Mohon tunggu...
Gita Lovusa
Gita Lovusa Mohon Tunggu... Freelancer - penyemarak di serusetiapsaat.com

Penyuka kebaikan, penyuka senyuman, penyuka bacaan, penyuka tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bertanya Jujur, Menjawab Jujur

25 Januari 2018   07:02 Diperbarui: 25 Januari 2018   08:54 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keesokan hari setelah mengikuti training Enlightening Parenting (EP), saya membuka modul dan terpana melihat dua pertanyaan ini:

Pernahkah Anda bertanya

- Apa harapan anak pada Anda?

-Bagaimana persepsi anak terhadap Anda?

Setelah mengikuti training EP pada September 2016, saya pernah menanyakan ini ke Cha via lisan. Dia menjawab singkat, "Baik. Oke." Ketika saya berniat menggali lebih lanjut, jawabannya senada. Kali ini saya ingin bertanya lewat tulisan. Saya pun mengambil buku agenda dan menulis surat pendek untuknya. Ada sapaan, dua pertanyaan tersebut, ucapan terima kasih, dan tanda 'love' dari saya.

"Cha, Ummi mau tanya sesuatu. Cha tolong jawab dengan jujur, ya." Waktu itu dia lagi baring santai di kasur.

"Iya."

"Cha boleh tulis apaaa aja yang dirasa. Oh iya, pas Cha nulis, Ummi baiknya di sini atau di luar?"

"Ummi di luar aja."

Oke. Saya pun memberikan buku agenda dan keluar kamar. Menanti di sofa ruang tamu.

Tak lama, terdengar suara dari anak usia 10 tahun itu, "Ummii, kok tiba-tiba nanya kayak giniii?"

Hihi, saya ketawa. "Kan biar Ummi jadi Ummi yang lebih baik."

Beberapa saat kemudian, Cha keluar dan memberikan buku agenda itu. Saya baca jawabannya dan hiyaa, lagi-lagi jawaban singkat yang didapat. "Baik. Sayang." Saya pun menghampiri Cha ke kamar. 

"Cha, masa begini aja." Dia ketawa-ketawa.

"Kan kalo kayak guru, Cha pengen guru yang baik, yang begini, yang begitu ya kan? Nah, sama kayak Ummi. Cha pengen Ummi kayak apa?"

"Tapi aku nggak mau Ummi sedih. Aku takut Ummi marah, Ummi nangis."

Iiy, asyik niy! Dia makin jujur.

"Ummi nggak marah, Ummi nggak nangis. Suer!"

"Iiiiy, Ummi bilang suer. Bilang wallahi, Mi. Hihi."

"Haha iyaa. Wallahi. Insyaallah kalo Cha makin jujur, Ummi makin suka. Ummi pun nggak akan marah, nggak akan nangis. Cha mau Ummi lebih baik, kan?"

"Oke.."

Saya pun keluar kamar agar dia bisa leluasa menulis jawaban.

Sekitar dua menit kemudian, dia memberikan buku agenda dan langsung ngibrit masuk ke kamar. Ada beberapa jawaban tambahan dan saya paham itu. Saya hampiri Cha.

"Cha pengen Ummi nggak marah-marah ya? Kalo selama ini, dari level 1 sampai 10, marah-marahnya Ummi ada di level berapa?" Saya rentangkan kesepuluh jari saya. "Cha bisa tekuk jari-jari Ummi tuk nentuin levelnya."

Dia tekuk dua jari saya.

"Level 2? Dikit, dong!" ujar saya spontan.

Lalu dia menambahkan menekuk dua jari saya. Yaa, saya jadi nyesel bilang dikit. Haha. 

"Udah niy?" tanya saya memastikan. Biar nggak keburu geer kayak pertama.

"Udah," katanya.

"Oke. Level 4 berarti ya. Cha pengen marah-marah Ummi di level berapa?"

"Nggak marah sama sekali."

"Haa? Level 0 gitu? Kalo di makanan mah nggak pedes sama sekali, ya."

"Iya."

Hoo, saya angguk-angguk. Anak yaa.. masyaallah.

Saya pun meminta maaf untuk semua marah-marah yang pernah dilakukan.

"Terus tentang nggak ada konsekuensi gimana?" Saya pertama baca jawabannya langsung teringat kesalahan saya yang disebut Mbak Oki di training, yaitu menentukan konsekuensi tanpa kesepakatan. Hiks.. Kesempatan bagus ini, Gita,ujar saya dalam hati.

"Aku lupa kejadiannya, tapi aku masih.."

"Kerasa sedih dan nggak enaknya," lanjut saya.

Cha mengiyakan dan langsung menangis.

Aduuh..

"Waktu Ummi nentuin konsekuensi tiba-tiba ya? Belum tertulis di kesepakatan kita ya?"

"Iya."

Saya usap punggungnya. "Maaf ya, Cha. Salah Ummi emang, Cha. Insyaallah nanti kita bicarakan lagi mengenai kesepakatan dan konsekuensi, oke?"

"Oke."

"Makasih ya, Nak." Saya sun pipi dan kepalanya beberapa kali.

Saya menarik napas lega. Bersyukuur diberi kesempatan untuk bicara dari hati ke hati dan saling jujur. Cha pun nggak terlalu lama memendam rasa sedih dan nggak enaknya. Saya pun insyaallah jadi tahu cara menjadi ibu yang lebih baik menurut anak sendiri.

Fyuuh, betul-betul alhamdulillah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun