b. Subayatn
Subayatn adalah tempat sumangat orang-orang yang sudah meninggal. Keadaan di subayatn digambarkan kacau balau, serba tidak teratur dan kotor, penuh dengan tahi ayam, tahi babi, tahi anjing dan tahi binatang-binatang lain, karena itu ketika berjalan ke tempat tersebut sumangat menggunakan ibu jari kaki untuk berjinjit, menghindarkan kotoran binatang. Bagi sumangat tempat tersebut tidak dapat dihindari, kejahatan seseorang ditanggung sumangatnya di subayatn.. Setiap sumangat orang mati harus pergi ke sana, untuk mengalami penderitaan dan segala macam kesusahan, seperti hidup miskin, berkelahi, mabuk-mabukan, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, misalnya; berjudi, sabung ayam dan lain-lain. Perjalanan sumangat orang meninggal menuju Subayatn melalui rintangan-rintangan, dijelaskan oleh Pak Abun, rintangan yang dilalui oleh sumangat adalah;
pintu tungal (pintu tunggal), pintu bargeser (pintu bergeser), pintu bakapet (pintu berjepit), pintu badangkop (pintu yang menganga seperti mulut buaya) , pintu baputar (pintu berputar), titi batu timul barasap (jembatan batu timbul berasap), bola api sebesar kelapa muda terbang menyilang berulang–ulang ke kiri dan ke kanan, dan tiba di perkampungan sumangat orang mati yang disebut subayatn.
c. Kuburan
Alam kuburan adalah tempat tubuh disemayamkan, yakni; kuburan, patunuan dan sandung, (Kanayatn: sanukng) termasuk tempat tubuh orang yang tidak dikubur, adalah alam kematian yang ditempati oleh ayu orang meninggal. Ayu mendampingi tubuh orang mati dan menjadi pidara (almarhum) orang mati itu kadang-kadang berwujud hantu orang mati itu, karena itu kuburan dianggap tempat tinggal para hantu orang mati.
d. Alam Gaib
Alam gaib adalah alam rohaniah yang tidak kelihatan atau kasat mata yang berada di sekitar manusia. Empat bagian roh manusia yang meninggal, yakni; bohol, sukat, nenet sanjadi dan leo bangkule menempati alam gaib. Keempatnya menjadi kekuatan-kekuatan yang menolong dukun perobatan dalam menyembuhkan orang sakit. Dalam doa perobatan disebutkan:
“kami minta ka’ kita’ Jubata ne’ Panampak supaya kamuda’ nian dikita’ tampak agi’ man bohol nang edo’ lea bohol (si anu’) nang batubuh tarigas, babatis lansok…” artinya; kami memohon kepada engkau Jubata Pencipta, supaya anak ini engkau ciptakan lagi dengan bohol yang bagus seperti bohol (nama orang yang sudah meninggal), yang bertubuh gagah, berbetis kuat.
B. Pemujaan
Pemujaan dalam agama suku adalah segala sikap penghormatan manusia kepada “yang di atas” yakni Jubata dan kepada kekuatan-kekuatan rohani tertentu dan kepada mahluk-mahluk rohani yang baik dan jahat, antara lain: objek pemujaan, subjek pemujaan dan syarat pemujaan dan ritual-ritual dalam pemujaan.
1. Objek Pemujaan
Yang dimaksud dengan objek pemujaan adalah sasaran pemujaan manusia dalam ritual-ritual. Objek tersebut dipuja karena kepadanya manusia bersandar, dan juga karena manusia memerlukan objek-objek tersebut untuk berbagai macam kepentingan hidupnya. Ada tiga objek yang dipuja yakni: Jubata, pama dan roh-roh yang berjumlah banyak, roh-roh yang berjumlah banyak ini memiliki sifat baik dan jahat.
a. Jubata
Jubata mungkin berkaitan dengan istilah dewata. Nama Jubata bukanlah nama pribadi, tetapi sebutan untuk jenis mahluk yang dibedakan dari manusia, hewan, tumbuhan, roh-roh yang berjumlah banyak, atau hantu-hantu. Mengenai perbedaan yang mencolok ini, secara jelas Jubata memikili sifat dewa, atau tuhan, misalnya pencipta (Jubata Ne’ Panampa’) dan memerintah alam semesta (Jubata Ne’ Panitah), telah dibahas dalam bab terdahulu. Sedangkan mahluk-mahluk lainnya tidak memiliki sifat yang sama dengan Jubata, mahluk lain dan ciptaan di perintah Jubata. Ia memiliki kuasa yang tidak terbatas “supreme being” sebagai pribadi yang bersemayam di atas atau di langit, tempat kediamannya disebut subayangan. Jumlah Jubata hanya satu ditegaskan dengan “Jubata Ne’ Nange” (Jubata Yang Esa), namun ia memiliki tujuh sifat untuk mengatur manusia dan mahluk-mahluk di alam semesta ini. Jubata dianggap “maha hadir”, dia hadir di bulan, (Jubata Bulatn) di bintang (Jubata bintakng), di matahari (Jubata mata’ari), di gunung (Jubata Loncek), di lembah (Jubata Panyugu), Di seluruh sungai dan seluruh air (Jubata putar ai’; seluruh air ), di seluruh bumi (Jubata Putar tanah; seluruh bumi) .
Imam kadangkala memberikan nama Jubata dalam beberapa kasus, misalnya Jubata Ne’ Jaek, dan nama-nama lainnya, tetapi sangat jarang ditemukan, menunjukkan kemerosotan menjadi politeisme. Adapula penulis yang menulis Jubata dengan kata depan Ne’, menjadi Nek Jubata, tetapi tidak lazim didapati pada ritual-ritual agama suku, kata Ne’ tidak pernah disebutkan di depan nama Jubata. Jubata dipersonifikasikan, misalnya: dalam kasus seseorang yang sedang kehausan pada situasi sulit mendapat air, lalu tiba-tiba ada yang menolong memberikan air, orang yang menolong itu bisa di sebut Jubata.
Untuk berbicara kepada manusia Jubata memberikan “ilamat” atau “rasi” artinya; ‘pertanda’, yang diberikan langsung kepada masyarakat atau imam, yakni: pertanda baik dan buruk, setuju atau tidak setuju, bencana atau rejeki, keuntungan atau kerugian. Pertanda itu diberikan kepada lewat mimpi, bisikan ilahi, penglihatan, tanda-tanda alam, seperti suara burung, misalnya; burung keto/buria’ (prenjek), kangkangkok, boak (burung hantu), ular melintas melintang jalan, elang, kulang kulit (burung hantu jenis besar), dahan jatuh, batang tumbang dan tanda-tanda alam lainnya yang dapat ditafsirkan imam.
Walaupun Jubata berbicara dengan berbagai sarana ia tidak digambarkan dalam bentuk atau objek apapun, dikatakan oleh Pak Abun:
“ia nana’ ba tubuh lea diri’, nana’ babantuk, nana’ bisa pula’ digambaratn lea ahe Jubata koa, kade’ di pamuat babantuk ahe gali’ ia bera, nae diri’ sungkak,” artinya; ia tidak bertubuh seperti kita, ia tidak berbentuk, tidak bisa pula digambarkan seperti apa pula Jubata itu, kalau dibuat bentuk seperti apa, takut ia marah, nanti kita ditimpa sesuatu yang buruk.
Sebagai sarana penghubung antara manusia dengan Jubata adalah “baras banyu” yang disebut “bujakng pabaras nang bajalatn jajakng pantas”. Beras banyu berwarna kuning berjumlah “tujuh butir,” artinya ; sempurna atau lengkap. Melambangkan tujuh sifat Jubata, yakni, Ne’ Nange (Yang Esa), Ne’ Panampa’ (mencipta), Ne’ Panitah (berfirman ) yang memerintah alam semesta, Ne’ Pangingu (Yang Melindungi/ Menjaga), Ne’ Pangorok (yang Mengasuh), Ne’ Pangedokng (yang Mengawasi/Menghakimi), dan Ne’ Pajaji/Ne’ Pangampu’ (penguasa alam semesta).
Ketujuh butir beras banyu menjadi alat perantara kehadiran Jubata dalam hubungannya dengan manusia.
zaman dahulu orang sungguh-sungguh konsisten menerapkan agama suku sebelum melakukan segala sesuatu terlebih dahulu akan “ngalantekkatn” (menaburkan) beras banyu, sebagai permohonan kepada Jubata untuk menyertai dalam segala yang dilakukan, misalnya; sebelum makan, sebelum tidur, sebelum melangkah keluar dari rumah, sebelum bekerja dan lain-lain.
b. Pama
Kata “pama” mungkin berasal dari bahasa Sanskrit, “umpama”, berarti; gambaran (P. Yeremias;1997: 10), tetapi tidak jelas hubungan bahasa sangskrit dengan pangertian pama dalam agama suku Dayak Kanayatn. Dalam konteks ritual suku Dayak Kanayatn, kata ini dipakai untuk mengartikan: kuasa, keramat atau daulat. Suatu kekuatan yang dianggap membawa keuntungan.
Pama dimiliki oleh Jubata disebut “pama Jubata” artinya ; kuasa Jubata, karena Jubata adalah sumber kuasa, semua pama berasal dari Jubata. Pama terdapat pula pada orang-orang khusus yang telah meninggal dianggap pahlawan karena kemampuan khusus di bidang keamanan, perobatan dan pertanian. Mirip denmgan konsep “mana” dalam kebatinan Jawa (kejawen). Pertama, tokoh perang yang disebut pangalangok atau pangalima, kedua, pamaliatn atau dukun perobatan dan ketiga, tuha tahun atau pemimpin pertanian. Untuk mempertahankan pamanya, tokoh-tokoh tersebut dibuatkan pantak (patung) , mulai berkembang kira-kira tahun 1550-1700 M, merupakan momentum dimulainya kepercayaan suku Dayak Kanayatn kepada pama manusia. Sebagai sarana pemujaan kepada pama para pahlawan ini adalah ; pinang, sirih, kapur, tembakau dan rokok daun, tanda penghargaan atas orang yang telah tua.
c Roh Yang Berjumlah Banyak
Roh-roh adalah mahluk rohani yang diyakini tinggal pada alam rohaniah yang berjumlah banyak, terdiri atas roh-roh yang menjadi penguasa tempat-tempat tertentu dan hantu-hantu atau pidara (ayu orang yang sudah meninggal).
Mempunyai nama dan tempat masing-masing, dipercayai ada di sekitar manusia, pada kayu (pohon), sungai, saka (simpang jalan), tempat roh tersebut tinggal, roh-roh itu memiliki sifat baik dan jahat. Roh-roh jahat ditakuti karena dapat menyebabkan kesengsaraan dan penyakit, roh-roh baik dihormati karena dapat menjadi sahabat bagi manusia, sewaktu-waktu bantuannya dapat dimanfaatkan. Persembahan yang diberikan disebut kobet, terdiri atas darah mentah, daging ayam yang diiris-iris beserta jeroannya (kecuali perut) dibungkus memakai daun layang, supaya tidak mengganggu.
Nama-nama roh yang sifatnya baik adalah, pertama, Kamang Tariu, dan Kamang yang berjumlah 7, yang tinggal di gunung-gunung tertentu, merupakan roh perang, yaitu; roh yang menjadi menolong suku Dayak Kanayatn dalam perang, antara lain; Bujakng Nyangko (dari Samabue), Bujakng Parabas, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layoh, Kamang Bunsu (dari santulangan).
Kedua, Bunyian. Dianggap roh yang tinggal di alam gaib sekitar tempat tinggal manusia, misalnya di batu yang keramat, di tembawang atau tempat tertentu yang diyakini tempat tinggal Bunyian, sering membantu manusia dalam perobatan bahkan dipercayai dapat kawin dengan manusia. Ketiga, Butha, adalah roh yang tinggal di goa-goa, disebut sebagai ampu’ tanah (pemilik tanah), yakni roh-roh yang dianggap sebagai penguasa tanah, untuk menggunakan tanah harus permisi kepada butha dan memberinya persembahan.
Nama-nama roh jahat adalah sebagai berikut;
pertama, Pujut, artinya mencekik. Roh tingkat rendah yang tinggal di kayu ara, atau beringin. Kedua, Antayapm, juga tinggal di kayu ara (beringin) dapat membuat orang jadi gila. Ketiga, Mawikng, tinggal di hutan, terutama ditempat yang lapang, tidak ditumbuhi pohon-pohon atau semak-semak. Keempat, Bintianak atau kuntilanak. Dianggap sebagai hantu wanita yang mati waktu melahirkan, mempunyai lobang besar di punggung yang ditutup dengan rambutnya yang panjang. Kelima, hantu-hantu yang jumlahnya banyak, menjadi perusak hidup manusia, antara lain : hantu Cacar, penyebab penyakit cacar, tinggal di gunung Roban (Singkawang), hantu Apat, menyebabkan kekurangan padi dan kelaparan. Antu Halus, menyebabkan penyakit padi dan antu Serah, mendatangkan tikus memakan padi. Antu Garagahasi, berbunyi seperti kayu yang patah. Antu Panyakng (hantu panjang), tingginya melampauwi pohon-pohon dan lain-lain.
2. Subjek Pemujaan
Subjek atau pelaku pemujaan adalah panyangahatn (imam) dan masyarakat adat, Imam menjadi mediator antara masyarakat dengan yang dipuja.
a. Panyangahatn
Panyangahatn adalah imam, pemimpin upacara adat atau ritual. Pada zaman dahulu seorang imam adalah seorang pemimpin yang dituakan dalam kelompok masyarakat. Kemudian ketika kehidupan masyarakat semakin berkembang, panyangahatn dikategorikan sebagai tokoh berpengaruh yang merangkap kepala adat, misalnya; patih, mangku, temenggung, singa, pamaliatn, atau tuha tahutn (tokoh pertanian), yakni orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan dan keistimewaan dalam hubungan dengan “yang di atas”.
Pamaliatn digariskan secara turun-temurun, pamaliatn juga adalah panyangahatn yang utama, karena seluruh tatanan konsep dasar agama suku harus diketahui seorang pamaliatn, sebaliknya panyangahatn tidak harus dapat menjadi pamaliatn. Jadi pada prinsipnya pamaliatn adalah guru panyangahatn.
Kemudian ada pemisahan antara golongan pamaliatan, imam, pemimpin. Pamaliatn kemudian mengurusi orang-orang sakit saja, kecuali tidak ada panyangahatn, pamaliatn dapat berfungsi ganda sebagai panyangahatn. Panyangahatn (imam) kemudian hanya mengurusi upacara-upacara adat (ritual) saja, diturunkan dari generasi ke generasi melalui garis keturunan, dari keturunan imam yang dianggap memenuhi syarat. Tetapi beberapa dekade berikutnya ditetapkan bukan berdasarkan keturunan, tetapi menurut kritria-kriteria tertentu yang melekat pada imam. Menurut Ja’iya, syarat-syarat seorang imam yang terpenting ialah; menjadi anak samang (pendamping) imam aya’ (imam besar) dalam nyangahatn (berdoa), tahu pola dan cara nyangahatn, tahu syarat-syarat melakukan sangahatn, tahu mitos-mitos (cerita suci) agama suku, memiliki pengalaman-pengalaman supranatural, dan lain-lain.