Mohon tunggu...
bunda putri
bunda putri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Blessed and created by Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mama, Karena Engkaulah Kukenal Kebencian

27 Februari 2015   12:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:26 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di usia ku yang ke 30 tahun ini merupakan usia titik balik bagiku atau usia kilas balik?

Menjadi seorang ibu adalah sebuah pilihanku dan kepercayaan dari NYA. Mengingat sosok ibu (mama) di mataku kurang mendapat kesan baik. Sungguh durhaka aku, itu lah penilaian beberapa orang tentangku yang sudah dapat dipastikan mereka tidak tau apa yang kujalani 15 tahun silam. Tepat separuh usia ku saat ini, kenangan yang tak pernah ada niat untuk mengingat apalagi menyimpannya. Beberapa kali ku coba menghapus ingatan-ingatan masa laluku, entah file mana dari diri ini yang tidak bisa menghapusnya.

Pagi itu adalah hari raya idul fitri, bagiku yang merayakannya pasti aku akan bangun pagi dan bersiap-siap ke tanah lapang untuk menunaikan sholat ied. Ritual lebaran (ini ritual kebudayaan, bukan salah satu dari kewajiban di idul fitri) dijalankan sedikit istimewa. Papa yang nyidam liburan punya kesempatan untuk berlibur ksana (padahal kondisi papa blm sehat dan ritual cuci darah tetap dijalani 1 minggu sekali). Singkatnya seluruh keluarga besarku pergi ke pulau dewata itu menggunakan mobil pribadi. Kebahagian itu terusik ketika sampai dibali ada "penerima tamu" yang sangat aku kenal, dialah si om teman laki-laki mama yang menginap berhari-hari dirumah saat papa sedang opname di rumah sakit. Si om di delegasikan mama sebagai "tour guide" selama di bali (menurut mama karena om tinggal kos disana). Mobil keluarga intiku dikemudikan oleh si om, dari posisi duduk ku dibelakang papa tampak terlihat menahan suatu perasaan yang ditutupi dengan perbincangan dengan si om. sudah 2 hari kami berlibur di pulau indah ini, dan hari ini papa pamit untuk pulang terlebih dahulu karena harus menjalankan rutinitas cuci darahnya. Papa pulang dengan bis antarkota, kami (si om, mama, adek) mengantarkan papa ke terminal. Sepulangnya mama yang tak usah ijinku lagi berpindah tempat menggantikan posisi papa, sedang adek yang sedang gandrung dengan kebut-kebutan berpindah ke mobil ke salah satu mobil saudara yang jago ngebut dijalanan. Bali sudah tidak "seindah" biasanya di hadapanku, tepat dihadapanku pemandangan yang membuat ku jijik. Mama dengan tidak sungkannya berpegangan tangan dengan si om dan sesekali mengusap manja pipi si om. Ooh Tuhan mungkin mama benar-benar ingin menularkan virus "kematian" buatku, apa rencana mereka sampai ku diperlakukan bodoh seperti ini. Pantai kuta yang biasanya selalu mengesankan kali ini terlihat buram buatku, pemandangan yang dipamerkan kali ini semakin membuatku mual, selayaknya muda-mudi kasmaran menikmati pemandangan pantai kuta sore itu bergandengan mesra serasa tidak ingat ada perasaan seorang anak perempuan yang sedang sesak, mual dan bergidik melihat mama (seorang ibu yang seharusnya memiliki hati perasaan yang lembut, seorang ibu yang biasanya selalu "mengibati" rasa sakit dari anaknya..yaa itu definisi ibu yang biasanya dicerminkan oleh beberapa quote) yang sedang "jatuh cinta" setengah mati dengan "teman laki-laki"nya yang beberapa pekan lalu menginap dirumah tanpa rasa malu, disaat suami (yang kutahu papa masih suami mama yang sah..paling tidak didepanku) nya sedang meregang nyawa melawan kedua ginjalnya yang tidak berfungsi. Dan hanya mesin-mesin hemodialisa itu papaku menggantungkan separuh nyawanya. Kubayangkan dikejauhan dikota lain, diseberang pulau indah ini ada papa yang sedang terbaring dengan beberapa selang terhubung ditubuh, disamping mesin yang tidak berhenti berputar sampai batas waktu tertentu. Ketika ku mendengar gelungan ombak yang menatap bibir pantai dalam kepalaku tergambar nyata ada suara mesin "bip..serg..bip..serg..bip.." disamping seorang ayah yang mungkin saat ini sedang menikmati lemper ayam kesukaannya. sepertinya tak perlu ku definisikan kepingan rasa di dadaku, bahkan sebuah kapal karam yang berkarat itu jauh lebih baik dari gambaran sesak di dada ini.

Siang ini matahari lebih terik dari hari kemarin, terik yang juga membakar hati mama. Kuingat benar kejadian yang sangat..sangat..sangat..tak sanggup ku gambarkan. "Bawa mayat hidup, laki-laki tidak berguna, kaya mayat, kaku, bau bangkai, kapan saatnya kamu benar-benar jadi mayat dan tidak merepotkan" teriakan yang sangat ku kenal dari mana sumbernya, dan aku tak perlu mencari jauh sumber makian itu. Dia adalah wanita hebat yang mampu memimpin beberapa bawahan-bawahan dan melemahkan "konsumen" dalam pencapaian target penjualan sebuah produk, wanita hebat yang tidak pernah gentar dengan apa saja, wanita hebat yang akan berteriak lantang kepadaku dan papa karena "kebodohan" dan "kesalahan" kami, wanita yang mempunyai rasa "cinta" yang berlimpah tapi bukan buat kami. yaa Tuhan kau mengirim kami wanita yang benar-benar hebat, kuat, tangguh dan tak terkalahkan bagi kami, yaa Tuhan wanita hebat ini terlalu hebat bagi kami, kami yang lemah ini apa pantas kau berikan wanita sehebat MAMA. Mamaku yang hebat sedang berdiri dengan "anggun" di teras rumah dengan riasan dan pakaian rapi serta harum parfum yang selalu tertinggal meski telah ditinggalkan tuannya. Ku papah perjalanan papa ku yang tertatih, matanya berkedip menyiratkan kepasrahan dari setiap makian. Tubuhnya yang dulu menopangku kini tertopang lemah kepadaku. Ooh Tuhan gantilah kesakitan dan kepedihannya denganku. Kutahankan sekuat tenaga menahan air mata ini keluar yang kekuatan menahannya melebihi topangan beban laki-laki "lemah" 75kg dipundakku saat ini. Sebuah mobil p*****r merah menderum bunyi mesin yang menunggu penunggangnya menginjakkan kaki di pedal gas. Kumasukkan papa yang sedang tidak berdaya dengan menjatuhkan tubuhnya, mendorong kakinya (aku tau pasti dia sedang menahan rasa sakit di balik kaki nya yang bengkak dan menghitam), kutarik masuk dari arah berlawanan dengan daya upaya, ku tahankan bibir ini berucap "tolong", suasana yang terik ditambah pakaian dan riasan rapi, mama tidak suka berkeringat, ku sadar betul hal itu dan aku tidak ingin menimpahkan "beban" lagi, yang dapat mengancam tujuan kami ke rumah sakit (bukan kami secara utuh. Aku dan papa hanya menumpang sampai jalan besar tempat biasanya taxi mangkal). Mama yang cantik seorang wanita karier sukses sedang duduk merapikan riasan, dibalik kemudinya. Matanya melirik ke cermin tengah untuk melihat keadaan "amburadul" dikursi belakang "sudah?mayat hidup..aku kaya bawa mayat hidup" sapa mama. Ku masukkan semua tubuh papa, yang sangat ku sadari posisi nya sungguh tidak nyaman pastinya, suara nafasnya terdengar berat, bibirnya digigit menahan sesuatu, tangannya mencengkeram kaki bengkak dan menghitam. Tuhan adakah keajaiban yang menukarkan posisi itu, biar aku yang menanggung sakit nya saat ini. Dengan beberapa cacian yang tiada henti, bibir penuh gincu itu meluapkan semua kata-kata "busuk"nya. Aku hanya bisa terdiam, kulihat papa juga terdiam mengunci rapat bibirnya yang sedang "tergigit" untuk menahan rasa sakit yang aku tidak tahu entah rasa sakit itu dari fisik lemahnya atau dari dalam dada yang juga aku alami saat ini. Tanpa bantahan, tanpa argumen, tanpa balasan membuat mama tiba-tiba menghentikan laju mobil ini. "Keluar kamu..atau aku seret keluar..p***i seret papamu keluar dari mobil. Mama ga mau mobil ini bau mayat hidup" titahnya padaku " maa..tolong antar kami sampai ke tempat taxi depan saja. Di luar panas..mama mau aku menyembah mama?" kubungkukkan tubuhku menyentuh sepatu mahal miliknya "p***i mohon maa" rengekku

