Sekilas melihat berita siang ini di sebuah stasiun swasta, membuat saya tiba-tiba menitikkan air mata. Sungguh, bukan pura-pura. Begitu saja mengalir. Sebuah berita tentang perjuangan anak-anak SD di daerah Lebak, Banten. Demi menuju sekolah tercinta, menimba ilmu, mengemban amanah pertiwi, mereka rela berjibaku dengan banjir. Bukan sembarang banjir untuk ukuran anak SD seperti mereka. Jembatan yang nyaris ambruk pun bukan halangan untuk bersekolah. Bahkan, seorang nenek tua renta tak peduli dan tak merasa takut jatuh ke sungai, demi menuju desa seberang untuk mencari nafkah. Catat: Demi belajar dan mencari nafkah!
Mereka hanya satu dari sekain contoh, betapa anggaran belanja negara tak tersalur secara sempurna. Mereka harus melalui jembatan yang nyaris ambruk dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Jika sedang surut, jatuh tak jadi masalah. Kalau sedang deras airnya, nyawa menjadi taruhan. Sementara di sana, nun tak jauh dari daerah Banten, di daerah Ibukota, ada segelintir orang yang mengaku wakil rakyat, diaku sebagai wakil aspirasi rakyat oleh masyarakat, menjunjung harkat rakyat, berjanji mengangkat kemiskinan masyarakat saat pemilihan, ternyata lebih memilih untuk menghabiskan dana rakyat, pajak rakyat, dan santunan untuk rakyat demi ruang yang KATANYA sudah tak layak pakai, toliet YANG HARUS BERSIH DARI KUMAN-KUMAN KEMELARATAN, dan alasan yang seharusnya tidak dilakukan oleh para wakil rakyat.
Kalau mereka sudah hidup enak di sana? Kapan mereka mengerti keadaan rakyat yang diwakilinya? Kalau sudah duduk di kursi empuk, yang harganya bisa untuk membangun berpuluh-puluh jembatan di semua desa yang tak punya akses lain selain jembatan, ya lupalah mereka.
Ke toilet untuk berpikir bagaimana merampungkan proyek, menambah keanggunan, dan mengembalikan dana saat pemilihan, bukan berpikir, "Oh, begini ini ya kalau toilet tak nyaman? Berarti di luar sana masih banyak yang harus diperbaiki?". Ah, alangkah kejamnya oknum tak bertanggung jawab di negeri ini. -_-
Sedikit saja, coba pikirkanlah wahai para wakil rakyat yang kata bang Iwan Fals, "Seharusnya merakyat!", adakah dalam hatimu membuka sisi nurani baikmu. Menjalankan amanah yang telah diemban, dengan memikirkan baik dan buruknya, akibat positif dan negatifnya untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Sisihkan untuk kami, masyarakat yang mempercayai kalian sebagai wakil kami. Tidak hanya mensahkan Undang-undang, menetapkan keputusan, menggelontorkan pendapat, dan menggelontorkan dana tanpa menilik baik buruknya. Tetapi, laksanakan apa yang telah diamanahkan itu dengan penuh tanggung jawab. Karena, kalian adalah orang-orang yang dipandang berpendidikan, bukan tokoh yang hanya pantas dipuji, tapi tak bisa ditiru dan diteladani aksinya.
Berikan pada kami dana negara yang seharusnya memang untuk kami, bukan untuk kalian menghamburkannya demi kepentingan sendiri. Lebih penting mana kursi seharga puluhan juta dengan jembatan runtuh satu-satunya akses? Lebih penting mana mendanai toilet mewah, dengan mendanai anak-anak negeri yang ingin berbakti pada pertiwi? Alokasi dana pendidikan 20% pun kami sampai saat ini masih hanya ilusi. Pembangunan jalan, jembatan, rumah transmigran, lahan pekerjaan, dan kebutuhan rakyat lainnya.
Kalau yang atas saja begitu, bagaimana kami bisa bermimpi membangun bersama negeri ini menjadi lebih baik? berilah kami ini, para pelaku pendidikan, sikap, perilaku, dan perbuatan seorang yang berpendidikan untuk kami pantas tiru, puji, dan teladani. Bukan hanya sekedar hitam di atas putih label orang berpendidikan itu ada.
Sedikit hal yang masih membuat saya tersenyum, dan mungkin juga Anda yang sedang membaca tulisan ini. Semiskin apapun keadaan seorang anak negeri itu, seterpelosok apapun daerah asal anak negeri itu, atau sebodoh apapun anak negeri itu, mereka masih dan akan terus masih memeluk mimpi. Mimpi memperbaiki hidupnya dengan belajar. Dengan ilmu, moral, dan etika sesuai pesan para pahlawan pendahulu. Di tengah krisis mimpi yang mereka masuki, mimpi menjadi manusia peduli, berarti, dan bisa berbagi untuk negeri masih ada, dan akan tetap ada di sanubari para anak negeri.
Saya bukan menggurui, setidaknya, saya pun ingin menyuarakan hati, betapa saya bangga, saya bisa serumpun dengan mereka yang masih bersemangat meski aral datang menghadang. Meski saya sedikit malu, ketika mereka rela menempuh bahaya, sedangkan saya? Hanya karena saya pulang dan pergi kuliah dengan sepeda, tak sadar lisan ini sering mengeluh, betapa tidak adil hidup yang menyulitkan seseorang berusaha mencari ilmu. Maafkan saya, Tuhan.
Setidaknya dengan berita siang ini, saya mengerti, ada banyak rasa syukur yang masih belum tercerna, syukur diberi nikmat sehat, mencari nafkah, mencari ilmu, dan membahagiakan orang-orang terdekat kita dengan cara yang halal.
Seandainya, mereka para oknum di atas sana juga berpikir sesederhana itu, tak akan ada cerita busung lapar, anak muda tak punya pekerjaan, anak berprestasi tak punya aksi melanjutkan mimpi, anak-anak cacat merajut suksesi, rakyat miskin mengantri sembako demi makan hari ini, dan seribu tak akan lainnya.
Apakah tulisanku menginspirasi Anda, para pembaca? Entahlah. Aku hanya ingin berbagi rasa. Rasa memiliki bangsa ini, dengan berbagi. Apakah berbagi dengan materi, mimpi, motivasi, atau semangat memperbaiki negeri yang sudah akut ini dengan karya-karya kita.
Selamanya, negeriku adalah surgaku, betapapun buruknya dan miskinnya. Karena di sana, masih banyak yang harus saya, Anda, dan semua pertahankan, perbaiki, dan lakukan demi menciptakan anak-anak negeri dan masyarakat sejahtera, lahir dan batin.
Pondok Aren, 21-01-2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H