Mohon tunggu...
Gita Lovusa
Gita Lovusa Mohon Tunggu... Freelancer - penyemarak di serusetiapsaat.com

Penyuka kebaikan, penyuka senyuman, penyuka bacaan, penyuka tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sesederhana Re-framing

28 Juni 2018   16:11 Diperbarui: 28 Juni 2018   16:36 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal tahu istilah reframing dari kelas Enlightening Parenting. Di sana kami diminta untuk menuliskan apa saja label yang pernah diberikan ke anak, lalu diberikan reframing. Apa sih reframing itu? Reframing adalah metode yang membantu seseorang melihat sebuah keadaan dengan cara berbeda sehingga bisa menghasilkan respon terbaik. Reframing merupakan teknik membingkai ulang suatu peristiwa dengan sudut pandang yang lebih positif. Teknik ini bermain di area persepsi seseorang untuk mengubah emosi dan perilaku negatif.

Setelah mengikuti kelas, saya dihadapkan pada kenyataan mengenai salah satu pertanyaan yang kerap muncul: kok anaknya baru satu, Mbak? Nggak mau nambah kah? Udah periksa ke dokter? Anaknya udah besar, tuh. Udah 10 tahun. Kasian sendirian nggak ada adik. Nanti jaraknya terlalu jauh, lho. Dan lain sebagainya.

Reaksi saya menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini dulu beragam. Ada yang mudah saya senyumi (setelah menghela napas tentu saja ^^), ada yang saya terangkan dengan lebih detil (asalkan situasi kondisi memungkinkan), ada yang saya tanggapi dengan santai, dan ada pula yang bikin saya menangis. Suatu saat, seseorang bertanya dengan sangat detil, saya ketawa-ketawa saja, meski dia sampai meminta saya untuk ikut program bayi tabung.

Keesokan harinya, orang itu tiba-tiba komen di salah satu postingan saya, kembali meminta saya tuk ke dokter. Padahal postingan saya sama sekali nggak terkait dengan kehamilan ataupun soal adik, lho. Setelah baca komentarnya, saya menitikkan airmata. Berpikir orang itu jahat banget sampai terus-terusan komentar soal itu. 

Saya berusaha berpikir positif, tapi masih belum pol. Saya pun bertanya ke Mbak Iwed, "Mbak, kemarin-kemarin saya bisa santai menghadapi pertanyaan macam itu, kok sekarang saya nangis ya? Rasanya kesel dan sedih banget."

"Jika masih ada rasa kesal atau sedih, berarti belum tuntas emosinya, Mbak."

"Hoo, terus gimana, Mbak?" Mbak Iwed pun mengirimkan salah satu link dari blognya mengenai cara Mbak Iwed menghadapi haters.

Saya baca dan mulai menemukan pencerahan. Apalagi setelah dikuatkan reframe-nya oleh Mbak Iwed. "Oh, kasihan ya mereka. Dia memang sayang dan peduli sama aku, tapi caranya belum elok." Lalu saya pun semakin merasa rileks. Saya katakan pada diri, "Oke, kalau ada yang nyerocos kayak gini lagi, langsung reframing aja, ya."

Di satu waktu, saya bertemu seorang bapak supir taksi online usia 50an tahun, yang ramah sekali. Ketika saya jawab kalau anak saya satu, dia berkomentar, "Masyaallah alhamdulillah ya, sudah berputri satu." Intonasi dan suaranya itu betul-betul sangat enak didengar. Dia seperti betul-betul bersyukur saya sudah memiliki satu putri. Selain reframing, saya putar kembali juga suara si bapak ketika pertanyaan ini sewaktu-waktu hadir kembali.

Alhamdulillah, sejauh ini respon saya asyik-asyik saja. Insyaallah seterusnya, ya.

.

Di lain kesempatan, saya diminta untuk bergabung dengan suatu grup wa yang isinya hanya 4 orang, wanita semua. Ada satu wanita yang jauh lebih tua dan agak saya segani. Saya tadinya ragu untuk bergabung dengan grup wa itu, tapi jika dipikir lebih lanjut, saya sebaiknya masuk grup tersebut. Saya berusaha mengerti tujuan grup itu dibuat, sudah paham, tapi kok masih ada yang mengganjal? Masih ogah kayaknya. Lalu saya cerita ke Mbak Gita Djambek. 

"Nah, Mbak.. kalau sudah paham dan mengerti, apa yang bikin Mbak masih ragu?"

"Ehmm.. saya khawatir karena yang jauh lebih tua itu suka menyindir, Mbak. Saya ingat ketika di grup lain, beliau menyindir seseorang lalu orang itu keluar dari grup."

"Ooh, khawatir itu. Nah, orang yang suka menyindir, kemampuan komunikasinya gimana, Mbak?"

"Ehmm, kemampuan komunikasinya minim ya, Mbak? Dia kurang bisa menegur langsung dengan baik."

"Nah, sip. Kalau dirimu maklumi orang itu karena kemampuan komunikasinya yang minim gimana? Jadi lebih plong nggak?"

"Ah, iya ya. Dimaklumi saja kekurangannya itu, ya. Sip, makasih, Mbak." Inilah reframingnya, memaklumi kekurangan kemampuan komunikasi orang tersebut daripada memikirkan sifat menyindirnya.

Setelah berdoa, meminta ridho-Nya, dan reframing lagi untuk menguatkan, saya pun langsung menyatakan bersedia ditambahkan ke grup itu dengan hati yang tersenyum. Hihi..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun