Kuantitas bukan lagi menjadi indikator utama bagi suatu perguruan tinggi dalam mencapai kesuksesan, melainkan kualitas lulusannya. Perguruan Tinggi wajib dapat menjawab tantangan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan persaingan dunia kerja di era globalisasi. Dalam menciptakan sumber daya yang inovatif dan adaptif terhadap teknologi, diperlukan penyesuaian sarana dan prasarana pembelajaran dalam hal teknologi informasi, internet, analisis big data dan komputerisasi.
Perguruan tinggi yang menyediakan infrastruktur pembelajaran tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang terampil dalam aspek literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Terobosan inovasi akan berujung pada peningkatan produktivitas industri dan melahirkan perusahaan pemula berbasis teknologi, seperti yang banyak bermunculan di Indonesia saat ini.
Tantangan berikutnya adalah rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang responsif terhadap revolusi industri juga diperlukan, seperti desain ulang kurikulum dengan pendekatan human digital dan keahlian berbasis digital. Persiapan dalam menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 adalah salah satu cara yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi untuk meningkatkan daya saing terhadap kompetitor dan daya tarik bagi calon mahasiswa.
Perguruan tinggi Indonesia perlu merubah tiga hal dari sisi edukasi, yang paling fundamental adalah mengubah sifat dan pola pikir peserta didik. Â Selanjutnya, kampus harus bisa mengasah dan mengembangkan bakat peserta didiknya. Terakhir, Perguruan tinggi seharusnya mampu mengubah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman kiwari dengan fokus pada Konsep 'KKN' (komunikasi, kolaborasi, dan networking).
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perguruan tinggi harus bisa meramu metode pendidikan baru yang mampu menyesuaikan kebutuhan di era kekinian, yaitu :
Pertama, Pendidikan yang diselenggarakan atas dasar semangat discovery. Model pendidikan semacam ini mengorientasikan kegiatannya untuk dapat meraih "penemuan-penemuan" besar yang berguna bagi perubahan-perubahan kehidupan manusia di masa depan. Riset-risetnya dilakukan atas dasar "kerja kolektif" untuk diarahkan pada "penyelesaian masalah-masalah besar" dan "penemuan-penemuan besar" sehingga metode pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi harus benar benar fokus bidang kajian prodi keilmuan yang diselenggarakan.
Kedua, pendidikan yang diselenggarakan atas semangat berpikir asembling, atau pendidikan yang diselenggarakan untuk melembagakan cara berpikir "perakit", Â sehingga tugas utamanya melahirkan sebanyak-banyaknya tenaga ahli perakit yang sangat dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri.
Pendidikan seperti ini mungkin mirip pendidikan vokasi, tetapi bedanya terletak pada "cara berpikir" yang luas, melintas disiplin, dan kompetensi yang dihasilkannya mampu melahirkan produk-produk baru, baik berupa barang maupun jasa. Mungkin pendidikan semacam ini tepat disebut "pendidikan vokasi plus". Dibeberapa negara Asia tampaknya telah memberi perhatian besar terhadap pengembangan pendidikan semacam ini.
Ketiga, memanggil masuk para pelaku pasar dan dunia industri yang berhasil yang dikenal dengan istilah para praktisi atau penggiat dunia usaha dan industri. Jadikan mereka dosen, tanpa pernah memperdulikan title akademiknya. Mereka diminta menyampaikan secara gamblang apa yang mereka lakukan setiap saat sehingga peserta didik memiliki semangat dan motivasi untuk bisa seperti mereka. Kehadiran mereka akan dapat memeberikan perubahan dan membuat terobosan kehidupan, baik dari aspek sains, kedokteran, sastra atau humaniora.
Keempat, pendidikan yang diselenggarakan harus dikembangkan kajian bukan berbasis disiplin ilmu semata tetapi berbasis kebutuhan pasar. Titel akademik tidak lagi yang menentukan spesifikasi, tapi sertifikat ahli dari figur sentral dalam keilmuan yang ditekuni. Kuliah tidak perlu ditawarkan di ruang kelas, tapi di tempat praktek yang ditentukan oleh patron tadi. Datangkan 'futurelog' yang bisa memprediski revolusi kehidupan apa yang akan terjadi ke depan. Dunia pendidikan segera bergerak ke arah sana.
Dengan menyelenggarakan empat arus utama pendidikan tinggi semacam itu, selaian eksistensi pendidikan tinggi tetap dapat dipertahankan, maka pendidikan tinggi dikembalikan lagi perannya sebagai pemandu atau penuntun peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia kerja dan dunia industri.