Mohon tunggu...
ALIPIUS SADANIANG
ALIPIUS SADANIANG Mohon Tunggu... -

Adil Ka' Talino Ba Curamin Ka' Saruga Ba Sengat Ka' Jubata. Idup diri' nian ina baya ina diri nyujukng nyambah Jubata nang pamanya koa ina bakasatukatn.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Prinsip-prinsip Dasar Agama Suku Dayak Kanayatn

7 Maret 2012   09:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mengenai prinsip-prinsip dasar dalam agama suku Dayak Kanayatn, akan dikemukakan pola dasar dalam berpikir dan bertindak dari penganut agama suku, yakni hal pokok yang menyatakan asumsi-asumsi teologis dan aturan-aturan dalam agama suku. Cara mempertahankan agama suku pada masyarakat dijelaskan oleh Mariasusai:
Tradisi lisan merupakan cara utama yang dipakai untuk mempertahankan agama dengan cara pewarisan turun-temurun, cerita-cerita suci itu dituturkan oleh pewaris terdahulu dalam cerita mitos, selalu dikaitkan dengan ritus. Isinya merupakan pernyataan atas suatu kebenaran lebih tinggi dan lebih penting tentang realitas asali yang masih dimengerti sebagai pola dan pondasi dari suatu kehidupan primitif.

Prinsip-prinsip dasar yang akan dikemukakan di sini mencakup: pertama, konsep dasar. Menjelaskan tentang pola-pola pikiran agama suku yang menjadi dasar seluruh kepercayaannya. Kedua, pemujaan, menjelaskan tatanan peribadatan agama suku, yang disoroti terutama objek pemujaan, subjek pemujaan, dan syarat pemujaan. Ketiga, ritual-ritual, menjelaskan secara garis besar unsur-unsur ritual, tempat ritual, simbol-simbol ritual dan jenis-jenis ritual.

A. Konsep-Konsep Dasar
Konsep-konsep dasar agama suku atau rancangan-rancangan pikiran agama suku adalah keyakinan-keyakinan yang dianggap patokan kepercayaan dalam agama suku. Pendapat ini dikemukakan oleh para panyangahatn dan terutama pamaliatn (turun temurun) sebagai sumber utama dalam penelitian ini. Pendapat tersebut dibatasi pada hal-hal yang akan bermanfaat sebagai jalan masuk bagi penginjilan, diantaranya adalah ; tentang yang maha kuasa, tentang penciptaan alam semesta dan penciptaan manusia, tentang manusia, dan tentang keadaan setelah mati.
1. Tentang Yang Maha Kuasa
Yang Maha Kuasa dinamakan dengan Jubata, diyakini sebagai roh tertinggi penguasa alam semesta, dalam pembukaan ritual disebutkan;
“Jubata bulatn, bintakng, kayu aya’ kayu enek, raja putar ai’ putar tanah, putar nagari” artinya: Jubata bulan, bintang, kayu besar, kayu kecil, penguasa seluruh air, seluruh tanah, seluruh negeri. Menyatakan bahwa Jubata dipuja sebagai penguasa bulan, penguasa bintang, penguasa kayu besar dan penguasa kayu kecil, penguasa air, penguasa tanah dan penguasa seluruh negri. Pengertian lainnya menunjukkan bahwa Jubata adalah pencipta bulan, bintang, kayu besar kayu kecil, pencipta seluruh air, pencipta seluruh tanah, dan pencipta seluruh negri.
Beberapa kriteria Kemahakuasaan Jubata, antara lain:
a. Jubata adalah mahluk rohani yang kekal, ia dipuja secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ia nang Jubata ene’ moyang diri’ dari dohoya sampe ari nian, artinya: ia adalah Jubata nenek moyang kita dari zaman dahulu sampai hari ini.
b. Ia ada di mana-mana. Menurut Herculanus Bahari, ungkapan “Jubata bulan, bintang, kayu besar, kayu kecil, seluruh tanah, seluruh air, seluruh negeri,” bukan berarti Jubata itu banyak (jamak), tetapi artinya ia berada di mana-mana, kita dapat salah paham karena keterbatasan bahasa dan pengungkapannya.
c. Ia tinggal di Subayangan. Subayangan adalah tempat bersemayamnya Jubata, orang-orang yang sudah meninggal tinggal di subayangan bersama Jubata Ne’ Nange (Jubata Yang Esa).
d. Ia Penguasa hari. Jubata disebut apa’ manto ari artinya, bapa yang mengawasi hari.
e. Ia Penguasa orang hidup dan orang mati. Jubata dianggap raja gunung Bawakng. Pengertian “raja” di sini menunjuk kepada penguasa, sedangkan “gunung bawang” menunjuk pada alam rohaniah, yakni suatu tempat kekal yang diyakini tempat bersemayamnya roh orang-orang tua (leluhur) yang telah meninggal.
f. Jubata memiliki sifat-sifat Yang Maha Kuasa, yang terdiri atas 7 sifat, antara lain:
(1) Sifatnya yang menjadi penyebab segala sesuatu. Disebut dengan; Jubata Ne’ Pajaji, artinya; Jubata yang menyebabkan segala sesuatu menjadi ada. Tentang Jubata Ne’ Pajaji dikatakan; ia lah samula nang idup samula jaji, artinya; dialah permulaan segala yang hidup dan segala yang ada.
(2) Sifatnya yang menciptakan. Ia menciptakan segala sesuatu dari dahulu hingga sekarang, Jubata Pencipta disebut dengan : Jubata Ne’ Panampa’, artinya: Jubata sang pecipta. Ia diyakini sebagai pencipa alam semesta, manusia, binatang, tumbuhan dan mahluk-mahluk lainnya.
(3) Jubata adalah Esa. Jubata disebut dengan Jubata Ne’ Nange, “Nange” artinya Ia hanya satu-satunya atau tersendiri, tidak ada yang lain. Di daerah Banyuke disebut dengan Nange Dikang, di daerah Karangan Nange Bikang, atau yang esa. Jubata Ne’ Nange diyakini tinggal di Subayangan atau sorga, setiap orang mati nyawanya tinggal bersama Jubata Ne’ Nange di Subayangan.
(4) Jubata yang berfirman. Disebut dengan, Jubata Ne’ Panitah, artinya : Jubata Yang berfirman. Ia nang nitahatn untu’ ngalakuatn nang gagas, artina; Ia yang memerintahkan untuk melakukan yang baik. Dia yang dipertuan dan yang memerintah alam semesta, siapa yang berbuat jahat tidak disenangi Jubata, karena itu setiap orang yang jahat diyakini pasti dikutuk Jubata, akan mendapat sial atau bahaya.
(5) Jubata sebagai pemimpin. Disebut dengan Jubata Ne’ Pangorok, memimpin manusia dengan gambaran seperti induk ayam yang memimpin anak-anaknya, menunjuk kepada sifat Jubata seperti orang tua yang mengasuh dan merawat anak-anaknya, artinya; Jubata yang mengarahkan atau memimpin, ia nang ngampinakng talino dalapm idupannya, (dia yang menyapa dan mengasuh manusia dengan lemah lembut dalam kehidupannya).
(6) Jubata yang melindungi. Disebut dengan, Jubata Ne’ Pangingu, artinya: Jubata yang melindungi. Dalam doa mohon perlindungan;
kami ba pinta ka’ kita Jubata ne’ Pangingu, supaya mayukngi’, kami, bare’ kami parise gunapm, nag tojekng di kita pampii’ nang tajapm di kita tumpuli’ artinya: kami meminta kepada engkau Jubata yang melindungi, supaya memayungi kami, beri kami perisai pelindung, yang runcing engkau tumpulkan yang tajam engkau tumpulkan.

(7) Jubata yang mengawasi. Disebut dengan, Jubata Ne’ Pangedokng, artinya; Jubata yang melihat, mengawasi, memperhatikan, menilai, memantau.
dalam sifatnya menilai Jubata Ne’ Pangedokng menilai segala sesuatu cocok atau tidak cocok, bagus atau tidak bagus, ia disebut juga; “nang manto’ mutusatn pakara sae nang salah sae nang banar, Jubata Ne’ Pangedokng nang nauan,” artinya: yang memutuskan sengketa siapa yang salah siapa yang benar, Jubata Ne’ Pangedokng yang mengetahui.

2. Tentang Penciptaan Alam Semesta dan Manusia
Mitos tentang penciptaan alam semesta dalam agama suku disebutkan dalam tradisi “baripakng” bahwa Jubata Ne’ Panampa’ menciptakan alam semesta, yang diciptakan dalam satu paket penciptaan. Secara garis besar dalam baripakng, pernyataan pertama adalah latar belakang penciptaan dunia.
Jubata Ne’ Panampa’ menciptakan keliling langit dengan bulatan bumi. Selanjutnya Jubata Ne’ pangedokng mencocokkan, (mengambar, melukiskan) dan mencoba-coba, segala yang akan diciptakan. Kemudian tercipta bias cahaya bulan dan pancaran sinar matahari. Juga digambarkan tentang keadaan saat penciptaan, ada udara yang bertiup dan angin serta kacau balau yang disebabkan badai.
Menurut Kadok pada waktu itu seluruh bumi masih dipenuhi air sehingga Ne’ Nange tinggal di awang-awang dan tali bergantung (uang-uang dua gantong tali: awang-awang dengan tali bergantung), kemudian “tukang nange” (pencipta yang esa) mendatangkan segala air dan segala sungai (subarakng ai’ dua subarakng sunge: kedatangan segala air dengan kedatangan segala sungai), juga daratan dan tanah kering. Disusul dengan penciptaan tumbuhan, pertama-tama tunggul betung (jenis bambu) dan pohon-pohon (tungul batukng dua mara puhutn: tunggul betung dengan banyak pohon) dan akar-akaran (baduyut dua antuyut). Dan terakhir adalah penciptakan manusia dari bahan tanah ranjunai yang dibuat dari dari buih air dengan rusuk (kerangka).
Berikut ini proses perciptaan versi Dayak Kanayatn yang dituturkan oleh Musin dalam baripakng:
kulilikng kangit dua putar tanah (keliling langit dengan bulatan bumi)
maranakatn (memperanakkan)
sido’ nyandon dua sido’ nyoba (sido mencocokkan dengan sido mencoba)
maranakatn (memperanakkan)
sinyati anak saho bulatn man tapancar anak mata’ari (sinyati anak bias cahaya bulan dengan terpancar anak matahari)
maranakatn (memperanakkan)
nyaru-nyaru dua angin-angin (udara yang bertiup dengan angin-angin)
maranakatn (memperanakkan)
kaco balo dua badai (kacau balau dengan badai)
maranakatn (memperanakkan)
ua’ -uang dua gantong tali (awang-awang dengan tali bergantung)
maranakatn (memperanakkan)
tukang nange dua malaikat ( pencipta yang esa dengan malaikat)
maranakatn (memperanakkan)
subarakng ai’ dua subarakng sunge (kemunculan air dengan kemunculan sungai)
maranakatn (memperanakkan)
tungul batukng dua mara puhutn (tunggul betung dengan banyak pohon)
maranakatn (memperanakkan)
antuyut dua baduyut (akar antuyut dengan akar baduyut)
maranakatn (memperanakkan)
popo’ dua rusuk (buih air dengan rusuk)
maranakatn (memperanakkan)
tanah ranjunai dua nyawa (tanah ranjunai dengan roh)
maranakatn (memperanakkan)
Galeber dua Anteber ( Galeber dengan Enteber)

Galeber dan Enteber, adalah sepasang manusia pertama versi Dayak Kanayatn, pertama kali tinggal di gunung Bawang. Manusia pertama diciptakan Jubata Ne’ Panampak dari bahan tanah ranjunai yang diberi nyawa. Semula bentuknya seperti kerucut kemudian berubah bentuk menjadi semacam mahluk menyerupai binatang, makan dan minumnya diperoleh dari alam sekitarnya seperti cacing, semut, belalang dan lain-lain. Lama-kelamaan berbentuk semakin sempurna kemudian menjadi unte’ (orang hutan). Dalam salah satu doa disebutkan:“tanah ranjunai nang di bare’ nyawa, manjadi ne’ unte’ asal talino, nang samula idup samula jadi, artinya: tanah ranjunai yang diberi nyawa kakek/nenek orang hutan, asal manusia, yang semula hidup dan semula jadi.
Penjelasan lain menambahkan bahwa penciptaan adalah perpaduan dari 7 sifat Jubata. Bahwa di dalam dirinya sendiri Jubata Ne’ Nange (Jubata yang maha esa) memakai 6 karakter (sifat) untuk menciptakan alam semesta, antara lain: Jubata Ne’ Panampak membuat bentuk segala yang diciptakan, Jubata Ne’ Panitah memerintahkan menciptakan yang baik, Jubata Ne’ Pangedokng mengamati dan membetulkan ciptaan, Jubata Nek’ Pangingu melindungi ciptaan, Jubata Ne’ Pajaji menjadikan seluruh ciptaan dan Jubata Ne’ Pangorok memimpin seluruh ciptaan.

3. Tentang Manusia
Pada bagian ini akan dibahas mengenai unsur-unsur pembentuk manusia dan fungsi-fungsi roh manusia. Menurut Daros, manusia terdiri atas dua unsur pembentuk, yakni tubuh dan roh, sedangkan roh menusia berpusat pada nyawa, yang terpecah menjadi tujuh, ketujuhnya masing-masing memiliki fungsi yang berlainan.
a. Unsur-Unsur Pembentuk
Manusia yang tercipta dari tanah ranjunai, tanah tersebut diberi nyawa (roh) oleh Jubata Ne’ Panampa’, tanah itu kemudian hidup dan bertumbuh menjadi mahluk yang sederhana, lama kelamaan berbentuk kera (orang hutan) dan akhirnya menjadi manusia sempurna.
b. Fungsi-fungsi Roh
Roh manusia terdiri atas tujuh bagian yang ketujuhnya memiliki tujuh fungsi yang berlain-lainan. Ketujuh bagian roh itu adalah; nyawa, sumangat, ayu, bohol, nenet sanjadi, leo bangkule, dan sukat, yang menempati bagian-bagian tertentu pada tubuh.
Orang yang benar tahu adat tetap akan mengatakan ada tujuh jiwa, juga perbedaannya sangat tipis, ada sekitar lima belas nama sebutan, sebagian nama itu sebagai timangan (pujian)…jiwa menempati tempat berbeda masing-masing memiliki tempat-tempat yang berlain-lainan, adapun nama-nama ke tujuh jiwa tersebut adalah nyawa,sumangat, ayu, bohol, nenet sanjadi, leo bangkule, dan sukat.

1) Nyawa
Nyawa disebut dengan pungka’ sengat artinya ; permulaan napas, nyawa menjadikan manusia dan binatang hidup, merupakan azas kehidupan yang mendasari seluruh fungsi tubuh dan rohaniah manusia , terletak pada pangkal leher manusia, pada waktu manusia meninggal nyawanya menuju ke subayangan ke tempat Jubata Ne’ Nange tinggal.
2) Sumangat
Sumangat adalah kekuatan atau tenaga roh manusia, yang terdapat dalam alam sadar dan alam tidak sadar. Sumangat juga terdapat dalam mahluk lain seperti roh-roh, binatang dan tumbuhan dan benda-benda tertentu. Pada manusia, mengacu pada perasaaan yaitu emosi, misalnya rasa berani atau takut, senang atau sedih. Kedua, mengacu pada mimpi, khayalan, membayangkan, halusinasi dan sebagainya. Tempat sumangat adalah dipelipis, namun sumangat dapat berpindah ketempat lain, misalnya pergi ke subayatn. Dan sumangat dapat bertukar dengan sumangat dari orang atau mahluk lain dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya; ketika mengadakan ritual mato‘ memanggil tariu waktu akan perang, sumangat orang itu pergi ke tempat kamang dapat beganti dengan sumangat kamang yang diundang datang, atau dikembalikan ke asalnya jika selesai berperang, dengan ritual mulangkatn tariu dan basaru’ sumangat, (mengembalikan tariu dan memanggil semangat). Ketika manusia meninggal sumangatnya pergi ke subayatn dan tinggal di sana.
3) Ayu
Ayu adalah kekuatan roh yang membentuk sifat (karakter) atau kepribadian manusia, ayu menormalkan tingkah laku manusia, terletak pada bagian atas punggung. Ayu melindungi agar seseorang terhindar dari penyakit tertentu. Penyakit ayu lebih parah dari penyakit yang disebabkan kepergian sumangat. Sesudah meninggal ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan di kuburan, pada orang yang sudah mati ayu menjadi hantu.
4) Sukat
Sukat adalah kekuatan yang melindungi seseorang dari sakit tubuh, berfungsi menjadi semacam sistim kekebalan tubuh manusia. Terletak mulai dari atas kepala lewat otak sampai ke sum-sum tulang belakang. Pada orang yang meninggal normal, sukatnya hilang begitu saja dan menempati alam gaib.
5) Bohol
Bohol adalah kekuatan untuk bertumbuh yang dimiliki manusia, misalnya; anak kecil tumbuh menjadi besar, disebabkan oleh bohol, terletak pada di garis perut yang berdenyut sampai ke pusar. Mempengaruhi manusia sejak dalam kandungan, seorang yang kekurangan bohol akan sulit untuk mendapatkan anak.

6) Leo Bangkule
Leo Bangkule adalah tali nyawa atau tali jiwa, artinya penyambung nyawa atau penyambung jiwa, terletak pada jantung, paru-paru dan semua alat bagian dalam tubuh manusia, dianggap sebagai pusat hidup manusia. Jika seorang meninggal Leo bangkule tinggal di alam gaib, dan menjadi penolong pamaliatn dalam menyembuhkan orang sakit.
7) Nenet Sanjadi
Sama dengan Leo Bangkule, Nenet Sanjadi adalah tali nyawa atau pungka’ sengat, (penyambung nyawa atau permulaan nafas). Letaknya saja yang berbeda, nenet sanjadi terletak pada tenggorokan pada bagian yang berdenyut, sering disebut sebagai saluran nafas, menjadi kekuatan manusia untuk mempertahankan nafasnya. Ketika seseorang meninggal Nenet Sanjadinya sama dengan Leo Bangkule tinggal di alam gaib dan menjadi penolong pamaliatn dalam menyembuhkan orang sakit.

4. Tentang Keadaan Setelah Mati
Kematian menurut Dayak Kanayatn adalah perpisahan jiwa dari tubuh. Tubuh musnah kembali kepada tanah dan jiwa atau roh terpecah tujuh bagian berubah unsur dan menjadi kuasa-kuasa (dan mahluk) rohani dalam kekekalan, menuju ke tempat yang sudah ditentukan masing-masing. Ada empat tempat bagi roh manusia yang meninggal, yakni , subayangan, subayatn, kuburan dan alam gaib.
Adapun masing-masing tempat roh manusia yang meninggal dijelaskan bahwa, nyawa pergi ke subayangan, ke tempat Jubata Ne’ Nange, sumangat pergi ke subayatn, ayu berdiam di “kuburan,” bohol dan sukat, leo bangkule dan nenet sanjadi pergi ke “alam gaib” kembali kepada Jubata Nek’Panampa’, menjadi kekuatan yang menolong dukun perobatan (pamaliatn) dalam mengobati orang sakit.
a. Subayangan
Subayangan adalah tempat tujuan akhir dari setiap nyawa orang yang telah meninggal. Subayangan tempat yang abadi, disebut juga sebagai tempat Jubata Ne’ Nange (Jubata Yang Esa) bersemayam. Untuk pergi ke subayangan roh manusia harus melewati rintangan-rintangan, setelah lolos melewati rintangan-rintangan ini barulah ia bisa tiba di subayangan, dan ditempatkan di tempat yang disebut “paca’ bagoneng batihakng tungal” (ayunan kain yang bertiang tunggal), di sanalah nyawa manusia tinggal selama-lamanya. Perjalanan nyawa manusia menuju subayangan melewati beberapa tahapan dan rintangan, saat seorang akan menghembuskan nafas terakhirnya perjalanan nyawanya sebagai berikut:
pertama-tama nyawa mendaki bukit Simanimanng ditandai dengan nafasnya dari perut naik ke hidung dan turun ke lembah Sinolayang, ditandai dengan nafasnya keluar dari hidung dan menghilang ke udara. Setelah melayang di udara, ia akan bertemu dengan “tembok basaka talu” (jalan bersimpang tiga), kemudian melewati “tanah bagabut titi bajoa” (tanah bergerak bergelombang dan jembatan yang bergerak maju mundur). Setelah melaluinya ia akan melewati raba’ nyangkot ka’ pongok rakeh, (ranting yang sangkut pada kayu mati yang rapuh). Kemudian sampai di tajo rancangan, berisi sinar pelita kerena jalan menuju subayangan itu gelap, pelita tersebut akan menyala kalau nyawa tersebut sudah diperkenankan masuk ke subayangan, tersebut dipakai untuk menerangi jalan menuju subayangan yang gelap.

