Mohon tunggu...
ALIPIUS SADANIANG
ALIPIUS SADANIANG Mohon Tunggu... -

Adil Ka' Talino Ba Curamin Ka' Saruga Ba Sengat Ka' Jubata. Idup diri' nian ina baya ina diri nyujukng nyambah Jubata nang pamanya koa ina bakasatukatn.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Prinsip-prinsip Dasar Agama Suku Dayak Kanayatn

7 Maret 2012   09:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

b. Masyarakat Suku
Masyarakat suku sebagai subjek pemuja, baik sebagai individu, warga kampung maupun warga binua, di kampung-kampung yang berada di luar jalan raya setiap warga diwajibkan ikut dalam kegiatan agama suku, baik secara individu maupun dalam kegiatan kampung dan binua, siapa yang melanggar dikenakan sanksi adat. Namun di desa-desa Kristen di tepi jalan raya, ritual-ritual agama suku yang mencakup kampung dan binua, tidak lagi dijalankan, sejak tahun 1967, namun secara individu dan keluarga masih banyak yang melakukan sinkritisme.

3. Ritual-Ritual
Ritual berasal dari kata “ritus”, artinya adalah tindakan agama yang dinyatakan dalam perbuatan. Arti lainnya ; suatu sistim upacara dan prosedur magis religius dengan bentuk khusus, kata-kata khusus atau suatu kosa kata khusus (dan rahasia) dan biasanya dihubungkan dengan tindakan-tindakan atau kesempatan-kesempatan penting.” Ritual dalam agama suku Dayak Kanayatn disebut “ngadati’” atau “upacara adat” bersangkut paut dengan tindakan melakukan “sangahatn” (doa), disertai persembahan sesuai dengan maksud dan tujuan ritual itu diadakan. Pada bagian ini akan dibahas beberapa dasar pokok diadakannya ritual, yakni; unsur-unsur ritual, tempat ritual, simbol ritual, dan jenis ritual.
a. Unsur-unsur Ritual
Unsur-unsur ritual adalah ketentuan pokok yang menjadi dasar pengadaan suatu ritual, telah ditetapkan sejak awal, yang mempunyai makna religius. Unsur-unsur itu antara lain; sangahatn (doa) dan palantar (persembahan). Setiap ritual mempunyai sangahatn sendiri-sendiri, syarat sendiri disertai simbol ritual.
1) Sangahatn
Sangahatn adalah wujud ritual Dayak Kanayatn. Kata sangahatn berasal dari kata “sangah” yang artinya; sampaikan, hentarkan, atau haturkan. Menunjuk pada pengucapan doa, permohonan atau ucapan syukur, dan sikap penyembahan kepada Jubata, dan pama dan meminta roh-roh untuk berbuat menuruti permintaan manusia .
Pada hakekatnya kata nyangahatn setara artinya dalam bahasa Indonesia dengan “ritual” atau ritus. Pada agama suku Dayak kanayatn ngacu pada peringatan terhadap peristiwa zaman dahulu yang bersangkut paut dengan sejarah suku, ataupun peristiwa-peristiwa penting yang bersangkut paut dengan asal mula sesuatu, yang menyangkut kehidupan masyarakat secara individu, keluarga maupun kelompok masyarakat kampung dan binua.
Sangahatn bukan formulasi kata-kata yang sudah baku, pengucapan sangahatn masing-masing imam berbeda-beda, sesuai kemampuan penyampaian kosa katanya, ucapan kata-katanya ada yang sama sebagian berbeda. Ada pola-pola tertentu yang yang menjadi patokan dalam sangahatn, antara lain : pembukaan, memuja dan mengundang Jubata dan pama Jubata, menyebutkan tokoh masa lampau (sesuai bidangnya), memunja dan mengundang pama tokoh lampau, menyampaikan maksud dan tujuan atau permohonan, meminta setan balis atau mahluk perusak untuk tidak mengganggu, dan penutup. Tata cara sangahatn untuk mohon berkat bagi tanaman padi, oleh Musin :
(naburatn baras kuning 7 bege’ ka’ udara untu’ Jubata, nyalanan bujakng pabaras, moyang pabawar nang bajalatn jajakng pantas), …asa, dua, talu ampat, lima, anam tujuh, kami bapadah ka’ kita’ Jubata, pama mata ari timul, pama mata ari mati , bulatn bintakng, samula idup samula jadi, tanah langit lubuk ranto, kayu aya’ kayu enek, bahwa Sari’i, nang muat buis bantatn, rangkakng manok, pinang, karakek, adat nang nali namputn ne’ unte’ Kalimantatn, ne’ Bacina, tanyukng bunga, ne’ Sali ne’ Sabaka, raja pama mutar ai’ mutar nagari. Sari’i, nang muat adat untu’ ngadati’ uma, supaya umanya edo’ minta babatakng lanso, badaukng libar, nangkoalah adat nang ia pamuat, babatak ka’ kita’ Jubata. Asa’ , dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh. (air diisi di mangkuk untuk mencuci telapak kaki Jubata). Au’ kita’ sagala laok, limpango tikus, keto pahiap, pasansa, kang-kangkok; burukng jawa, bungkikik, burukng matan, au’ nang batimang siakng ari malaman, ame ngede’, kami, kami minta’ supaya padinya babuah nang calikng nang gagas, tarigutn. Jin butha, jumbalang tanah ame ngaco pakarajaatn kami. O…kita’ Jubata, kami bapadah ngangkata buis bantatn, asa, dua, talu ampat lima, anam tujuh, kura’ sumangat padi. Artinya; (menaburkan beras kuning ke udara, untuk Jubata, menjalankan tokoh pabaras/berkat, yang berjalan mantap pantas), satu, dua tiga, empat, lima, enam, tujuh, kami menyampaikan kepada Jubata, berkat matahari timbul, berkat matahari terbenam, bulan, bintang, semula hidup semula jadi, bumi langit, segala lubuk, kayu besar, kayu kecil. Bahwa Sari’i, yang membuat “buis bantatn” seekor ayam, pinang, sirih, adat yang diteruskan menyambung Ne’ orang hutan, Kalimantan, Ne’ Bacina, tanjung bunga, ne’ Sali, ne’ Sabaka, raja berkat seluruh air seluruh negri. Sari’i, yang membuat adat untuk mengadati ladang, supaya ladangnya bagus, berbatang besar, berdaun lebar, itulah adat yang dia buat, melapor kepada engkau Jubata. Satu, dua, tiga ampat, lima. anam, tujuh, (mengisi air di mangkuk, artinya mencuci kaki Jubata), Jadi kalian segala binatang hama, walang sangit, tikus, prenjek, pahiap, kang-kangkok, burung jawa, burung matan, yang menimang siang malam, jangan mengejek kami, kami minta supaya padinya berbulir padat, yang bagus, yang mantap. Jin, butha, jumbalang tanah jangan mengganggu pekerjaan kami. O jubata kami menyampaikan akan mengakhiri buis bantatn, satu, dua, tiga, empat lima, enam tujuh, kura’ semangat padi.

2) Palantar
Palantar berasal dari kata “antar” artinya; mengiringi, bersama-sama, mendampingi, atau dibawa. Palantar dalam tradisi Dayak Kanayatn memiliki pengertian yang lebih khusus, untuk menunjukan segenap perlengkapan atau syarat ritual pada waktu ritual diadakan. Palantar adalah persembahan yang disampaikan bersamaan dengan sangahatn (ritual) yang dipimpin imam, terdiri atas dua macam yakni palantar mentah dan palantar masak.
Pertama, palantar mentah, adalah segenap persembahan yang terdiri atas bahan-bahan dalam keadaan mentah, contohnya; beras banyu 7 butir, (untuk Jubata) telor, (simbol tuan rumah) buah pinang, kapur, sirih, tembakau, rokok daun nipah (persembahan untuk pama) darah ayam, (persembahan untuk roh jahat), beras pulut, beras sunguh/beras biasa, (untuk imam) uang logam/uang kertas (untuk imam), jarum/besi (tanda kuatnya kepercayaan). Kedua, palantar masak, adalah segenap persembahan yang disajikan setelah dimasak, yakni; isi jeroan ayam (hati, tembolok, jantung), seekor ayam atau lebih yang direbus, pulut yang dimasak dalam bambu tujuh roas (batang), tumpi’/cucur 7 sapikng’ (keping) dipersembahkan kepada Jubata. Palantar mentah dan masak ditaruh pada sebuah pahar (semacam talam yang berkaki) dan niru, disajikan bersamaan ketika suatu upacara ritual diadakan.

b. Tempat Ritual
Tempat ritual adalah tempat khusus yang dibuat untuk mengadakan ritual sebagai pusat kegiatan ritual masyarakat kampung dan binua, yakni tempat penyembahan kepada Jubata yang disebut kadiaman, artinya; tempat tinggal, tempat bersemayam, tempat berdiam atau tempat berhenti. Menunjuk pada tempat hadirnya Jubata, berjumpa dengan Jubata, atau tempat sembahyang. Menurut Herculanus Bahari beberapa upacara ritual yang dilakukan di kadiaman adalah ; nabo’ padagi, nabo’ pantulak, nabo’ panyugu, nabo’ sanukng. Lokasi kadiaman berukuran 15 X 20 meter persegi, atau sesuai dengan keperluan, dibangun di puncak bukit atau di lereng gunung. Tiap kampung dan binua memiliki kadiaman masing-masing, dalam tiap ritual nama-nama tempat dan Jubata disebutkan.

c. Simbol Ritual
Simbol-simbol ritual adalah sarana ritual yang dipakai sebagai lambang khusus berkaitan dengan hubungan manusia dengan yang dipujanya. Paling tidak ada empat simbol penting yang menjadi ciri khas agama suku Dayak Kanayatn, yakni: papangoan atau altar, pabayo, ancak , dan pantak (patung).
1) Papangoan atau Altar
Altar disebut “papangoan” dari kata “pango” artinya; kayu yang disusun rata. Sedangkan kata “papangoan” biasa juga disebut “paburungan” menunjuk pada susunan kayu yang digunakan untuk menaruh persembahan kepada Jubata, artinya adalah ”peringatan”. Dibangun untuk memperingati (dan mengulang) peristiwa-peristiwa zaman dahulu dalam hubungan manusia dengan Jubata, dibuat dari kayu besi, berdiameter sekitar 2 X 2 meter persegi, setinggi 60-75 cm dari permukaan tanah, ditempatkan di setiap kadiaman. Secara khusus papangoan juga menunjuk kehadiran Jubata, karena Jubata tidak dapat dilambangkan dengan apapun, di atas papangoan tersebut tidak ada lambang-lambang yang melambangkan bentuk atau natur Jubata.
2) Pabayo
Pabayo adalah lambang khusus agama suku Dayak Kanayatn sebagai simbol penyembahan terhadap Jubata. Pertanda sedang diadakannya ritual agama suku, dibuat setiap kali ritual diadakan. Terbuat dari seruas bambu sepanjang 1½ meter, terdiri atas seruas bambu yang dibelah tujuh, bagian atasnya membuka dan dianyam memakai kulit bambu, ujungnya berjumbai jumbai. Simbol ini dibuat setiap kali upacara ritual diadakan, pabayo ditancapkan di tanah, di tiap tempat pelaksanaan ritual.
3) Ancak
Ancak adalah tempat yang dibuat khusus untuk memberikan makanan kepada roh-roh, digunakan untuk menempatkan palantar masak. Terbuat dari pelepah dan daun kelapa, yang dibentuk persegi empat, kemudian tulang daun kelapa tersebut di buang, selanjutnya daun kelapa yang tidak bertulang itu dipisah dua, sebagian diikat menjadi satu utnuk menggatungkan ancak tersebut dan sebagiannya dibiarkan berjumbai ke bawah.
4) Pantak
Pantak adalah patung kayu. Kata ‘pantak’ berasal dari kata “palantak” artinya; dipahatkan, dipakai untuk menunjukkan gambaran orang yang sudah meninggal, didasari kepercayaan kepada pama orang yang sudah meninggal dapat dipertahankan ke dalam patung. Pembuatan pantak Sanukng (sandung), tidak diketahui kapan pertama kalinya, tetapi pantak-pantak kampung dan binua, yakni pantak padagi, pantak pantulak, dan pantak pangayom, diperkirakan zaman peralihan kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam, misalnya pantak Patih Senen di Banyuke, dibuat kira-kira tahun 1550 M (+ 16 generasi) dan pantak Ne’ Panyakng/Ne’ Nabi di Saham-Pahauman, + 1700 M, ( + 11 generasi).
Pertama, pantak Sanukng, adalah kuburan keluarga, dibuat oleh keluarga disebut juga pantak keluarga. Tujuannya untuk menjalin komunikasi dengan pama atau awa pama orang tua yang sudah meninggal. Kedua, pantak padagi dan pantak pantulak. Pantak padagi adalah pantak yang dibuat untuk tokoh yang telah berhasil menyelamatkan penduduk dalam peperangan yakni tokoh perang atau pangalima-pangalangok, dibuat di padagi. Pantak Pantulak adalah pantak tokoh yang berjasa pada masyarakat di bidang perobatan, dibuat di pantulak. Bagi tokoh yang memiliki kedua kemampuan tersebut dibuatkan pantak padagi atau pantak pantulak. Ketiga, Pantak Pengayom, adalah pantak tokoh yang telah berhasil memimpin dan membina masyarakat di bidang pertanian, tokoh ini disebut “tuha tahutn”, pantaknya dibuat di panyugu.
d. Jenis Ritual
Jenis-jenis ritual adalah berbagai macam ritual dalam agama suku dan kegunaannya masing-masing, setiap ritual mempunyai maksud dan tujuan yang berlain-lainan karena diadakan sesuai dengan keperluan. Dilihat dari fungsinya, ritual terbagi atas lima jenis, yakni; pertama, ritual dalam tata cara adat, kedua, ritual pertanian, dan ketiga, ritual dalam kampung dan binua, keempat, ritual khusus, kelima, ritual perang.
1) Ritual Dalam Tatacara Adat.
Ritual dalam tatacara adat ialah ritual yang diadakan untuk mendoakan manusia dari sejak dalam kandungan sampai kematian, yaitu:
1.1 Ritual dalam tatacara adat kelahiran
1.2 Ritual dalam tatacara adat sunat
1.3 Ritual dalam tata cara adat perkawinan
1.4 Ritual dalam tatacara adat kematian
2) Ritual Pertanian
Ritual pertanian ialah rangkaian ritual yang diadakan untuk kepentingan pertanian dari permulaan pertanian sampai selesai panen, diakhiri pesta panen,
antara lain :
2.1 Ritual nabo’ uma ialah mendoakan pengerjaan ladang.
2.2 Ritual ngamalo, adalah mohon berkat atas pertumbuhan padi.
2.3 Ritual ngarapo, adalah doa mohon perlindungan terhadap penyakit padi.
2.4 Ritual ngaladakng buntikng padi, adalah doa mohon berkat atas padi yang bunting.
2.5 Ritual mule bahanyi, adalah doa untuk memulai panen.
2.6 Ritual naik dango, artinya naik ke pondok, ritual ini bermaksud memanggil agar semua sumangat (kekuatan hidup) padi naik ke pondok, menutup segala rangkaian kegiatan perladangan, setelah ritual ini diadakan segala pekerjaan di ladang dihentikan. Disusul dengan pesta syukuran dan perayaan panen yang disebut ‘baroah”, yakni, syukuran atas berhasilnya panen.
3) Ritual Kampung dan Binua
Ritual yang diadakan untuk kepentingan masyarakat kampung dan binua, terutama untuk keselamatan kampung dan binua, diadakan setahun sekali.
3.1 Ritual ngiliratn baho kampokng adalah ritual yang diadakan untuk membuang penyakit dan dosa kampung, diadakan setahun sekali, untuk meminta ampun atas dosa dan meminta agar roh-roh jahat pergi membawa penyakit atau hama padi pergi dari kampung.
3.2 Ritual ka’ bansa adalah ritual yang diadakan di kadiaman atau tempat pemujaan, diadakan setahun sekali, di padagi dan pantulak, biasa dinamakan nabo’ padagi atau nabo’ pantulak, nabo’ panyugu dan nabo’ sanukng.
3.3 Ritual muang parahu antu, ritual untuk memohon keselamatan hidup seluruh
masyarakat kampung agar terhindar wabah penyakit dan kematian melanda kampung. Diadakan setahun sekali selesai musim buah atau sewaktu ada serangan sejenis penyakit mematikan yang melanda kampung.
3.4 Ritual ngiliratn baho binua adalah ritual yang diadakan untuk membuang penyakit padi binua, diadakan sewaktu terjadi kegagalan panen selama 3 sampai 5 tahun berturut-turut di binua tersebut.

4) Ritual Khusus
Ritual khusus adalah ritual yang dilakukan sewaktu-waktu untuk kepentingan tertentu, saat tertentu, yaitu :
4.1 Ritual ka’ ayaman ritual yang diadakan untuk pemeliharaan ternak, agar ternak
ayam dan babi menjadi raya atau banyak dan sehat.
4.2 Ritual ka’ palaya’ adalah ritual yang diadakan ke tempat mencari nafkah, misalnya; di tembawang atau kebun buah-buahan, hutan tempat mencari rotan, kayu, damar, hutan bekas tempat berladang, hutan tempat berburu, sungai tempat memancing dan sebagainya. Diadakan bila hasil di tempat-tempat tersebut akan dimanfaatkan.
4.3 Ritual hukum adat adalah ritual yang diadakan untuk kasus-kasus pelanggaran adat.
4.4 Ritual baliatn, adalah ritual yang diadakan untuk syukuran, membayar niat, atau berobat, asli Dayak Kanayatn, ritual paling agung zaman dahulu.
4.5 Ritual balenggang adalah ritual ini diadakan untuk perobatan, dari suku Melayu.

5) Ritual Perang
Ritual perang bersangkut paut dengan pelanggaaran adat pati nyawa, karena adanya warga masyarakat terbunuh, dan si pembunuh, dan ahli waris atau kampungnya tidak mau bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.
Bila terjadi penyerangan, terhadap pribadi, keluarga, kampung atau binua, oleh pihak tertentu tanpa sebab musabab yang jelas, dan secara sewenang-wenang (melanggar hukum) melakukan pembunuhan terhadap warga. Ritual perang dilaksanakan melalui musyawarah luar biasa, yang dipimpin oleh seorang temenggung binua, setelah keputusan untuk mengeluarkan “bokor calah” atau mangkuk merah timanggong binua sebagai tanda perang, barulah dilaksanakan ritual perang.

Terdiri atas tiga tahapan, yakni; ritual mato’ basaru sumangat, ritual mato’ nyaru’ tariu dan ritual mulangkatn tariu dan basaru sumangat.
5.1 Ritual mato’ basaru’ sumangat pangalamah basi adalah ritual doa memanggil sumangat dan doa melemahkan besi, diadakan pada waktu sore hari untuk mohon perlindungan dari musuh, juga untuk persiapan perang bila tidak dapat dihindari.
5.2 Ritual mato’ nyaru’ tariu adalah ritual doa yang diadakan untuk memanggil roh perang, dilakukan pada waktu pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, tujuannya memanggil roh perang untuk berangkat menyerang musuh.
5.3 Ritual mulangkatn tariu dan basaru’ sumangat adalah ritual doa yang diadakan untuk mengembalikan roh perang dan memanggil semangat pulang, dilakukan bila perang sudah berakhir dengan pembayaran adat pati’ nyawa dari pihak musuh.
Dengan demikian, dalam konsep dasar agama suku Dayak Kanayatn, Jubata adalah “yang maha kuasa” karena sifat-sifat kemahakuasaannya, antara lain; Jubata sebagai “yang tertinggi”, yang menentukan segalanya dan berada di latar belakang kehidupan semesta, . Jubata adalah esa atau “nange”. Kepercayaan seperti ini digolongkan Robert Brow sebagai kepercayaan monoteisme asali, bentuk agama mula-mula yang dikenal manusia sebelum merosot menjadi politeisme, gejala ini terdapat dalam agama-agama primitif berbagai bangsa di seluruh belahan dunia. Tetapi penyataan yang mereka terima tentang allah telah dicemari dengan kefasikan, (Roma 1:18) sehingga pada hakekatnya mereka tidak mengenal Allah yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun