Mohon tunggu...
LSM PUKAT ARUM TYLOR
LSM PUKAT ARUM TYLOR Mohon Tunggu... Pemuka Agama - colerosum makanan kangkung , rame gaya tanpa selera aku selalu mengukimu tetapi dirimu tidak tahu aku siapa , siapa aku

capricornus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disparitas Pendidikan Kita

17 Mei 2020   13:37 Diperbarui: 17 Mei 2020   13:38 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya kita yang tahu ( dokpri)

Ada seorang calon guru muda yang membuat saya bungah. Dia lulusan S2 UNY dengan pujian, nilainya 3,94 tapi sangat bersemangat mendidik anak-anak. 

"Saya bahkan pernah mengajar PAUD,  meski jadi dosen juga", katanya. 

Saya mbatin, ini bukan sesuatu yang mudah. Pengalaman saya yang lebih banyak mengajar (belajar bersama) orang dewasa, ketika harus mengajar (belajar bersama) anak, ada ketegangan, karena harus lebih perhitungan ketika menyampaikan sesuatu : memilih diksi yang mudah ditangkap, membuat alur pembahasan yang harus mempertimbangkan daya tangkap anak yang beragam dan tentu harus lebih ramah. Belajar bersama anak-anak lebih menguras energi dari pada belajar bersama orang dewasa (bagi yang tidak biasa seperti saya).

"Saya sangat mengapresiasi. Pendidikan dasar adalah jenjang yang paling penting bagi pertumbuhan banyak orang", kata saya tidak dapat menahan diri (padahal ini wawancara kerja). Justru di jenjang inilah dibutuhkan orang-orang pandai yang tidak hanya pandai untuk dirinya sendiri juga pandai dalam membuat orang lain menemukan jalannya menjadi pandai atau lebih bijaksana.

Kita tahu, kebanyakan masyarakat kita memiliki cara pikir, menempuh jenjang kuliah adalah dalam rangka mencapai kelas sosial tertentu, dengan kemapanan tertentu. 

Umumnya masyarakat kita memandang jadi dosen lebih terhormat dari pada jadi guru. Bagi saya ini menandakan tingkat kesungguhan dalam mengelola dunia pendidikan. 

Jadi orang yang bisa masuk S2 dengan beasiswa LPDP dan lulus cum laude, mungkin akan dianggap 'sayang, eman-eman, kok cuma jadi guru'?, pakai 'cuma'...Nah barangkali sudah saatnya menggeser cara pandang ini.

Pastinya masih sedikit orang-orang yang berani mengambil keputusan, yang kata orang biasanya dianggap idealis ini. Mengapa butuh keberanian? Orang idealis harus berani tidak kaya, sepandai apa pun dia. Meski bisa saja justru karena idealisme itu seseorang menjadi kaya.

 Menjadi idealis artinya harus siap punya stok energi yang lebih besar dari umumnya orang..Tapi percayalah, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menjadi diri sendiri, termasuk bila panggilan jiwanya adalah menjadi seorang yang idealis. 

Yang penting adalah bertanggung jawab atas pilihan itu untuk diri dan orang-orang terdekat. Senang bila bisa bekerjasama dengan orang-orang semacam ini.

Di tengah perubahan yang melaju kencang, orang yang hidup dengan nilai-nilai, dia kemungkinan besar akan hidup lebih tenang dari mereka yang pragmatis.

Soal persolana itu percikan masalah yang kebahagiaan kita tahu ,sekalipun terkadang  hanya kita masing-masing kita yang tahu? ( maasya allah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun