahan di hulu daerah aliran sungai (DAS), berkurangnya daerah terbuka hijau sebagai daerah resapan air, hilangnya sejumlah situ sebagai tempat parkir air dan lain sebagainya.

Terjadinya perubahan musim yang ekstrim antara lain ditandai dengan meningkatnya curah hujan di musim penghujan juga berpotensi menimbulkan banjir. Sementara naiknya permukaan air laut, hilangnya hutan mangrove di pesisir pantai menyebabkan terjadinya Rob (banjir pasang air laut) yang kini telah terjadi di beberapa kawasan Pantai Utara (Pantura) Jakarta.

Secara umum banjir disebabkan oleh rusaknya bendungan dan saluran air rusak, sepertiterjadi pada bencana di situ gintung,penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali, kiriman atau bencana banjir bandang, keadaan tanah tertutup semen, paving atau aspal, hingga tidak menyerap air, pembangunan tempat permukiman dimana tanah kosong diubah menjadi jalan gedung, tempat parkir, hingga daya serap air hujan tidak ada.

Saat ini, banjir telah menjadi bencanabencana yang rutin terjadi setiap tahun baik di DKI Jakarta maupun di daerah-daerah lain di Indoenesia. Dan paling sering memakan korban yang tidak sedikit, baik jiwa, harta maupun sarana dan prasarana bagi kehidupan masyarakat. Puluhan ribu hektar sawah dan taanaman lain gagal panen, jalan dan jembatan rusak, serta ribuan rumah yang rusak dan hancur. Misalnya, banjir yang terjadi di Jakarta padaAgustus 2010 telah meluruhkan Jakarta. Wilayah-wilayah yang tergenang air antara lainKalibata, Bukit Duri, dan Bidara Cina, segitiga emas Kuningan. Bahkan sentra bisnis di jalan Sudirman (Bendungan Hilir, Semanggi, Dukuh Atas), Kuningan, serta seputaran Sarinah-Sabang-Thamrin tenggelam. Di Kelapa Gading hanya menyisakan atap rumah dan lampu jalan.

Akibatnya, listrik mati dan air ledeng mampet. 70 ribu sambungan telepon putus. Jakarta berubah seperti rawa-rawa purba. Lebih dari dua per tiga wilayahnya terendam. Kawasan Sunter—sentra industri otomotif nasional—lumpuh selama sepekan. 100 mobil Toyota tenggelam Begitu pula di Pulogadung, mesin-mesin tak dapat dioperasikan karena terendam air.

Kejadian yang sama kembali terulang pada25 Oktober 2010 yang menyebabkantransportasi kotaa lumpuh (hampir total) karena hujan deras yang mengakibatkan banjir yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan di mana-mana. Perjalanan dari Kuningan ke Kelapa Gading yang biasanya hanya memakan waktu satu jam berubah menjadi tiga jam

Berbagai upaya untuk mengatasi ancaman banjir telah dilakukan sejak Jaman Kerajaan Tarumanegara dengan pembangunan saluran air dari hulu hingga hilir. Juga pada masa kolonial Belanda dengan pembangunan Kanal Banjir Barat. Sekarang pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun Kanal Banjir Timur (KBT) dan merevitalisasi Kanal Banjir Barat (KBB) dengan harapan dapat membebaskan 207 wilayah DKI Jakarta dari ancaman banjir. Namun upaya tersebut diperkirakan “hanya” mengurangi sebagian resiko dan dampak banjir. Artinya, ancaman banjir tetap menjadi persoalan yang akut bagi Jakartadi masa mendatang terutama banjir lokal.

Resiko dan dampak banjir yang terjadi dalam dua dekade terakhir sangat terasa menimbulkan penderitaan bagi warga masyarakat secara luas antara lain disebabkan:

a. Rendahnya kesadaran dan kemampuan warga menghadapi datangnya banjir;

b. Belum ada strategi dan skenario baku dari pemerintah dalam menghadapi resiko dan dampak banjir;

c. Belum/tidak ada strategi mitigasi dan adaptasi menghadapi banjir yang berkesinambungan.

Selain beberapa permasalahan tersebut, sesungguhnya masih banyak permasalahan yang aktual dalam kehidupan sosial, seperti pemukiman kumuh, kebakaran, kemacetan lalu lintas, dan lain-lain yang memiliki pertaliannya dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di DKI Jakarta.

--------------------------------

*). Paulus Londo, Ketua LS2LP/SUAR

LS2LP(Lembaga Studi Sosial, Lingkungan & Perkotaan)

SUAR (Suara Akar Rumput)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun