Perkenalkan nama saya Akbar. Seorang pencinta alam dari sebuah kota kecil bernama Jember. Profesi saya sehari-hari adalah seorang satpam dunia maya (operator) di sebuah warnet kecil. Gara-gara profesi itulah akhirnya saya menjadikan blogger sebagai salah satu pilihan bagi saya untuk berkarya. Saya pun acapkali menulis di sebuah blog yang bisa anda sambangi di sini.
Lah terus kenapa tiba-tiba saya bisa nyasar kesini? Semua itu gara-gara Marzuki Alie.
Loh kok bisa?. Begini ceritanya...
Sebenarnya hari ini saya masih menikmati masa-masa hiatus di dunia ngeblog. Maklum, selain dilanda sebuah over dosis beraktifitas di dunia maya karena rutinitas harian dalam pekerjaan. Ada pula beberapa faktor yang membuat diri saya memutuskan untuk sejenak melupakan semua aktifitas sebagai seorang blogger. Tapi sepertinya sekarang juga saya harus menghentikan hiatus saya secara dini gara-gara Marzuki Alie.
Selama hiatus saya lebih banyak menghabiskan aktifitas dunia maya dengan menyusuri situs-situs yang selama ini jarang saya kunjungi. Dan kebetulan Kompasiana yang hari ini mendapat giliran untuk saya jadikan pelampiasan saat dirundung kejenuhan.
Awalnya saya cuma membaca beberapa tulisan dari sahabat-sahabat yang sudah saya kenal lewat dunia blogging. Lantas saya mulai mblarah ke tulisan-tulisan Kompasianer lain yang saya pikir sangat menarik untuk dibaca dan dijadikan bahan belajar buat saya. Nah di saat asyik-asyiknya saya mengobok-obok isi Kompasiana, tiba-tiba saja saya melihat sebuah tulisan yang isinya..
Marzuki Alie: Masyarakat Bodoh dan Tidak Rasional
Sebuah tulisan yang akhirnya sukses membujuk saya untuk ikutan nongkrong juga di Kompasiana.
Dulur Kompasianer, mungkin bagi pak Marzuki Alie mengeluarkan sebuah statment adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan sebagai seorang politikus saat menyikapi sebuah pro kontra. Mungkin pula statment semacam itu masih dianggap hal yang lumrah bagi tokoh elit sekelas Marzuki. Namun bagaimana jika statment itu dilihat oleh masyarakat akar rumput seperti saya?. Terus terang saya sangat menyayangkan komentar sarat sensasi itu muncul. Apalagi komentar itu muncul dari seorang pejabat yang lahir dari sebuah partai yang menjadikan "santun" sebagai salah satu jargon politiknya. Tapi ya sudahlah, namanya juga demokrasi semua bebas beropini. Jika saja Marzuki Alie bebas beropini menurut cara yang dia anggap halal. Yo wis, sakarang juga saya mau nawaitu beropini lewat Kompasiana.
Bodoh? Ah kenapa komentar ini bisa muncul ya?. Saya pikir semua yang terjadi di masyarakat kita sedikit banyak karena faktor dari para pemimpinnya. Jika rakyat melarat, mungkin ada kebijakan yang keliru dari para pejabat. Jika rakyat lapar, bisa jadi ada oknum-oknum di pemerintahan yang kurang ajar. Dan jika sekarang rakyat dianggap bodoh, lah ini salah siapa?. Apa karena rakyat sudah benar-benar bodoh atau sengaja dibikin bodoh oleh para tokoh?. Nah kalau menganggap rakyat sudah bodoh, kok masih tego menjadi pejabat orang-orang bodoh?.
Tidak Rasional?. Ehm apakah sekarang rakyat sudah dikategorikan sebagai kelompok orang-orang yang kehilangan akal?. Ya, kita tahu jika 2 milyar adalah angka yang begitu kecil bagi orang-orang besar yang duduk di pemerintahan. Tapi bagaimana dengan penilaian rakyat kecil kita?. Apakah hal yang tak rasional, jika rakyat mempertanyakan tentang sebuah anggaran yang nilainya milyaran akan digelontorkan cuma untuk urusan buang hajat dewan?. Apakah para dewan tidak paham jika masih banyak rakyat kecil kita yang menjadikan kebun dan rimbunan bambu sebagai jamban?. Apa tidak lebih bijaksana andai saja anggaran itu dipakai untuk membangun sekolah-sekolah, agar anak-anak kita tidak menjadi bodoh seperti kata mereka.
Semoga saja kita bisa ambil sisi postif dalam hal ini. Bukan hanya untuk pak Marzuki Alie, tapi untuk semua pelaku pemerintahan di negeri ini. Jika sebuah pertanyaan dari rakyat haruslah disikapi dengan rasa sabar dengan memberikan sebuah jawaban yang santun dan elegan seberapapun pahitnya.
Rakyat selalu mengawasi, mendengar dan melihat semua tingkah laku dari para pemimpinnya. Jika saat ini rakyat kecil sudah terbiasa merasakan sebuah luka akibat tingkah nyleneh dari para pemimpinnya. Mohon jangan biarkan luka itu semakin menganga oleh sebuah ungkapan lisan yang tak sadar dengan kapasitasnya.
Matur nuwun buat pak Marzuki Alie, gara-gara anda sekarang saya mulai merasa betah ngopi disini. Mohon maaf pak jika mungkin ada tulisan saya yang tak berkenan. Mohon maklum adanya, karena memang ini hanyalah sebuah opini polos dari secuil masyarakat bodoh seperti yang anda katakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H