"Oke..sekarang giliran mayat hidup itu yang nyembah" jarinya menunjuk kearah papa. "Aku mohon ma..antarkan kami kepangkalan taxi depan, maaf aku tidak bisa bersujud, menahan posisi seperti ini saja aku sakit..aku sujud maa sama kamu" sembah papaku.

Pertahanan membendung air mataku sudah jebol membanjiri seluruh wajahku yang berpeluh. "Ngapain nangis? Ga usah nangis kalo ga rela kalian berdua pergi saja nggelandang sana. Aku ga butuh!!" Tanya akrab mama ke aku. Sekuat tenaga ku bendung tangis ku, ku tahan suara isak ku yang bisa mengacaukan suasana ini. "Keluaaarrr!!!" Perintah mama ke kami setibanya di pangkalan taxi. ku tarik tanpa arah dan mempedulikan mimik kesakitan papa, ada tangan laki-laki paruh bayah yang membantu ku menarik tubuh papa, supir taxi itu dengan sigap menurunkan papa, mengambil kursi roda di bagasi mobil yang terbuka dan membantu memapah menuju taxi nya. Tanpa aba-aba jelas saja mobil tumpangan kami pun melaju yang aku juga tidak peduli kemana arahnya. Kurebahkan tubuhku di kursi penumpang, "ke rumah sakit umum ya pak" pintaku "siap mbak..seperti biasanya yaa" sapa akrab supir taxi di kursi singgasanya. "Kita langganan ya pak?" Sambungku "kemarin kan saya yang anter mbak..lupa yaa?sekarang turun ugd lagi mbak?" Tanya supir taxi.."oow ga pak sekarang di gedung hemodialisa yaa" pintaku. Taxi melaju dengan santai tiupan AC di dalam mobil membawa kesejukkan sendiri dari hariku yang "terik" tadi. Kulihat papa bersandar santai dan mengatur nafas kelegaannya seperti pelari marathon yang melepas lelah setelah pertandingan berat.

Kesehatan papa sudah sangat menurun sekarang. Di dalam kamar 3x4 kami, papa yang sedang duduk di pinggiran dipan, menatap kalender tahun 1996 bulan maret, membuka obrolan "beberapa hari lagi papa ultah ya nduk?" Tanyanya padaku yang saat itu sedang membaca buku pelajaran di kursi kebesaranku. "Iyaa..pa tau kok..papa umur berapa tahun ini?"

"41 tahun sepertinya..semoga bisa temani kamu paling tidak sampai kamu menemukan suami..papa kepikiran gimana klo kamu papa tinggal. Sikap mama mu itu sempat membuat papa merasa ingin mengganti ibu yang sabar dan lebih baik buat kamu..yaa paling tidak kamu tidak disiksa lagi..papa kasian kamu harus dipukuli seperti itu, padahal kamu anaknya. Tapi kamu seperti pembantunya, bangun dini hari buat beres-beres rumah karena ketakutan besok dipukuli jika ibu mu terbangun tapi keadaan rumah tidak sebersih keinginannya. Padahal kamu juga harus sekolah pagi harinya. Kamu disekolah ga ngantuk?"

Ku hampiri papa ku, ku duduk tepat disampingnya "papa ngomong apa siih..ga penting..papa ku dengar dari beberapa omongan orang ginjal yang rusak bisa diganti ginjal pendonor..dan organ donor itu pasti akan diterima dengan baik jika dari keturunannya langsung..hadiah ultah papa tahun ini ambil ginjalku paa yang satunya..aku bisa hidup dengan satu ginjal kan? toh aku sehat..dan aku ga mau punya pacar, papa aja itu cukup buatku, mama yang ini juga gak apa-apa kok pa" rajukku sambil memeluk tubuh nya yang sudah sangat rapuh dan kurus. "Huuush..ga boleh ngomong gitu. Papa ga akan mengambil apapun dari kamu. Sekalipun umur papa panjang karena mengambil sesuatu dari kamu itu sama seperti papa memperpanjang usia tapi papa makan darah daging papa sendiri..kamu itu reinkarnasi papa..kalo pun papa mati..separuh papa sudah ada di kamu nduk..kmu jadi anak yang baik, pahami agamamu..kita kan islam jadi ya harus jadi orang islam yang benar..kamu anak tertua jaga adikmu jangan sering marah sama dia. Ga boleh ngiri sesama saudara, ingat jika separuh papa ada di kamu, separuhnya lagi ada di adik mu..cari suami yang baik..doa papa kamu semoga dapat suami yang sangat sayang sama kamu dan anak-anakmu..kalo mama kawin lagi, gak apa-apa tapi jangan sama si "termos" yaa (sebutan papa buat si om)"

Ku selah perkataan papa yang makin kacau "ga mau bahas hal ga penting..papa itu akan berumur panjang..sampai aku punya anak". Kalimat ku pun sengaja dipotong sama papa "kamu sudah besar nduk..seragam SMA mu saja sudah jadi, papa merasa ga lama lagi..papa pengen kamu benar-benar jadi anak yang doanya di dengar ketika papa mati. Kamu anak yang kuat dan pintar, jika mama masih sering pukul kamu. Maafin saja" kusela lagi "duuh..papa ini mati..matii..matii..teruus yang dibahas, papa panjang umur sampai aku punya anak..TITIK!!" sambarku.

"Papa juga berharap bisa jadi wali nikahmu kelak..berdoa biar papa kuat yaa" pintanya.

Tak ku beri respon apa-apa. Aku menata posisi tidurku disampingnya (aku masih tidur sama papa sampai akhir hayatnya). Di balik mataku yang terpejam ku menyimpan banyak kegalauan. Setelah kejadian malam itu, aku sering sekali mengecek nafas papa ku. Tidur malamku pun tak lelap lagi. Jika perutnya beberapa detik tak bergerak dengan sigap aku pasti membuat "keributan" atau "beraksi" buat memastikan nafas itu masih ditempatnya.

Kurang seminggu lagi aku akan menjadi remaja yang berseragam SMA. Aku bukan lagi ABG ingusan yang culun. Berarti seminggu lagi aku akan memasuki gerbang SMA yang jadi incaranku selama ini. Senin pukul 7 pagi aku bergegas bangun, hari ini tampak begitu damai dan indah sekali jarang kutemui pagi seindah ini. Kulihat mama di dalam kamar sedang membuka tirai jendela kamar ku dan papa. "Kamar ga pernah di buka..ga ada hawa segar masuk..bikin ga sehat" nada suara yang tidak biasa ku dengar, tanpa teriakan, tanpa bentakkan, tanpa cacian. Ku langkahi tubuh papaku yang beberapa hari ini tepatnya 3 hari ini katanya mulai terasa berat. Yaa beberapa hari belakangan papa jarang mengeluh nyeri di kaki nya yang membengkak, sudah jarang mengeluh nafasnya yang sesak dan berat. Seminggu ini papa sering dikunjungi beberapa sanak-saudara. Tapi anehnya jika papa sedang tidur dan terbangun atau sengaja dibangunkan karena ada yang menjenguk, papa selalu lupa siapa saja mereka. Suatu malam papa membangunkan tidurku hanya untuk membenarkan yang tadi datang adalah si"ini" atau si"itu", kujawab dengan sekena nya saja. Kira-kira 2 hari yang lalu papa menjerit-jerit histeris tengah malam sambil menunjuk-nunjuk pojokan pintu "sapa kamu? Sapa kamu? Maling..maling.." aku bangun dan terkaget melihat papa yang masih terpejam dan berteriak-teriak. Ku bangunkan papa, sambil terengah-engah papa terbangun dan menunjuk kearah pintu "itu sapa nduk? Ga ada maling?" Kutatap keheranan pojokan kosong tanpa ada apapun dan siapapun. Ku tatap papa yang sedang menatap keherananku, segera papa bilang hanya mimpi dan mengajakku tidur kembali. Papa mulai lupa siapa yang datang menjenguknya, papa hanya ingat bahwa ada aku anak perempuan yang selalu ada disampingnya. Pernah beberapa menit papa menanyakan bahwa yang lewat didepan kamar itu siapa, "itu kan adik pa (adik laki-laki ku)". Hari senin itu papa melontarkan beberapa permohonan ke mama "ma..aku minta tolong pindahkan tempat tidurku diluar biar kalo ada tamu banyak ga masuk ke kamar (papa punya hajat hari rabu esok untuk mengkhitankan adik laki-laki ku mumpung sedang liburan) di saku celanaku ada uang 275ribu apa cukup buat acara khitanan?" Masih sangat kuhafal permintaannya. Papa ku melanjutkan permohonannya kembali agar mengundang seluruh keluarga agar menghadiri pesta khitanan adikku. Hari itu mama tidak banyak marah, permohonan papa untuk berpindah ke luar kamar pun dituruti tanpa ada argumen atau bantahan apapun. Ku cari bantuan beberapa pemuda disekitar rumahku (tak susah buatku karena tetangga depan rumah ku adalah bengkel dan sebelah rumah tempat nongkrong pemuda-pemuda) untuk meminta tolong memindahkan papa. Mama berdandan didepan kaca yang tak jauh dari posisi "baru" tempat tidur papa. "Aku keluar dulu, kekantor lama, ambil gaji, gak lama mungkin 2 jam" ijin mama (Entah kapan tepatnya. Mama sudah berhenti dari pekerjaannya). Adikku pun berpamitan ke rumah saudara yang tak jauh dari rumah, dengan sepeda bmx nya dia menuju ketempat saudaraku. Aku adalah pemijit handal buat papa, sejak sepi orang paps mengeluhkan kakinua berat dan mati rasa, aku tidak disuruh memijitnya aku hanya disuruh memeganginya. "Kaki papa dingin ya nduk?" Tanyanya "gak tuh pa..biasa..papa kedinginan tah" tanyaku balik.

"Ga kok kerasanya cuma dingin dan kebas aja" jawab papa.."ooh, mungkin karena bengkak pa" timpalku.

"Oow..papa ga kuat kayanya nduk"

"Ga kuat apa? Ga usah aneh-aneh ya pa..papa mau makan tah?" Kucoba menawari menu favoritnya tahu goreng setengah matang. "Ga lapar" jawab papa singkat. Ku melihat jam sudah pukul 11, ku berpamitan ambil makanan di dapur buat aku. Aku menitipkan papa ke pembantu dan tante ku. Bergantian pembantuku kembali bilang kalo papa mencariku. Piring kosong yang sudah kuambil dari rak kuletakkan disamping magic jar. Ku hampiri papa dan aku bilang kalo aku ambil makan sebentar di dapur dan tanteku yang akan menjaga papa sebentar. Aku kembali ke dapur dan mengisi piring kosongku dengan nasi. Belum sempat kupindahkan piringku yang berisi nasi tante berteriak kalo papa mau BAB dan harus aku yang menolong. Aku ambilkan "pispot" portable dari kamar mandi, kusingkap sarung yang basah, "papa sudah ngompol?" Kuletakkan pispot di bawah b****g nya yangbsufah tidak berdaging, hanya tersisa lembaran kulit keriput seperti baju kusut. "Aku ga kuat lagi" rintih papa dengan suara tertahan seperti mengedan. Ku lihat papa menengadahkan kepalanya keatas seperti mengambil ancang-ancang untuk menarik nafas panjang. Ku dekati wajahnya " papa ga usah bercanda..ga usah nggoda aku" Rasa khawatirku memuncak tidak jelas. Setelah satu tarikan nafas panjang dan menghembuskan udara itu keluar dari hidungnya, itulah udara terakhir yang papa ku hirup. Matanya terpejam rapat seolah tertidur pulas, bibirnya mengembang senyum ikhlas, yang tidak lagi mempedulikan tangis dan teriakan ku disamping raganya yang mulai terbujur. Ku bimbing dengan "Allahu Akbar..Laillah ha ilallah" berkali-kali yang tidak ada respon ulang. Ku guncang-guncang tubuhnya berharap papa hanya tertidur. Sudah ramai tetangga yang tak kusadari kedatangannya. Ku menarik diriku dari raga papa yang sudah dikerumunin banyak orang. Aku duduk lemas dibelakang para tetanggaku yang ribut melihat raga papa terbujur diatas dipan kayu. Ku lihat adik ku yang daritadi di rumah saudara sudah menangis sesenggukan menangis sambil memegang pinggiran kayu dipan. Tetangga yang seusia nenek menepuk pundakku untuk menyampaikan duka citanya, aku bingung harus merespon bagaimana, aku hanya menangis dan menangis. Tak lama kemudian ku lihat mama sudah berada diantara kerumunan.

Kehilangan papa buatku seperti bangunan yang kehilangan pilar penopang. Status baru ku adalah siswa baru di sebuah SMA negeri dan juga seorang yatim. Mama pun punya gelar baru sebagai janda muda dengan 2 anak. Sepeninggal papa, mama tidak lagi bekerja, sesungguhnya aku kurang paham, mama hanya mengatakan saat ini untuk sehari-hari kita hidup dari pesangon mama. Sebagai anak, jujur aku tak ingin terlalu membebani orang tuaku. Aku mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa bagi siswa berprestasi. Dan beasiswa itu ku raih di catur wulan pertama sekolahku. Ku pikir (dan berharap) hubunganku dengan mama bisa membaik. Mama hampir tidak pernah memukulku lagi sepeninggal papa. Mungkin jalan hidup berkata lain, 7 hari papa si om datang membawa sekeranjang telur asin, dan 2 minggu kemudian si om datang membawa tas jinjing (tas yang biasanya digunakan untuk bepergian jauh dan biasanya berisi beberapa potong baju), semenjak itu si om resmi tinggal dirumah. sampai 40 hari papa si om sering pulang pergi buat menukar baju gantinya. Dirumah semakin ramai sekarang, ada mama, aku, adik laki-lakiku, nenek, 2 orang tanteku, dan "anggota baru keluarga" si om. Setelah 40 hari papa, si om resmi mendapat kamar dirumahku. Sudah bisa dibayangkan bagaimana setiap harinya hari-hari ku. Si om adalah musuh dirumah apapun sikapnya akan kutentang, aku tak segan marah didepannya ketika dia lewat saat aku mengepel lantai (aku mengepel dengan jongkok pakai tangan). Ku buat peraturan kalo aku sedang ngepel ga seorangpun boleh lewat sampai proses mengepelku selesai. aku pun jarang makan dan keluar kamar. Setiap hari aku seringkali "marah" dengan Tuhan atas nasib sialku. Mama mulai sering uring-uringan lagi denganku, tamparan dan pukulan sering kuterima lagi, bahkan sekarang mama dapat "ancaman" baru dengan mengusirku. Kebencianku semakin meradang dengan mama dan si om. Apalagi salah satu mobil kesayangan papa dijual. Di otakku saat itu, ini pasti karena harus menhidupi si om. Kepalaku tidak pernah berfikir waras lagi, hatiku tidak pernah sejuk lagi. Setiap hari selalu saja ada kejadian yang membuatku dan mama sering melibatkan perselisihan. Mulai aksi tak bertegur sapa sampai cacian dan pukulan itu kualami lagi. Entah kemana perginya mereka berdua setiap hari hingga larut, padahal mama sudah tidak bekerja sepeninggal papa. Hari libur bagiku adalah neraka. Seperti pagi itu aku mendapat ritual "pengorbanan" di liburanku, jika kuingat saat itu karena aku menyapu lantai tidak bersih, pukulan dan cacian melayang mulus dipersembahkan untukku, sebelum ritual "keluar rumah bersama" mama dan si om. Teras (lebih tepatnya garasi mobil) ku pel, 2 kaki muncul tepat didepanku, menggunakan sepatu hak tinggi "mahal" yang berpasangan dengan sandal laki-laki yang modelnya kuno. Sambil berlalu mama bilang "nah gitu yang bersih, jangan malas" sudut bibir yang mengesankan senyuman kepuasan, "yang bersih yaa.." teriak sautan dari si om sambil masuk mobil dan memacu kendaraan itu pergi. Darahku semakin medidih saja, kutaruh perlengkapan pel ku, ku ambil simpanan "rahasia" foto mama berukuran 3x4, ku kayuh sepeda mini ku dengan penuh emosi yang meledak-ledak, kuremas foto "rahasia" sambil mengenggam erat stang sepeda. Ku arahkan sepeda mini itu menuju makam papa, niatku adalah menguburkan "mama" ditanah itu (meski hanya foto). Saat akan memasuki tanah pemakaman sepeda yang kukayuh dengan kencang aku rem dan sebisanya kuhentikan, ular berukuran sepaha orang dewasa yang sangat panjang melintas tepat didepanku. Ku putar lirih sepedaku dan kutuntun perlahan, ada sebuah pos penjagaan yang kosong didepan sebuah perumahan yang tak jauh dari makam. Ku sandarkan sepedaku dan ku buang tubuhku di bangku beton, kaki ku terasa lunglai, jantungku terpacu sampai detaknya terdengar nyaring di kepalaku, sistem fisiologis tubuh berusaha menata iramanya agar lebih beraturan. Ku pandang foto dalam genggamanku, air matapun menetes tak ku sadari. Dalam kesendirian seperti ini aku selalu bernyali meratapi setiap peristiwa yang pernah kujalani, sedang kujalani dan akan kujalani. Oow Tuhan sesungguhnya saat aku belum terlahir di dunia, apakah jalan hidup ini yang pernah kupilih untuk kulalui, atau ini adalah jalan hidup yang telah Engkau ciptakan khusus untukku, mengapa aku se"istimewa" ini Tuhan? Oow Tuhan sesungguhnya engkau dimana saat ini, ku tak pernah diperkenalkan oleh Mu oleh orang tuaku, yang aku tau dulu papa ku mengerjakan sholat dan beberapa kali aku juga menjalankan sholat tapi sungguh aku tidak menemukan Engkau dalam sholatku, Tuhan aku tidak mengenalmu dengan baik, aku tidak tau Engkau dimana, dan saat seperti ini kepada siapa aku memohon pertolongan. Engkau telah ambil orang paling berharga dihidupku untuk berada di sisi Mu. Lalu bagaimana denganku? Yaa Tuhan bisa kah Kau panggil juga orang di foto dalam genggamanku ini, agar dia tidak menyiksa ku lagi.

Ku kayuh kembali sepedaku dengan lambat, foto itu sekarang tidak dalam genggamanku lagi, ku taruh dalam keranjang besi di sepedaku. Ku masukkan sepada di tempatnya semula, kuambil foto itu dan kugalih tanah di pot bonsai depan rumah, kutusuk foto itu tepat ditengah dadanya (di situ lah tempat yang sering terasa perih atas perilaku kasarnya), ku coblos kedua matanya yang sering mengancamku, ku sobek mulutnya yang sangat sering mencaci maki dan sumpah serapah, setelah itu kubrobek-robek sampai kecil dan ku pendam dalam tanah di pot bonsai.

Ketika gadis sesusiaku sibuk membahas tipe laki-laki idamannya atau membahas soal trend fashion masa kini, diriku tetap disibukkan dengan trik tepat mengusir si "benalu" dari rumah. "jasa" inemku masih kusandang dengan baik, aku mengepel sebelum sekolah di beberapa ruangan (ruang tamu dan ruang nonton tivi dan kamarku), sepulang sekolah ku pel ruangan sisanya. Diruang televisi sering sekali aku menemukan seperti noda cairan yang mengering, aku tak pernah mau berpikir panjang soal itu. Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya karena hari ini adalah jadwal piketku disekolah. Jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi (aku terbiasa bangun tanpa alarm, entah mengapa tubuhku selalu bisa kuajak berkompromi untuk terjaga seperti yang aku inginkan). Keluar kamar tampak masih sangat sepi dan sunyi, hanya saja telivisi di ruang televisi masih menyala, kamar mamaku pintunya terbuka separuh, entah dorongan dari mana aku tak tahu. Aku ingin ke kamar mamaku dan melihat kenapa pintunya terbuka separuh tidak seperti biasanya. Ku melangkah menuju kamar mama, belum sampai masuk kulihat tidak ada mama di tempat tidur, ku intip pintu penghubung ruang televisi dan ruangan kamar-kamar (karena kaca nya riben maka untuk mengetahui dibalik pintu jika ditutup harus menempelkan wajah dikacanya). Pemandangan super dahsyat yang tak sanggup ku bayangkan, ku lihat mama dan si om telanjang bulat tanpa sehelai pakaian sedang bergumul di lantai berasik masyuk tak menghiraukan suara adzan shubuh berkumandang dengan lantang (belakang rumah masjid) dan mereka bergumul tanpa peduli panggilan Tuhan (mama muslim yang tidak menjalankan sholat). Ku gedor-gedor pintu yang terkunci dari dalam itu. Teriakan histerisku jelas membangunkan seisi rumah (nenek dan kedua tanteku). Kulempar pakaian si om dari dalam lemari, kubuang kelantai, kuusir orang yang tidak punya malu. Ku tanya dengan lantang kenapa mama bisa berlaku sebegitu rendahnya "mama khilaf, mama butuh memenuhi kebutuhan biologis mama, mama ternoda, sekarang mama harus menikah dengan si om kalo kamu ga setuju kita bagi 3 harta dari penjualan mobil dan rumah, terserah kamu mau kemana, mama tidak akan ganggu, mama sama adikmu harus melanjutkan hidup"dengan nada datar yang seolah yang dihadapinya adalah orang yang tidak pernah terlahir darinya. Entah urat saraf malu mama dan si om itu mungkin sudah digadaikan atau bagaimana aku tak tahu, jiwa seorang ibu nya itu mungkin sudah terpendam kelapisan bebatuan. Adik laki-laki ku bersimpuh dipangkuanku, menatapku sambil bilang "aku ikut mbak **i aja, aku ga mau punya papa om f***a, papaku udah dikubur". Air mata mama mulai menetes mendengar "keputusan" adikku (anak kesayangannya). Lalu baru terlontar kata "maaf" dari mulut angkuhnya.

Ini adalah awal dari "gencatan perang" antara aku-mama-si om. Tentu saja aku berdiri di pihak yang tanpa pendukung dibelakangku. Aku heran mengapa pakde-om-tante-nenek ku tidak bisa pernah menegur mama. Perang dingin sampai perang teluk pun terjadi, tak lama setelah kejadian ini kutemukan fotokopi surat nikah dibawa kolong tempat tidur dimana mempelainya adalah mama dan si om di denpasar-bali dengan tahun pernikahan 1994 disaat aku masih SD dan disaat papa masih hidup dalam kondisi sehat, bahkan adikku masih dibangku TK. Ooh Tuhan, episode baru apalagi ini.

Saat ini aku adalah ibu dan seorang istri. Aku bukan wanita hebat seperti mama. Aku sangat bersyukur atas kekurangan dan kelemahan yang Tuhan ciptakan untukku. Dalam kekurangan dan kelemahanku, aku tidak pernah sanggup berbuat seperti mamaku yang hebat. Buat seorang ibu, mama, bunda, umi siapapun engkau dan apapun panggilan sayang anak-anak buat kalian. Ku mohon jangan sakiti anak-anakmu dalam bentuk apapun. Buat adik ku dimanapun engkau berada kutitipkan mama untuk kau jaga dan kau rawat, selayaknya beliau pernah menjaga dan merawatmu penuh kasih sayang, doakan dalam setiap sujudmu, jangan sakiti hati dan fisiknya karena aku tau dia sangat menyayangimu. Ku titipkan adik iparku sebagai istrimu, berkembang dan dewasalah bersamanya, limpahi rumah tangga kalian dengan kasih sayang sampai maut yang sanggup memisahkan kalian. Adikku aku sayang kamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun