Pada masa kini, para ahli autopsi psikologis telah menggunakan metode baru yang merupakan pengembangan dari pedoman MAPI di Cuba, disebut dengan pedoman PASIC (Psychological Autopsy Structured on Individual Cases). Mulai dipublikasikan tahun 2021, pedoman PASIC mengutamakan pendekatan interdisiplin ilmu dengan memanfaatkan peranan ahli kriminologi dalam penelitiannya, sehingga lebih efektif digunakan pada kasus-kasus yang lebih variatif.Â
PASIC diciptakan melalui penelitian terhadap delapan kasus lama yang belum terpecahkan antara tahun 1960-1970 di Milan, Italia. Wawancara dilakukan dengan orang-orang terdekat korban, dipadukan dengan penemuan bukti-bukti langsung dari tempat kejadian perkara yang sudah tersembunyi selama puluhan tahun. Oleh karena itu, perlu ada kedekatan personal terlebih dahulu antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai agar muncul rasa percaya, serta si pewawancara harus orang yang ahli di bidangnya.
Secara garis besar, jenis informasi yang hendak didapatkan dari orang yang diwawancarai pada metode PASIC serupa dengan pedoman Shneidman maupun MAP dan MAPI yang dikembangkan oleh pemerintah Cuba. Perbedaan signifikan terletak pada prosedur dan cara wawancara tersebut dilakukan guna mendapatkan hasil yang lebih akurat, objektif, dan informasi yang disampaikan diyakini kebenarannya.
Prosedur umum yang harus dipegang oleh pewawancara adalah jenis pertanyaan yang diajukan haruslah pertanyaan yang bersifat terbuka. Hal ini bertujuan agar lebih banyak informasi yang dapat digali dari pihak yang diwawancarai. Kemudian, pertanyaan yang bersifat subjektif sebaiknya tidak ditanyakan kepada orang yang diwawancarai.
Keakuratan informasi menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan dalam menjalankan metode PASIC. Keakuratan informasi dapat diuji secara eksternal maupun internal. Pengujian secara eksternal dapat dilakukan dengan cara mencocokkan informasi tersebut dengan bukti lainnya, seperti isi pesan atau GPS yang dapat dicek keabsahannya menggunakan digital forensik. Sedangkan pengujian informasi secara internal berkaitan dengan logika, ketepatan informasi, kecocokan antara waktu dan tempat, serta kekayaan rincian informasi yang harus dapat diidentifikasi kebenarannya.
Berkaitan dengan pengujian keakuratan informasi, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memvalidasi keakuratan informasi tersebut. Pertama, memverifikasi kebenaran cerita melalui teknik CBCA (Criteria Based Content Analysis). Teknik ini biasanya dipakai untuk membedakan antara cerita yang sebenarnya dengan cerita yang tidak konsisten.Â
Kedua, menguji apakah informasi yang diberikan adalah fakta atau persepsi melalui teknik Reality Monitoring. Teknik ini berkaitan dengan apa yang dirasakan oleh orang yang diwawancarai saat menceritakan tentang peristiwa kematian korban. Berikutnya, teknik untuk menguji daya ingat pihak yang diwawancarai, dan terakhir, menguji kesesuaian antara cerita dengan ekspresi wajah menggunakan teknik EMFACS (Emotion Facial Action Coding System). Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan teknik ini pada metode PASIC adalah jarak waktu antara selesainya pertanyaan diajukan dengan dimulainya respon yang dapat mempengaruhi kebenaran dari informasi yang disampaikan.Â
Upaya Penerapan Autopsi Psikologis di Indonesia
Pada dasarnya, autopsi psikologis digunakan untuk membuat terang suatu kasus yang masih misterius. Dalam konteks Indonesia, untuk memberikan kepastian apakah penyidik sedang berkutat pada kasus bunuh diri, pembunuhan, atau kecelakaan. Autopsi psikologis bukan pada posisi hendak menggantikan pemeriksaan patologi yang biasa diterapkan untuk menentukan cara kematian seseorang, melainkan, ia dapat berjalan beriringan dengan pemeriksaan medikolegal untuk memperjelas, bahkan memvalidasi, jika memungkinkan, sebab dan cara kematian seseorang.
Autopsi psikologis merupakan contoh dari perkembangan metode riset yang berkaitan dengan ilmu forensik, investigasi, dan ilmu sosial. Ia dilakukan dengan cara mempelajari dan mendefinisikan keadaan psikologis korban, menekankan pentingnya hubungan pelaku dengan korban, kisah hidup keduanya, kebiasaan, hubungan sosial, dan rekam medis korban.
Layaknya pemeriksaan patologi, autopsi psikologis pun menekankan pentingnya pemeriksaan tempat kejadian perkara (crime scene). Hanya saja, pada pemeriksaan patologi, waktu memainkan peranan cukup penting, dan pada kasus-kasus lama, hampir tidak mungkin mendapatkan bukti-bukti utuh dari tempat kejadian perkara. Di sini lah jejak psikologis mengambil peranan karena penyelidikannya tidak harus dipengaruhi oleh kecepatan waktu. Autopsi psikologis dijalankan dengan cara mewawancarai orang-orang yang dekat dengan korban, dan jika dilakukan secara efektif, banyak informasi penting dapat ditemukan.