Gambaran tentang keadaan subayangan oleh Abun, seringkali diperolehnya ketika memasuki alam gaib saat sedang melakukan pengobatan baliatn;
“tampat koa lea abut pampadakng, urakng-urakng ayak’ enek, tuha-muda’atn, laki binian nang dah mati ada ka’ tampat koa, kade’ diri’ saru’ ia ka’ koa nana’ nangar. Waktu sampe ka’ abut pampadakng koa, ati ngarinu, parasaan repo, tanang, man dame, rasa bai’ pulakng-nga’ agi’ kak dunia nian”, artinya; tempat itu seperti sebuah taman (dari hutan asli), orang-orang besar kecil, tua muda, lelaki dan wanita yang sudah meninggal ada di tempat itu, kalau kita panggil mereka itu tidak mendengar. Ketika sampai di tempat itu hati sangat rindu, perasaan sukacita, tenang dan damai, terasa tidak mau kembali lagi ke dunia ini.

b. Subayatn
Subayatn adalah tempat sumangat orang-orang yang sudah meninggal. Keadaan di subayatn digambarkan kacau balau, serba tidak teratur dan kotor, penuh dengan tahi ayam, tahi babi, tahi anjing dan tahi binatang-binatang lain, karena itu ketika berjalan ke tempat tersebut sumangat menggunakan ibu jari kaki untuk berjinjit, menghindarkan kotoran binatang. Bagi sumangat tempat tersebut tidak dapat dihindari, kejahatan seseorang ditanggung sumangatnya di subayatn.. Setiap sumangat orang mati harus pergi ke sana, untuk mengalami penderitaan dan segala macam kesusahan, seperti hidup miskin, berkelahi, mabuk-mabukan, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, misalnya; berjudi, sabung ayam dan lain-lain. Perjalanan sumangat orang meninggal menuju Subayatn melalui rintangan-rintangan, dijelaskan oleh Pak Abun, rintangan yang dilalui oleh sumangat adalah;
pintu tungal (pintu tunggal), pintu bargeser (pintu bergeser), pintu bakapet (pintu berjepit), pintu badangkop (pintu yang menganga seperti mulut buaya) , pintu baputar (pintu berputar), titi batu timul barasap (jembatan batu timbul berasap), bola api sebesar kelapa muda terbang menyilang berulang–ulang ke kiri dan ke kanan, dan tiba di perkampungan sumangat orang mati yang disebut subayatn.

c. Kuburan
Alam kuburan adalah tempat tubuh disemayamkan, yakni; kuburan, patunuan dan sandung, (Kanayatn: sanukng) termasuk tempat tubuh orang yang tidak dikubur, adalah alam kematian yang ditempati oleh ayu orang meninggal. Ayu mendampingi tubuh orang mati dan menjadi pidara (almarhum) orang mati itu kadang-kadang berwujud hantu orang mati itu, karena itu kuburan dianggap tempat tinggal para hantu orang mati.
d. Alam Gaib
Alam gaib adalah alam rohaniah yang tidak kelihatan atau kasat mata yang berada di sekitar manusia. Empat bagian roh manusia yang meninggal, yakni; bohol, sukat, nenet sanjadi dan leo bangkule menempati alam gaib. Keempatnya menjadi kekuatan-kekuatan yang menolong dukun perobatan dalam menyembuhkan orang sakit. Dalam doa perobatan disebutkan:
“kami minta ka’ kita’ Jubata ne’ Panampak supaya kamuda’ nian dikita’ tampak agi’ man bohol nang edo’ lea bohol (si anu’) nang batubuh tarigas, babatis lansok…” artinya; kami memohon kepada engkau Jubata Pencipta, supaya anak ini engkau ciptakan lagi dengan bohol yang bagus seperti bohol (nama orang yang sudah meninggal), yang bertubuh gagah, berbetis kuat.

B. Pemujaan
Pemujaan dalam agama suku adalah segala sikap penghormatan manusia kepada “yang di atas” yakni Jubata dan kepada kekuatan-kekuatan rohani tertentu dan kepada mahluk-mahluk rohani yang baik dan jahat, antara lain: objek pemujaan, subjek pemujaan dan syarat pemujaan dan ritual-ritual dalam pemujaan.

1. Objek Pemujaan
Yang dimaksud dengan objek pemujaan adalah sasaran pemujaan manusia dalam ritual-ritual. Objek tersebut dipuja karena kepadanya manusia bersandar, dan juga karena manusia memerlukan objek-objek tersebut untuk berbagai macam kepentingan hidupnya. Ada tiga objek yang dipuja yakni: Jubata, pama dan roh-roh yang berjumlah banyak, roh-roh yang berjumlah banyak ini memiliki sifat baik dan jahat.

a. Jubata
Jubata mungkin berkaitan dengan istilah dewata. Nama Jubata bukanlah nama pribadi, tetapi sebutan untuk jenis mahluk yang dibedakan dari manusia, hewan, tumbuhan, roh-roh yang berjumlah banyak, atau hantu-hantu. Mengenai perbedaan yang mencolok ini, secara jelas Jubata memikili sifat dewa, atau tuhan, misalnya pencipta (Jubata Ne’ Panampa’) dan memerintah alam semesta (Jubata Ne’ Panitah), telah dibahas dalam bab terdahulu. Sedangkan mahluk-mahluk lainnya tidak memiliki sifat yang sama dengan Jubata, mahluk lain dan ciptaan di perintah Jubata. Ia memiliki kuasa yang tidak terbatas “supreme being” sebagai pribadi yang bersemayam di atas atau di langit, tempat kediamannya disebut subayangan. Jumlah Jubata hanya satu ditegaskan dengan “Jubata Ne’ Nange” (Jubata Yang Esa), namun ia memiliki tujuh sifat untuk mengatur manusia dan mahluk-mahluk di alam semesta ini. Jubata dianggap “maha hadir”, dia hadir di bulan, (Jubata Bulatn) di bintang (Jubata bintakng), di matahari (Jubata mata’ari), di gunung (Jubata Loncek), di lembah (Jubata Panyugu), Di seluruh sungai dan seluruh air (Jubata putar ai’; seluruh air ), di seluruh bumi (Jubata Putar tanah; seluruh bumi) .
Imam kadangkala memberikan nama Jubata dalam beberapa kasus, misalnya Jubata Ne’ Jaek, dan nama-nama lainnya, tetapi sangat jarang ditemukan, menunjukkan kemerosotan menjadi politeisme. Adapula penulis yang menulis Jubata dengan kata depan Ne’, menjadi Nek Jubata, tetapi tidak lazim didapati pada ritual-ritual agama suku, kata Ne’ tidak pernah disebutkan di depan nama Jubata. Jubata dipersonifikasikan, misalnya: dalam kasus seseorang yang sedang kehausan pada situasi sulit mendapat air, lalu tiba-tiba ada yang menolong memberikan air, orang yang menolong itu bisa di sebut Jubata.
Untuk berbicara kepada manusia Jubata memberikan “ilamat” atau “rasi” artinya; ‘pertanda’, yang diberikan langsung kepada masyarakat atau imam, yakni: pertanda baik dan buruk, setuju atau tidak setuju, bencana atau rejeki, keuntungan atau kerugian. Pertanda itu diberikan kepada lewat mimpi, bisikan ilahi, penglihatan, tanda-tanda alam, seperti suara burung, misalnya; burung keto/buria’ (prenjek), kangkangkok, boak (burung hantu), ular melintas melintang jalan, elang, kulang kulit (burung hantu jenis besar), dahan jatuh, batang tumbang dan tanda-tanda alam lainnya yang dapat ditafsirkan imam.

Walaupun Jubata berbicara dengan berbagai sarana ia tidak digambarkan dalam bentuk atau objek apapun, dikatakan oleh Pak Abun:
“ia nana’ ba tubuh lea diri’, nana’ babantuk, nana’ bisa pula’ digambaratn lea ahe Jubata koa, kade’ di pamuat babantuk ahe gali’ ia bera, nae diri’ sungkak,” artinya; ia tidak bertubuh seperti kita, ia tidak berbentuk, tidak bisa pula digambarkan seperti apa pula Jubata itu, kalau dibuat bentuk seperti apa, takut ia marah, nanti kita ditimpa sesuatu yang buruk.

Sebagai sarana penghubung antara manusia dengan Jubata adalah “baras banyu” yang disebut “bujakng pabaras nang bajalatn jajakng pantas”. Beras banyu berwarna kuning berjumlah “tujuh butir,” artinya ; sempurna atau lengkap. Melambangkan tujuh sifat Jubata, yakni, Ne’ Nange (Yang Esa), Ne’ Panampa’ (mencipta), Ne’ Panitah (berfirman ) yang memerintah alam semesta, Ne’ Pangingu (Yang Melindungi/ Menjaga), Ne’ Pangorok (yang Mengasuh), Ne’ Pangedokng (yang Mengawasi/Menghakimi), dan Ne’ Pajaji/Ne’ Pangampu’ (penguasa alam semesta).
Ketujuh butir beras banyu menjadi alat perantara kehadiran Jubata dalam hubungannya dengan manusia.
zaman dahulu orang sungguh-sungguh konsisten menerapkan agama suku sebelum melakukan segala sesuatu terlebih dahulu akan “ngalantekkatn” (menaburkan) beras banyu, sebagai permohonan kepada Jubata untuk menyertai dalam segala yang dilakukan, misalnya; sebelum makan, sebelum tidur, sebelum melangkah keluar dari rumah, sebelum bekerja dan lain-lain.

b. Pama
Kata “pama” mungkin berasal dari bahasa Sanskrit, “umpama”, berarti; gambaran (P. Yeremias;1997: 10), tetapi tidak jelas hubungan bahasa sangskrit dengan pangertian pama dalam agama suku Dayak Kanayatn. Dalam konteks ritual suku Dayak Kanayatn, kata ini dipakai untuk mengartikan: kuasa, keramat atau daulat. Suatu kekuatan yang dianggap membawa keuntungan.
Pama dimiliki oleh Jubata disebut “pama Jubata” artinya ; kuasa Jubata, karena Jubata adalah sumber kuasa, semua pama berasal dari Jubata. Pama terdapat pula pada orang-orang khusus yang telah meninggal dianggap pahlawan karena kemampuan khusus di bidang keamanan, perobatan dan pertanian. Mirip denmgan konsep “mana” dalam kebatinan Jawa (kejawen). Pertama, tokoh perang yang disebut pangalangok atau pangalima, kedua, pamaliatn atau dukun perobatan dan ketiga, tuha tahun atau pemimpin pertanian. Untuk mempertahankan pamanya, tokoh-tokoh tersebut dibuatkan pantak (patung) , mulai berkembang kira-kira tahun 1550-1700 M, merupakan momentum dimulainya kepercayaan suku Dayak Kanayatn kepada pama manusia. Sebagai sarana pemujaan kepada pama para pahlawan ini adalah ; pinang, sirih, kapur, tembakau dan rokok daun, tanda penghargaan atas orang yang telah tua.
c Roh Yang Berjumlah Banyak
Roh-roh adalah mahluk rohani yang diyakini tinggal pada alam rohaniah yang berjumlah banyak, terdiri atas roh-roh yang menjadi penguasa tempat-tempat tertentu dan hantu-hantu atau pidara (ayu orang yang sudah meninggal).
Mempunyai nama dan tempat masing-masing, dipercayai ada di sekitar manusia, pada kayu (pohon), sungai, saka (simpang jalan), tempat roh tersebut tinggal, roh-roh itu memiliki sifat baik dan jahat. Roh-roh jahat ditakuti karena dapat menyebabkan kesengsaraan dan penyakit, roh-roh baik dihormati karena dapat menjadi sahabat bagi manusia, sewaktu-waktu bantuannya dapat dimanfaatkan. Persembahan yang diberikan disebut kobet, terdiri atas darah mentah, daging ayam yang diiris-iris beserta jeroannya (kecuali perut) dibungkus memakai daun layang, supaya tidak mengganggu.

Nama-nama roh yang sifatnya baik adalah, pertama, Kamang Tariu, dan Kamang yang berjumlah 7, yang tinggal di gunung-gunung tertentu, merupakan roh perang, yaitu; roh yang menjadi menolong suku Dayak Kanayatn dalam perang, antara lain; Bujakng Nyangko (dari Samabue), Bujakng Parabas, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layoh, Kamang Bunsu (dari santulangan).
Kedua, Bunyian. Dianggap roh yang tinggal di alam gaib sekitar tempat tinggal manusia, misalnya di batu yang keramat, di tembawang atau tempat tertentu yang diyakini tempat tinggal Bunyian, sering membantu manusia dalam perobatan bahkan dipercayai dapat kawin dengan manusia. Ketiga, Butha, adalah roh yang tinggal di goa-goa, disebut sebagai ampu’ tanah (pemilik tanah), yakni roh-roh yang dianggap sebagai penguasa tanah, untuk menggunakan tanah harus permisi kepada butha dan memberinya persembahan.

Nama-nama roh jahat adalah sebagai berikut;
pertama, Pujut, artinya mencekik. Roh tingkat rendah yang tinggal di kayu ara, atau beringin. Kedua, Antayapm, juga tinggal di kayu ara (beringin) dapat membuat orang jadi gila. Ketiga, Mawikng, tinggal di hutan, terutama ditempat yang lapang, tidak ditumbuhi pohon-pohon atau semak-semak. Keempat, Bintianak atau kuntilanak. Dianggap sebagai hantu wanita yang mati waktu melahirkan, mempunyai lobang besar di punggung yang ditutup dengan rambutnya yang panjang. Kelima, hantu-hantu yang jumlahnya banyak, menjadi perusak hidup manusia, antara lain : hantu Cacar, penyebab penyakit cacar, tinggal di gunung Roban (Singkawang), hantu Apat, menyebabkan kekurangan padi dan kelaparan. Antu Halus, menyebabkan penyakit padi dan antu Serah, mendatangkan tikus memakan padi. Antu Garagahasi, berbunyi seperti kayu yang patah. Antu Panyakng (hantu panjang), tingginya melampauwi pohon-pohon dan lain-lain.

2. Subjek Pemujaan
Subjek atau pelaku pemujaan adalah panyangahatn (imam) dan masyarakat adat, Imam menjadi mediator antara masyarakat dengan yang dipuja.
a. Panyangahatn
Panyangahatn adalah imam, pemimpin upacara adat atau ritual. Pada zaman dahulu seorang imam adalah seorang pemimpin yang dituakan dalam kelompok masyarakat. Kemudian ketika kehidupan masyarakat semakin berkembang, panyangahatn dikategorikan sebagai tokoh berpengaruh yang merangkap kepala adat, misalnya; patih, mangku, temenggung, singa, pamaliatn, atau tuha tahutn (tokoh pertanian), yakni orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan dan keistimewaan dalam hubungan dengan “yang di atas”.
Pamaliatn digariskan secara turun-temurun, pamaliatn juga adalah panyangahatn yang utama, karena seluruh tatanan konsep dasar agama suku harus diketahui seorang pamaliatn, sebaliknya panyangahatn tidak harus dapat menjadi pamaliatn. Jadi pada prinsipnya pamaliatn adalah guru panyangahatn.
Kemudian ada pemisahan antara golongan pamaliatan, imam, pemimpin. Pamaliatn kemudian mengurusi orang-orang sakit saja, kecuali tidak ada panyangahatn, pamaliatn dapat berfungsi ganda sebagai panyangahatn. Panyangahatn (imam) kemudian hanya mengurusi upacara-upacara adat (ritual) saja, diturunkan dari generasi ke generasi melalui garis keturunan, dari keturunan imam yang dianggap memenuhi syarat. Tetapi beberapa dekade berikutnya ditetapkan bukan berdasarkan keturunan, tetapi menurut kritria-kriteria tertentu yang melekat pada imam. Menurut Ja’iya, syarat-syarat seorang imam yang terpenting ialah; menjadi anak samang (pendamping) imam aya’ (imam besar) dalam nyangahatn (berdoa), tahu pola dan cara nyangahatn, tahu syarat-syarat melakukan sangahatn, tahu mitos-mitos (cerita suci) agama suku, memiliki pengalaman-pengalaman supranatural, dan lain-lain.

b. Masyarakat Suku
Masyarakat suku sebagai subjek pemuja, baik sebagai individu, warga kampung maupun warga binua, di kampung-kampung yang berada di luar jalan raya setiap warga diwajibkan ikut dalam kegiatan agama suku, baik secara individu maupun dalam kegiatan kampung dan binua, siapa yang melanggar dikenakan sanksi adat. Namun di desa-desa Kristen di tepi jalan raya, ritual-ritual agama suku yang mencakup kampung dan binua, tidak lagi dijalankan, sejak tahun 1967, namun secara individu dan keluarga masih banyak yang melakukan sinkritisme.

3. Ritual-Ritual
Ritual berasal dari kata “ritus”, artinya adalah tindakan agama yang dinyatakan dalam perbuatan. Arti lainnya ; suatu sistim upacara dan prosedur magis religius dengan bentuk khusus, kata-kata khusus atau suatu kosa kata khusus (dan rahasia) dan biasanya dihubungkan dengan tindakan-tindakan atau kesempatan-kesempatan penting.” Ritual dalam agama suku Dayak Kanayatn disebut “ngadati’” atau “upacara adat” bersangkut paut dengan tindakan melakukan “sangahatn” (doa), disertai persembahan sesuai dengan maksud dan tujuan ritual itu diadakan. Pada bagian ini akan dibahas beberapa dasar pokok diadakannya ritual, yakni; unsur-unsur ritual, tempat ritual, simbol ritual, dan jenis ritual.
a. Unsur-unsur Ritual
Unsur-unsur ritual adalah ketentuan pokok yang menjadi dasar pengadaan suatu ritual, telah ditetapkan sejak awal, yang mempunyai makna religius. Unsur-unsur itu antara lain; sangahatn (doa) dan palantar (persembahan). Setiap ritual mempunyai sangahatn sendiri-sendiri, syarat sendiri disertai simbol ritual.
1) Sangahatn
Sangahatn adalah wujud ritual Dayak Kanayatn. Kata sangahatn berasal dari kata “sangah” yang artinya; sampaikan, hentarkan, atau haturkan. Menunjuk pada pengucapan doa, permohonan atau ucapan syukur, dan sikap penyembahan kepada Jubata, dan pama dan meminta roh-roh untuk berbuat menuruti permintaan manusia .
Pada hakekatnya kata nyangahatn setara artinya dalam bahasa Indonesia dengan “ritual” atau ritus. Pada agama suku Dayak kanayatn ngacu pada peringatan terhadap peristiwa zaman dahulu yang bersangkut paut dengan sejarah suku, ataupun peristiwa-peristiwa penting yang bersangkut paut dengan asal mula sesuatu, yang menyangkut kehidupan masyarakat secara individu, keluarga maupun kelompok masyarakat kampung dan binua.
Sangahatn bukan formulasi kata-kata yang sudah baku, pengucapan sangahatn masing-masing imam berbeda-beda, sesuai kemampuan penyampaian kosa katanya, ucapan kata-katanya ada yang sama sebagian berbeda. Ada pola-pola tertentu yang yang menjadi patokan dalam sangahatn, antara lain : pembukaan, memuja dan mengundang Jubata dan pama Jubata, menyebutkan tokoh masa lampau (sesuai bidangnya), memunja dan mengundang pama tokoh lampau, menyampaikan maksud dan tujuan atau permohonan, meminta setan balis atau mahluk perusak untuk tidak mengganggu, dan penutup. Tata cara sangahatn untuk mohon berkat bagi tanaman padi, oleh Musin :
(naburatn baras kuning 7 bege’ ka’ udara untu’ Jubata, nyalanan bujakng pabaras, moyang pabawar nang bajalatn jajakng pantas), …asa, dua, talu ampat, lima, anam tujuh, kami bapadah ka’ kita’ Jubata, pama mata ari timul, pama mata ari mati , bulatn bintakng, samula idup samula jadi, tanah langit lubuk ranto, kayu aya’ kayu enek, bahwa Sari’i, nang muat buis bantatn, rangkakng manok, pinang, karakek, adat nang nali namputn ne’ unte’ Kalimantatn, ne’ Bacina, tanyukng bunga, ne’ Sali ne’ Sabaka, raja pama mutar ai’ mutar nagari. Sari’i, nang muat adat untu’ ngadati’ uma, supaya umanya edo’ minta babatakng lanso, badaukng libar, nangkoalah adat nang ia pamuat, babatak ka’ kita’ Jubata. Asa’ , dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh. (air diisi di mangkuk untuk mencuci telapak kaki Jubata). Au’ kita’ sagala laok, limpango tikus, keto pahiap, pasansa, kang-kangkok; burukng jawa, bungkikik, burukng matan, au’ nang batimang siakng ari malaman, ame ngede’, kami, kami minta’ supaya padinya babuah nang calikng nang gagas, tarigutn. Jin butha, jumbalang tanah ame ngaco pakarajaatn kami. O…kita’ Jubata, kami bapadah ngangkata buis bantatn, asa, dua, talu ampat lima, anam tujuh, kura’ sumangat padi. Artinya; (menaburkan beras kuning ke udara, untuk Jubata, menjalankan tokoh pabaras/berkat, yang berjalan mantap pantas), satu, dua tiga, empat, lima, enam, tujuh, kami menyampaikan kepada Jubata, berkat matahari timbul, berkat matahari terbenam, bulan, bintang, semula hidup semula jadi, bumi langit, segala lubuk, kayu besar, kayu kecil. Bahwa Sari’i, yang membuat “buis bantatn” seekor ayam, pinang, sirih, adat yang diteruskan menyambung Ne’ orang hutan, Kalimantan, Ne’ Bacina, tanjung bunga, ne’ Sali, ne’ Sabaka, raja berkat seluruh air seluruh negri. Sari’i, yang membuat adat untuk mengadati ladang, supaya ladangnya bagus, berbatang besar, berdaun lebar, itulah adat yang dia buat, melapor kepada engkau Jubata. Satu, dua, tiga ampat, lima. anam, tujuh, (mengisi air di mangkuk, artinya mencuci kaki Jubata), Jadi kalian segala binatang hama, walang sangit, tikus, prenjek, pahiap, kang-kangkok, burung jawa, burung matan, yang menimang siang malam, jangan mengejek kami, kami minta supaya padinya berbulir padat, yang bagus, yang mantap. Jin, butha, jumbalang tanah jangan mengganggu pekerjaan kami. O jubata kami menyampaikan akan mengakhiri buis bantatn, satu, dua, tiga, empat lima, enam tujuh, kura’ semangat padi.

2) Palantar
Palantar berasal dari kata “antar” artinya; mengiringi, bersama-sama, mendampingi, atau dibawa. Palantar dalam tradisi Dayak Kanayatn memiliki pengertian yang lebih khusus, untuk menunjukan segenap perlengkapan atau syarat ritual pada waktu ritual diadakan. Palantar adalah persembahan yang disampaikan bersamaan dengan sangahatn (ritual) yang dipimpin imam, terdiri atas dua macam yakni palantar mentah dan palantar masak.
Pertama, palantar mentah, adalah segenap persembahan yang terdiri atas bahan-bahan dalam keadaan mentah, contohnya; beras banyu 7 butir, (untuk Jubata) telor, (simbol tuan rumah) buah pinang, kapur, sirih, tembakau, rokok daun nipah (persembahan untuk pama) darah ayam, (persembahan untuk roh jahat), beras pulut, beras sunguh/beras biasa, (untuk imam) uang logam/uang kertas (untuk imam), jarum/besi (tanda kuatnya kepercayaan). Kedua, palantar masak, adalah segenap persembahan yang disajikan setelah dimasak, yakni; isi jeroan ayam (hati, tembolok, jantung), seekor ayam atau lebih yang direbus, pulut yang dimasak dalam bambu tujuh roas (batang), tumpi’/cucur 7 sapikng’ (keping) dipersembahkan kepada Jubata. Palantar mentah dan masak ditaruh pada sebuah pahar (semacam talam yang berkaki) dan niru, disajikan bersamaan ketika suatu upacara ritual diadakan.

b. Tempat Ritual
Tempat ritual adalah tempat khusus yang dibuat untuk mengadakan ritual sebagai pusat kegiatan ritual masyarakat kampung dan binua, yakni tempat penyembahan kepada Jubata yang disebut kadiaman, artinya; tempat tinggal, tempat bersemayam, tempat berdiam atau tempat berhenti. Menunjuk pada tempat hadirnya Jubata, berjumpa dengan Jubata, atau tempat sembahyang. Menurut Herculanus Bahari beberapa upacara ritual yang dilakukan di kadiaman adalah ; nabo’ padagi, nabo’ pantulak, nabo’ panyugu, nabo’ sanukng. Lokasi kadiaman berukuran 15 X 20 meter persegi, atau sesuai dengan keperluan, dibangun di puncak bukit atau di lereng gunung. Tiap kampung dan binua memiliki kadiaman masing-masing, dalam tiap ritual nama-nama tempat dan Jubata disebutkan.

c. Simbol Ritual
Simbol-simbol ritual adalah sarana ritual yang dipakai sebagai lambang khusus berkaitan dengan hubungan manusia dengan yang dipujanya. Paling tidak ada empat simbol penting yang menjadi ciri khas agama suku Dayak Kanayatn, yakni: papangoan atau altar, pabayo, ancak , dan pantak (patung).
1) Papangoan atau Altar
Altar disebut “papangoan” dari kata “pango” artinya; kayu yang disusun rata. Sedangkan kata “papangoan” biasa juga disebut “paburungan” menunjuk pada susunan kayu yang digunakan untuk menaruh persembahan kepada Jubata, artinya adalah ”peringatan”. Dibangun untuk memperingati (dan mengulang) peristiwa-peristiwa zaman dahulu dalam hubungan manusia dengan Jubata, dibuat dari kayu besi, berdiameter sekitar 2 X 2 meter persegi, setinggi 60-75 cm dari permukaan tanah, ditempatkan di setiap kadiaman. Secara khusus papangoan juga menunjuk kehadiran Jubata, karena Jubata tidak dapat dilambangkan dengan apapun, di atas papangoan tersebut tidak ada lambang-lambang yang melambangkan bentuk atau natur Jubata.
2) Pabayo
Pabayo adalah lambang khusus agama suku Dayak Kanayatn sebagai simbol penyembahan terhadap Jubata. Pertanda sedang diadakannya ritual agama suku, dibuat setiap kali ritual diadakan. Terbuat dari seruas bambu sepanjang 1½ meter, terdiri atas seruas bambu yang dibelah tujuh, bagian atasnya membuka dan dianyam memakai kulit bambu, ujungnya berjumbai jumbai. Simbol ini dibuat setiap kali upacara ritual diadakan, pabayo ditancapkan di tanah, di tiap tempat pelaksanaan ritual.
3) Ancak
Ancak adalah tempat yang dibuat khusus untuk memberikan makanan kepada roh-roh, digunakan untuk menempatkan palantar masak. Terbuat dari pelepah dan daun kelapa, yang dibentuk persegi empat, kemudian tulang daun kelapa tersebut di buang, selanjutnya daun kelapa yang tidak bertulang itu dipisah dua, sebagian diikat menjadi satu utnuk menggatungkan ancak tersebut dan sebagiannya dibiarkan berjumbai ke bawah.
4) Pantak
Pantak adalah patung kayu. Kata ‘pantak’ berasal dari kata “palantak” artinya; dipahatkan, dipakai untuk menunjukkan gambaran orang yang sudah meninggal, didasari kepercayaan kepada pama orang yang sudah meninggal dapat dipertahankan ke dalam patung. Pembuatan pantak Sanukng (sandung), tidak diketahui kapan pertama kalinya, tetapi pantak-pantak kampung dan binua, yakni pantak padagi, pantak pantulak, dan pantak pangayom, diperkirakan zaman peralihan kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam, misalnya pantak Patih Senen di Banyuke, dibuat kira-kira tahun 1550 M (+ 16 generasi) dan pantak Ne’ Panyakng/Ne’ Nabi di Saham-Pahauman, + 1700 M, ( + 11 generasi).
Pertama, pantak Sanukng, adalah kuburan keluarga, dibuat oleh keluarga disebut juga pantak keluarga. Tujuannya untuk menjalin komunikasi dengan pama atau awa pama orang tua yang sudah meninggal. Kedua, pantak padagi dan pantak pantulak. Pantak padagi adalah pantak yang dibuat untuk tokoh yang telah berhasil menyelamatkan penduduk dalam peperangan yakni tokoh perang atau pangalima-pangalangok, dibuat di padagi. Pantak Pantulak adalah pantak tokoh yang berjasa pada masyarakat di bidang perobatan, dibuat di pantulak. Bagi tokoh yang memiliki kedua kemampuan tersebut dibuatkan pantak padagi atau pantak pantulak. Ketiga, Pantak Pengayom, adalah pantak tokoh yang telah berhasil memimpin dan membina masyarakat di bidang pertanian, tokoh ini disebut “tuha tahutn”, pantaknya dibuat di panyugu.
d. Jenis Ritual
Jenis-jenis ritual adalah berbagai macam ritual dalam agama suku dan kegunaannya masing-masing, setiap ritual mempunyai maksud dan tujuan yang berlain-lainan karena diadakan sesuai dengan keperluan. Dilihat dari fungsinya, ritual terbagi atas lima jenis, yakni; pertama, ritual dalam tata cara adat, kedua, ritual pertanian, dan ketiga, ritual dalam kampung dan binua, keempat, ritual khusus, kelima, ritual perang.
1) Ritual Dalam Tatacara Adat.
Ritual dalam tatacara adat ialah ritual yang diadakan untuk mendoakan manusia dari sejak dalam kandungan sampai kematian, yaitu:
1.1 Ritual dalam tatacara adat kelahiran
1.2 Ritual dalam tatacara adat sunat
1.3 Ritual dalam tata cara adat perkawinan
1.4 Ritual dalam tatacara adat kematian
2) Ritual Pertanian
Ritual pertanian ialah rangkaian ritual yang diadakan untuk kepentingan pertanian dari permulaan pertanian sampai selesai panen, diakhiri pesta panen,
antara lain :
2.1 Ritual nabo’ uma ialah mendoakan pengerjaan ladang.
2.2 Ritual ngamalo, adalah mohon berkat atas pertumbuhan padi.
2.3 Ritual ngarapo, adalah doa mohon perlindungan terhadap penyakit padi.
2.4 Ritual ngaladakng buntikng padi, adalah doa mohon berkat atas padi yang bunting.
2.5 Ritual mule bahanyi, adalah doa untuk memulai panen.
2.6 Ritual naik dango, artinya naik ke pondok, ritual ini bermaksud memanggil agar semua sumangat (kekuatan hidup) padi naik ke pondok, menutup segala rangkaian kegiatan perladangan, setelah ritual ini diadakan segala pekerjaan di ladang dihentikan. Disusul dengan pesta syukuran dan perayaan panen yang disebut ‘baroah”, yakni, syukuran atas berhasilnya panen.
3) Ritual Kampung dan Binua
Ritual yang diadakan untuk kepentingan masyarakat kampung dan binua, terutama untuk keselamatan kampung dan binua, diadakan setahun sekali.
3.1 Ritual ngiliratn baho kampokng adalah ritual yang diadakan untuk membuang penyakit dan dosa kampung, diadakan setahun sekali, untuk meminta ampun atas dosa dan meminta agar roh-roh jahat pergi membawa penyakit atau hama padi pergi dari kampung.
3.2 Ritual ka’ bansa adalah ritual yang diadakan di kadiaman atau tempat pemujaan, diadakan setahun sekali, di padagi dan pantulak, biasa dinamakan nabo’ padagi atau nabo’ pantulak, nabo’ panyugu dan nabo’ sanukng.
3.3 Ritual muang parahu antu, ritual untuk memohon keselamatan hidup seluruh
masyarakat kampung agar terhindar wabah penyakit dan kematian melanda kampung. Diadakan setahun sekali selesai musim buah atau sewaktu ada serangan sejenis penyakit mematikan yang melanda kampung.
3.4 Ritual ngiliratn baho binua adalah ritual yang diadakan untuk membuang penyakit padi binua, diadakan sewaktu terjadi kegagalan panen selama 3 sampai 5 tahun berturut-turut di binua tersebut.

4) Ritual Khusus
Ritual khusus adalah ritual yang dilakukan sewaktu-waktu untuk kepentingan tertentu, saat tertentu, yaitu :
4.1 Ritual ka’ ayaman ritual yang diadakan untuk pemeliharaan ternak, agar ternak
ayam dan babi menjadi raya atau banyak dan sehat.
4.2 Ritual ka’ palaya’ adalah ritual yang diadakan ke tempat mencari nafkah, misalnya; di tembawang atau kebun buah-buahan, hutan tempat mencari rotan, kayu, damar, hutan bekas tempat berladang, hutan tempat berburu, sungai tempat memancing dan sebagainya. Diadakan bila hasil di tempat-tempat tersebut akan dimanfaatkan.
4.3 Ritual hukum adat adalah ritual yang diadakan untuk kasus-kasus pelanggaran adat.
4.4 Ritual baliatn, adalah ritual yang diadakan untuk syukuran, membayar niat, atau berobat, asli Dayak Kanayatn, ritual paling agung zaman dahulu.
4.5 Ritual balenggang adalah ritual ini diadakan untuk perobatan, dari suku Melayu.

5) Ritual Perang
Ritual perang bersangkut paut dengan pelanggaaran adat pati nyawa, karena adanya warga masyarakat terbunuh, dan si pembunuh, dan ahli waris atau kampungnya tidak mau bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Bila terjadi penyerangan, terhadap pribadi, keluarga, kampung atau binua, oleh pihak tertentu tanpa sebab musabab yang jelas, dan secara sewenang-wenang (melanggar hukum) melakukan pembunuhan terhadap warga. Ritual perang dilaksanakan melalui musyawarah luar biasa, yang dipimpin oleh seorang temenggung binua, setelah keputusan untuk mengeluarkan “bokor calah” atau mangkuk merah timanggong binua sebagai tanda perang, barulah dilaksanakan ritual perang.

Terdiri atas tiga tahapan, yakni; ritual mato’ basaru sumangat, ritual mato’ nyaru’ tariu dan ritual mulangkatn tariu dan basaru sumangat.
5.1 Ritual mato’ basaru’ sumangat pangalamah basi adalah ritual doa memanggil sumangat dan doa melemahkan besi, diadakan pada waktu sore hari untuk mohon perlindungan dari musuh, juga untuk persiapan perang bila tidak dapat dihindari.
5.2 Ritual mato’ nyaru’ tariu adalah ritual doa yang diadakan untuk memanggil roh perang, dilakukan pada waktu pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, tujuannya memanggil roh perang untuk berangkat menyerang musuh.
5.3 Ritual mulangkatn tariu dan basaru’ sumangat adalah ritual doa yang diadakan untuk mengembalikan roh perang dan memanggil semangat pulang, dilakukan bila perang sudah berakhir dengan pembayaran adat pati’ nyawa dari pihak musuh.
Dengan demikian, dalam konsep dasar agama suku Dayak Kanayatn, Jubata adalah “yang maha kuasa” karena sifat-sifat kemahakuasaannya, antara lain; Jubata sebagai “yang tertinggi”, yang menentukan segalanya dan berada di latar belakang kehidupan semesta, . Jubata adalah esa atau “nange”. Kepercayaan seperti ini digolongkan Robert Brow sebagai kepercayaan monoteisme asali, bentuk agama mula-mula yang dikenal manusia sebelum merosot menjadi politeisme, gejala ini terdapat dalam agama-agama primitif berbagai bangsa di seluruh belahan dunia. Tetapi penyataan yang mereka terima tentang allah telah dicemari dengan kefasikan, (Roma 1:18) sehingga pada hakekatnya mereka tidak mengenal Allah yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun