Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Perkampungan Tua Tak Berpenghuni, Masyarakat Rempang-Galang Tak Bisa Direlokasi Begitu Saja Demi Rempang Eco-City

21 Oktober 2023   23:59 Diperbarui: 22 Oktober 2023   01:58 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Perkampungan Tua Pulau Rempang-Galang membentangkan karton saat kedatangan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ke Rempang, 6 Oktober 2023

Presiden Joko Widodo datang ke Mall Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, 13 September 2023, untuk membuka kegiatan Insfrastructure Forum dan Edutainment Expo (Sewindu Proyek Strategi Nasional/PSN) Tahun 2023. Dalam sambutannya, Jokowi menyinggung PSN yang sedang berjalan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. "Ini salah komunikasi saja, sudah diberikan ganti rugi, lahan, rumah, tapi mungkin lokasinya belum tepat. Itu yang harusnya diselesaikan. Masa urusan kayak gitu sampai Presiden," kata Jokowi menanggapi konflik proyek Rempang Eco-City khususnya peristiwa 7 dan 11 September 2023 di mana warga Pulau Rempang dan Galang yang terdampak pembangunan proyek menolak direlokasi/dipindahkan dari kampung mereka. 

Hal senada turut disampaikan Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam memberikan laporan tindak lanjut permasalahan lahan di Pulau Rempang kepada Komisi VI DPR RI yang membidangi industri, investasi, persaingan usaha, melalui Rapat Dengar Pendapat Umum, 2 Oktober 2023. "Kami akui, dalam proses komunikasi awal terjadi miss komunikasi, namun itu juga bukan tanpa alasan," ujarnya kepada seluruh anggota Komisi VI DPR RI yang hadir saat itu.

Ia menjelaskan duduk perkaranya bermula dari kementerian teknis ingin melakukan pematokan areal untuk pengembangan proyek Rempang Eco-City, namun informasi yang beredar mereka mematok untuk relokasi. Warga, yang menurut Bahlil salah informasi tersebut, kemudian memalang jalan dengan pohon yang ditumbangkan. "Sudah beberapa hari jalan ini ditutup, sementara jalan itu tidak hanya untuk Kampung Rempang, tapi arus jalan utama, sehingga aparat membuka. Ada sedikit gerakan dari masyarakat agar tidak terbuka, ditambah lagi informasi-informasi yang belum tentu benar, lahirlah itu gas air mata," kata Bahlil. 

Meskipun terdapat penolakan dari sebagian besar masyarakat Pulau Rempang dan Galang, Presiden Jokowi tetap menunjukkan komitmennya untuk melanjutkan PSN Rempang Eco-City. Dalam delapan tahun terakhir, katanya, masih dalam rangka memberikan sambutan kegiatan Insfrastructure Forum dan Edutainment Expo, telah diselesaikan 161 PSN dan menyerap tenaga kerja 11 juta orang. Ia juga mewanti-wanti agar jajarannya mengecek detail dan mengawasi pembangunannya agar PSN tidak terhenti atau mangkrak. "PSN lain yang belum selesai agar bisa segera dirampungkan paling lambat Semester I Tahun 2024," tegasnya.   

Komitmen pemerintah melalui ketegasan Presiden Jokowi tersebut langsung diejawantahkan oleh Bahlil Lahadalia selaku Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melalui kunjungan kerjanya ke Rempang, 6 Oktober 2023, dimana salah satu agendanya adalah meninjau Kampung Tanjung Banon, lokasi relokasi warga terdampak proyek Rempang Eco-City. Saat tiba di sana sore hari, Bahlil disambut oleh barisan ibu-ibu yang memegang spanduk dan karton dengan berbagai tulisan, antara lain Kami Menolak Direlokasi/Digeser, Kampung Kami Hidup Kami, Stop!!! Intimidasi, diiringi teriakan, "Baca Pak, Baca, Baca!" kata mereka mengacu pada spanduk dan karton yang mereka bentangkan.   

Masyarakat Perkampungan Tua Pulau Rempang-Galang membentangkan karton saat kedatangan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ke Rempang, 6 Oktober 2023
Masyarakat Perkampungan Tua Pulau Rempang-Galang membentangkan karton saat kedatangan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ke Rempang, 6 Oktober 2023

Singgah sebentar di Masjid Tanjung Banon, Bahlil lalu berpindah ke Kampung Pasir Panjang dengan iring-iringan 40-an mobil. Begitu melewati portal kayu persis di depan Posko Bantuan Hukum Solidaritas Nasional Untuk Rempang Kampung Pasir Panjang, ia disambut dengan teriakan warga yang mayoritas lelaki, "Maling! Babi! Apa kau lihat? Pulang, Pulang!" Persinggahan Bahlil bersama rombongan ke Kampung Pasir Panjang berlandaskan pada aspirasi yang ia terima dari warga Pasir Panjang yang diklaim sebanyak 70 persen sudah mau untuk digeser ke Kampung Tanjung Banon. Data tersebut ia sampaikan saat persinggahannya di Masjid Tanjung Banon untuk meninjau lokasi relokasi proyek Rempang Eco-City dan berdialog dengan warga tempatan.  

Aspirasi warga Kampung Tua di Pulau Rempang dan Galang dilanjutkan esok hari, 7 Oktober 2023, melalui kegiatan Maulid Akbar dan Do'a Bersama Peringatan 7 September di Lapangan Sembulang, Kecamatan Galang, Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Ratusan warga dari berbagai Kampung Tua di Pulau Rempang dan Galang, antara lain Sembulang Hulu, Pasir Panjang, Pasir Merah, Sungai Buluh, dan Galang Baru, turut menyampaikan aspirasinya setelah bersholawat bersama memperingati Hari Kelahiran Maulid Nabi SAW. "Kami masih mengingat janji Presiden Joko Widodo dan menagih janji beliau untuk memberikan sertifikat hak milik atas lahan seluruh warga Kampung Tua di Pulau Rempang dan Galang, seperti janji kampanyenya sebagai Calon Presiden tahun 2019 lalu," kata seorang perwakilan warga dari Kampung Pasir Panjang. 

Warga Kampung Pasir Panjang mengusir iring-iringan mobil Menteri Bahlil yang ingin singgah ke kampung mereka, 6 Oktober 2023
Warga Kampung Pasir Panjang mengusir iring-iringan mobil Menteri Bahlil yang ingin singgah ke kampung mereka, 6 Oktober 2023

***

Sabtu, 6 April 2019, bertempat di Stadion Temenggung Abdul Jamal Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau, Calon Presiden Nomor Urut Satu atas nama Joko Widodo, dengan mengenakan kemeja putih di bawah kibaran Bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, memacu semangat warga di bawah terik matahari. Menggunakan standing mic sambil memegang catatan kecil di tangan kiri, ia bertanya kepada peserta yang hadir pada kampanye dirinya sebagai Calon Presiden di Batam.   

"Siapa yang setuju Kampung Tua disertifikatkan hak milik?" tanya Jokowi sambil menunjuk ke atas dengan tangan kanannya.

"Setuju," teriak hadirin.  

"Akan kita lakukan, akan kita lakukan segera, maksimal tiga bulan akan kita selesaikan. Siapa setuju?" tanyanya lagi.

"Setuju," kata mereka serempak.

"Tiga bulan Kampung Tua akan kita sertifikatkan, akan kita selesaikan, siapa yang setuju, tunjuk jari!" teriaknya membakar semangat hadirin.  

"Setuju, setuju," kata hadirin dengan suara lebih keras. 

Kampung Tua di wilayah Kepulauan Riau yang dimaksud oleh Joko Widodo setidaknya sudah ditetapkan oleh Nyat Kadir selaku Walikota Batam tahun 2004 melalui Surat Keputusan Nomor KPTS. 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam, yang dilakukan dalam rangka melindungi, melestarikan, sekaligus mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat asli Batam. Adapun wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam yang disebutkan pada beleid tersebut: (1) Kecamatan Batu Ampar, Nongsa, Sungai Beduk, Sekupang, Lubuk Baja, Galang, Bulang, dan Belakang Padang; (2) Kecamatan Galang terdiri dari Kelurahan Sijantung, Karas, Galang Baru, Sembulang, Rempang Cate, Subang Mas, dan Pulau Abang; dan (3) seluruh perkampungan yang ada di Kecamatan Sembulang dan Rempang Cate. Hanya saja, pada saat penetapan wilayah Perkampungan Tua tahun 2004 itu luasnya belum diukur sehingga belum diketahui tata batasnya. 

Penetapan Kampung Tua di wilayah Kepulauan Riau semakin dikukuhkan pula dalam Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014. Pengaturan tentang Tata Ruang ini secara spesifik menyebutkan bahwa perlu dilakukan kegiatan inventarisasi dan penetapan Kawasan Perkampungan Tua dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap upaya perlindungan kawasan-kawasan Perkampungan Tua (Pasal 21 Ayat (5)).   

Bahkan, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 ini menegaskan perlunya pengukuran luas dan penentuan batas-batas kawasan-kawasan Perkampungan Tua sebagai bagian dari kegiatan inventarisasi, dan harus diselesaikan pada 23 Maret 2006 (Pasal 93 huruf i menyebutkan penetapan kegiatan inventarisasi harus diselesaikan dalam dua tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan). Adapun yang dimaksud dengan Perkampungan Tua dalam pengaturan ini adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal asli Kota Batam tahun 1970 saat Batam mulai dibangun, yang mengandung nilai sejarah, budaya tempatan, dan atau agama yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

Mengenai awal pembangunan Kota Batam yang menjadi titik mula keberadaaan Perkampungan Tua di wilayah Kepulauan Riau tersebut, tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Soeharto Nomor 41 Tahun 1973 tentang pengaturan Pulau Batam sebagai Daerah Industri, yang mencabut Keppres Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam, dimana Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam---cikal bakal Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuban Bebas Batam (BP Batam)--dibentuk berdasarkan Keppres ini. Hampir 20 tahun kemudian, Presiden Soeharto mengeluarkan pula Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone). Penambahan daerah industri yang dimaksud yaitu Pulau Rempang dan Pulau Galang, dimana rencana pengembangannya menjadi satu kesatuan dengan Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. 

Di samping itu, melalui Keppres Nomor 28 Tahun 1992 ini, Presiden Soeharto menetapkan pula Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone). Adapun yang dimaksud dengan Kawasan Berikat tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat yang memperbarui Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone), yaitu suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. 

Kawasan Berikat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 ini merupakan salah satu wujud dari Tempat Penimbunan Berikat, yaitu suatu bangunan, tempat, atau kawasan yang mendapatkan perlakuan khusus di bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan. Jadi, secara sederhana, setelah Batam ditetapkan menjadi kawasan industri pada 1973, tahun 1992 Pulau Rempang dan Galang ditetapkan pula sebagai daerah industri (kawasan berikat) yang memiliki implikasi lanjutan pada izin dan status kepemilikan maupun pengusahaan tanah atau kawasan.      

Mengenai izin kepemilikan maupun pengusahaan tanah atau kawasan tersebut, setidaknya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone) sudah mengatur bahwa kewenangan pemberian penetapan kawasan berikat berada di tangan Menteri Dalam Negeri (Pasal 4), yang kemudian pengusahaannya diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero (Pasal 5). Lebih lanjut, tanah yang digunakan sebagai lokasi usaha disewa dari pengusaha kawasan berikat (BUMN), termasuk izin usaha dan izin kegiatannya diberikan pula oleh pengusaha atas nama Menteri/Pimpinan Instansi yang bersangkutan (Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1)). Sedangkan izin mendirikan bangunan dan izin gangguan bagi perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan berikat diberikan oleh pengusaha kawasan berikat (BUMN) atas nama Kepala Daerah yang bersangkutan (Pasal 9 ayat (2)). 

Kemudian, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 sedikit mengubah pengaturan di atas, terutama mengenai pemberian status kawasan berikat dari Menteri Dalam Negeri menjadi Presiden atas usul Menteri Perindustrian setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan (Pasal 4a), dengan penegasan kepemilikan kawasan tidak beralih karena pemberian status tersebut (Pasal 4b). Sementara itu, pengelolaannya masih diselenggarakan oleh BUMN (Pasal 4c) dengan tambahan klausul mengenai pengaturan, pembinaan, dan pengembangan kawasan berikat oleh Menteri Perindustrian dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan (Pasal 4d). 

Di samping soal pemberian dan pengelolaan kawasan berikat, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 mengatur pula perubahan pada status tanah yang digunakan sebagai lokasi usaha kawasan berikat, yaitu dapat disewa atau dibeli dari pemilik kawasan industri (Pasal 8). Pemilik kawasan industri dalam hal ini adalah negara, yang tergambar melalui pengaturan mengenai pemberian status kawasan berikat dilakukan langsung oleh Presiden (Pasal 4a). Artinya, beleid Nomor 14 Tahun 1990 ini lebih gamblang mengatur bahwa tanah kawasan berikat dapat dimiliki oleh pengusaha dengan cara membeli dari negara. 

Lalu yang mungkin belum banyak diketahui publik adalah perubahan pemberi izin penyelenggara kawasan berikat (pengusaha) dari Presiden atas usul Menteri Perindustrian setelah mendengar pertimbangan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 menjadi Menteri Keuangan sebagai penetap kawasan berikat sekaligus pemberi izin penyelenggara kawasan berikat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 7). Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 ini mencabut pengaturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone). Dengan demikian, pada peraturan pemerintah terbaru tentang tempat penimbunan berikat tersebut, Menteri Keuangan yang semula hanya memberikan pertimbangan dalam pemberian izin penyelenggaraan kawasan berikat menjadi berwewenang penuh dalam memberikan izin penyelenggaraan kawasan berikat.

Di samping perubahan mengenai pemberi izin kawasan berikat, tak kalah penting adalah perubahan pihak-pihak yang dapat menjadi penyelenggara atau pengelola kawasan berikat. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 mendefinisikan golongan penyelenggara terdiri dari Perseroan Terbatas, koperasi yang berbentuk badan hukum, atau yayasan yang memiliki, menguasai, mengelola, dan menyediakan sarana dan prasarana guna keperluan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha di Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 1 Angka 6). Kemudian, dicantumkan pula yang dimaksud dengan pengusaha, yaitu Perseroan Terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan usaha di Tempat Penimbunan Berikat (Pasal 1 Angka 7). Dengan kata lain, terdapat perluasan pihak yang dapat menjadi penyelenggara maupun pengusaha kawasan berikat, yang semula hanya BUMN seperti tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone), kini Perseoran Terbatas (PT) maupun koperasi pun bisa menjadi penyelenggara atau pengusaha di kawasan berikat.  

Persoalan yang kemudian muncul yaitu mengenai nasib Perkampungan Tua yang sudah berdiri beserta masyarakat tempatannya, yang menurut Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 sudah ada saat Otorita Batam mulai dibangun pada tahun 1970-an. Memang sejak Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 yang menetapkan Kota Batam sebagai kawasan berikat (bonded zone) hingga enam tahun kemudian menetapkan pula Pulau Rempang dan Pulau Galang sebagai kawasan berikat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), sudah disinggung tentang pembebasan lahan dari hak pihak lain. Bahkan pada beleid tentang perluasan Pulau Rempang dan Galang sebagai kawasan berikat tersebut, disebutkan juga dengan jelas bahwa pelaksanaannya perlu memperhatikan penyelesaian masalah pengungsi di pulau tersebut (poin keempat) serta pengelolaan dan pengurusan tanahnya, termasuk usaha pengamanan penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (poin keenam). 

Persoalan tersebut semakin berbuntut panjang ketika tahun 1986 saat Kota Batam ditetapkan oleh Soeharto sebagai kawasan berikat, Pulau Rempang yang awalnya terdiri dari Hutan Konservasi dan Hutan Lindung perlahan berubah statusnya menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL), "tanpa ada sosialisasi dan pengecekan di lapangan," kata Gerisman Ahmad, salah satu tokoh masyarakat di Pulau Rempang yang berusia lebih dari 70 tahun, "dianggap tidak ada kampung dan penduduk," tambahnya.    

Peta Pulau Rempang mayoritas terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi (ungu) dan Kawasan Hutan Lindung (hijau)
Peta Pulau Rempang mayoritas terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi (ungu) dan Kawasan Hutan Lindung (hijau)

Sebagai informasi, penetapan Pulau Rempang sebagai Kawasan Hutan Konservasi berupa Taman Buru dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 357/Kpts-II/1986 tanggal 29 September 1986 dengan luas 16 ribu hektar. Kawasan Hutan Konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, Kawasan Hutan Konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan hutan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam), dan taman buru (Pasal 31). Taman Buru sendiri merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Sementara itu, Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.   

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (Pasal 32). Oleh karena itu, pemerintah yang hendak melakukan pengembangan proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang perlu terlebih dulu mengubah status kawasan hutan lindung di Pulau Rempang menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) atau Areal Penggunaan Lain (APL) agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan.   

Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Agar suatu kawasan hutan produksi dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan, maka diperlukan pelepasan kawasan hutan, yaitu perubahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan, misalnya menjadi areal perkebunan. Sementara itu, Areal Penggunaan Lain (APL) adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.   

Masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, pada dasarnya, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi (Pasal 54). Perubahan secara parsial dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan (Pasal 55) yang hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif (Pasal 58). Salah satu tujuan pelepasan kawasan hutan dilakukan untuk proyek strategis nasional, sehingga dalam konteks proyek Rempang Eco-City yang sudah menjadi PSN, diperlukan pelepasan kawasan hutan yang berstatus hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif menjadi areal penggunaan lain (APL). Karena itu pula pemerintah saat ini sedang gencar mengupayakan alih fungsi lahan di Pulau Rempang agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan proyek Rempang Eco-City.   

Apa yang dikeluhkan oleh Gerisman tentang perubahan status kawasan hutan di Pulau Rempang tanpa sosialisasi dan pengecekan yang mumpuni dibuktikan dengan publikasi sejarah perubahan kawasan hutan di Kepulauan Riau yang dapat diakses melalui website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Khusus bagian Kepulauan Riau, setidaknya sudah ada 10 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikeluarkan terkait perubahan status kawasan hutan di Kepulauan Riau sepanjang 10 tahun sejak tahun 2011 hingga 2021. Dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tentang kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau tanggal 30 Desember 2011, mayoritas keputusan mengenai perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, serta perkembangan pengukuhan kawasan hutan.  

Salah satu yang menarik perhatian yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tanggal 6 Juni 2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Provinsi Kepulauan Riau. Prosesnya sudah berlangsung sejak 2015, diawali dengan penyampaian permohonan persetujuan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cukup luas serta bernilai strategis (DPCLS) seluas 23.872 hektar yang berasal dari Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru, seluas 8.620 hektar, serta Kawasan Hutan Lindung seluas 15.252 hektar dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Koordinator Bidang Industri Pembangunan. 

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang alih fungsi kawasan hutan Taman Buru Pulau Rempang
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang alih fungsi kawasan hutan Taman Buru Pulau Rempang

Tiga tahun kemudian, barulah Wakil Ketua DPR / Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan menyetujui permohonan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut secara parsial, terdiri dari: (1) perubahan peruntukan Kawasan Konservasi Taman Buru Pulau Rempang yang semula diusulkan menjadi APL (DPCLS) seluas 7.560 hektar disetujui menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK); serta (2) perubahan peruntukan Kawasan Hutan di Batam untuk kepentingan fasilitas umum dan infrastruktur pemerintah yang masuk dalam kategori DPCLS seluas 330 hektar. Persetujuan oleh DPR tersebut ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan hingga akhirnya keluar penetapan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di Provinsi Kepulauan Riau.

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 tersebut setidaknya menjadi bukti keluhan Gerisman Ahmad bahwa memang Kawasan Hutan Konservasi (Taman Buru) dan Kawasan Hutan Lindung di Batam dan Pulau Rempang telah diubah peruntukannya. Perubahan status Taman Buru yang menjadi bagian dari Kawasan Hutan Konservasi menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ini telah membuat pemerintah selangkah lebih maju dalam mewujudkan kelancaran proyek pembangunan Rempang Eco-City.   

Buntut panjang berikutnya mengenai nasib Perkampungan Tua terjadi pada awal tahun 2002, Gerisman Ahmad menuturkan pada tahun itu keluar Surat Edaran Walikota Batam Nomor 09/TP/I/2002 tentang Tertib Pertanahan (Larangan Transaksi Tanah) di Pulau Batam, Rempang, dan Galang, ditujukan kepada seluruh camat, kepala desa, dan lurah. Ada tiga hal yang disampaikan dalam Surat Edaran itu. Pertama, untuk sementara waktu tidak diperbolehkan mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapapun baik badan hukum maupun perseorangan; kedua, tidak dibenarkan mengetahui pelepasan hak atau ganti rugi atas sebidang tanah; dan ketiga, agar para camat menginstruksikan hal tersebut kepada lurah/kepala desa di wilayah masing-masing. "Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan pulau sekitarnya ditetapkan sebagai daerah status quo. Kami tidak mengerti maksudnya bagaimana, tapi sejak tahun 1999 kami masyarakat Kecamatan Galang ditawari gabung ke pemerintah Kota Batam, dan setidaknya sejak saat itu, kami, masyarakat Kampung Tua, sudah menyadari pentingnya legalitas lahan di tempat kami. Kami belum memiliki surat-surat tanah, seperti surat tebas, alas hak, tapi tidak bisa kami urus karena ada Surat Edaran Walikota Batam tersebut," ujar Gerisman.

Selanjutnya, tahun 2022, lanjut Gerisman, lurah memberitahukan kepada RW, RT, dan warga tempatan mengenai program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria), yang kemudian masyarakat diminta meng-copy surat-surat tanah dan kebun sesegera mungkin dan dikumpulkan di kantor Pemerintah Kota Batam. "Kami sangat gembira, sampai tengah malam masih mengumpulkan data agar segera mendapatkan legalitas dan kepastian hukum dari pemerintah. Tapi sampai hari ini, program itu hilang tanpa ada kejelasan," katanya. Program TORA yang dimaksud diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yaitu tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi (Pasal 1 Angka 4).

Sebagai gambaran, program TORA memiliki dua tahapan yang terdiri dari perencanaan reforma agraria dan pelaksanaan reforma agraria (Pasal 3). Kegiatan perencanaan meliputi perencanaan terhadap penataan aset, penataan akses, peningkatan kepastian hukum, penanganan sengketa, dan kegiatan lain yang mendukung reforma agraria (Pasal 4). Sementara itu, kegiatan pelaksanaan terdiri dari tahap penataan aset dan penataan akses (Pasal 5). Tahap penataan aset ini yang diduga sedang dilakukan di Pulau Rempang tahun 2022 kala itu yang membuat masyarakat, termasuk Gerisman, senang.   

Kegiatan penataan aset terbagi menjadi redistribusi tanah dan legalisasi aset (Pasal 6). Khusus redistribusi tanah, objek tanah yang bisa diredistribusi, yang kemungkinan besar berkaitan dengan informasi yang diberikan oleh lurah di Pulau Rempang tersebut, antara lain dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, tanah negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria, tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria, serta tanah negara yang sudah dikuasai masyarakat (Pasal 7).

Sementara itu, subjek reforma agraria atau penerima TORA dapat berupa orang perseorangan, kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, atau badan hukum (Pasal 12 ayat (1)). Penerima orang perseorangan, yang apabila terjadi kepada masyarakat Pulau Rempang seperti janji tahun 2022 menurut Gerisman tersebut, maka mereka perlu memenuhi beberapa kriteria sebagai penerima TORA, antara lain merupakan warga negara Indonesia yang berusia paling rendah 18 tahun atau sudah menikah serta bertempat tinggal di wilayah objek redistribusi tanah atau bersedia tinggal di wilayah objek redistribusi tanah (Pasal 12 ayat (2)). Selain itu, ada pula syarat pekerjaan tertentu, yaitu harus bekerja sebagai petani gurem dengan luas tanah maksimal 0,25 hektar atau menyewa tanah yang luasnya tidak lebih dari 2 hektar, petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan buruh, pembudi daya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, petambak garam kecil, penggarap tambak garam, guru honorer, pekerja harian lepas, buruh, pedagang informal, pekerja sektor informal, pegawai tidak tetap, pegawai swasta, PNS paling tinggi golongan III/a, atau anggota TNI/Kepolisian berpangkat paling tinggi Letnan Dua/Inspektur Dua Polisi (Pasal 12 ayat (3)).  

Tahun 2022 pun berlalu. Memasuki awal tahun 2023, ingat Gerisman, masyarakat Kampung Tua diundang di Kampung Tanjung Kertang, Rempang Cate, Pulau Rempang, oleh BP Batam untuk bertemu dengan PT Makmur Elok Graha (MEG), investor yang mau berinvestasi di Pulau Rempang. "Pada pertemuan itu, BP Batam memberikan masterplan rencana pengembangan Pulau Rempang kepada PT MEG. Tapi anehnya, masterplan itu persis berada di atas kampung-kampung kami yang diminta copy-an surat-suratnya dari program TORA itu," lapor Gerisman. Keterkaitan antara masterplan pengembangan Pulau Rempang yang diberikan saat perkenalan PT MEG dengan rencana redistribusi tanah pada program TORA dimana kelengkapan copy-an surat-surat tanah sudah diserahkan oleh warga kepada BP Batam, sebagaimana diungkapkan Gerisman Ahmad, menimbulkan kecurigaan cukup kuat bahwa rencana pengembangan proyek Rempang Eco-City sedari awal memang menyasar Perkampungan Tua di Pulau Rempang dan Galang, tempat pemukiman warga sejak pertama kali Kota Batam dibangun tahun 1970-an. 

***

Kawasan Orchard Park Batam, Jumat siang, 6 Oktober 2023, tidak begitu ramai. Mayoritas lalu lalang kendaraan roda empat melintasi bundaran Orchard Park menuju Cluster Carica yang dipantau laju arus kendaraannya oleh seorang satpam komplek.   

Kawasan Orchard Park Batam, Jumat siang, 6 Oktober 2023
Kawasan Orchard Park Batam, Jumat siang, 6 Oktober 2023

Ia pula yang menunjukkan letak Blok I, alamat kantor PT Makmur Elok Graha yang informasinya diperoleh dari website Companies House.   

"Lewat jalan ini (dari bundaran Kawasan Orchard Park ke arah kiri), nanti ketemu Esda Cafe di sebelah kanan jalan, sederatan itu lah Blok I. Dekat kok, blok pas depan sini aja," katanya. 

Gedung Tiga Lantai Blok I No. 10 Kawasan Orchard Park Batam yang diduga sebagai kantor PT MEG 
Gedung Tiga Lantai Blok I No. 10 Kawasan Orchard Park Batam yang diduga sebagai kantor PT MEG 

Sesampainya di Blok I, sesuai arahan satpam itu, tidak sulit menemukan Unit 10, kantor PT Makmur Elok Graha. Wujud kantor PT MEG berupa bangunan tiga lantai yang didominasi cat berwarna cokelat krem dan dipenuhi kaca pada depan bangunan lantai dua dan tiga. Ada teralis besi terpasang yang tertutup rapat pada pintu masuknya. Kantor PT MEG tutup pada Jumat siang itu. Meskipun tidak ada merek PT MEG pada gedung tiga lantai tersebut, dua buah lampu tenaga surya yang terpasang di sisi kiri dan kanan lantai dua menghadap ke depan sudah cukup kuat menjadi penanda bahwa gedung tersebut merupakan kantor PT MEG, mengingat usaha pengembangan yang akan dilakukan PT MEG di Pulau Rempang dan Galang.   

Lampu tenaga surya yang di sisi kiri dan kanan lantai dua gedung Blok I No 10 Orchard Park Batam 
Lampu tenaga surya yang di sisi kiri dan kanan lantai dua gedung Blok I No 10 Orchard Park Batam 

PT Makmur Elok Graha merupakan anak perusahaan Artha Group yang dimiliki Tomy Winata. Melalui PT MEG, Tomy Winata sedang menyiapkan pengembangan Pulau Rempang dan Pulau Galang yang diberi nama proyek Rempang Eco-City. Berdasarkan informasi yang beredar luas sejauh ini, PT MEG telah menggandeng Xinyi International Investment Limited, perusahaan multinasional berbasis di Hong Kong yang merupakan produsen kaca terbesar di dunia. Bersama dengan Xinyi, PT MEG akan membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang. Pemerintah mengklaim investasi Xinyi pada pengembangan kawasan industri dan wisata ini bakal mencapai Rp 381 tirliun hingga 2080. Kini, proyek Rempang Eco-City pun sudah berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan oleh Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 28 Agustus 2023.   

Pengerjaan proyek Rempang Eco-City langsung dikebut. Tidak sampai dua minggu sejak memperoleh status PSN, BP Batam memulai pemasangan patok dan pengukuran lahan, yang disambut dengan perlawanan dari warga Pulau Rempang dan Galang yang menolak direlokasi atau digeser dari kampungnya. Gong perlawanan warga dikenal luas dengan peristiwa 7 September 2023, kemudian aksi 11 September 2023 di BP Batam sebagai wujud protes atas penahanan dan penetapan tersangka sejumlah warga yang melawan pemasangan patok dan pengukuran lahan di kampung mereka, lalu berlanjut dengan pendirian Posko Bantuan Hukum Solidaritas Nasional untuk Rempang sebagai wujud perlawanan warga Pulau Rempang dan Galang yang menolak relokasi.   

Saat ini sudah berdiri tujuh posko yang tersebar di tujuh titik Perkampungan Tua pada Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate, yaitu Kampung Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Sungai Buluh, Pasir Merah, dan Tanjung Banon. Perlawanan warga Pulau Rempang dan Galang pun masih bergulir hingga kini, terbukti dari pengkonsolidasian dan pengorganisiran yang terus dilakukan kepada warga Kampung Tua, termasuk warga Kampung Tanjung Kertang dan Pantai Tiga Putri yang sedang persiapan membangun posko perlawanan sebagai bentuk penolakan terhadap relokasi dampak dari pembangunan proyek Rempang Eco-City.   

Lokasi Perkampungan Tua di Pulau Rempang-Galang tempat posko sudah berdiri dan sedang dipersiapkan
Lokasi Perkampungan Tua di Pulau Rempang-Galang tempat posko sudah berdiri dan sedang dipersiapkan

Sebenarnya, keterlibatan Tomy Winata pada rencana pengembangan Pulau Rempang bukan kali ini saja mencuat ke publik. Rencana pengembangan kawasan Rempang sendiri sudah dimulai  sejak tahun 2004, yang kala itu juga melibatkan PT MEG. Berbeda dengan kini dimana ia hanya muncul di momen-momen penting persiapan proyek Rempang Eco-City--mendampingi Menteri Airlangga yang meluncurkan proyek Rempang Eco-City di Jakarta, 12 April 2023 dan mendampingi Chief Executive Officer Xinyi Group, Gerry Tung, saat bertemu dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Fuzhou, Cina, 26 Mei 2023--pada 2004 lalu, Tomy sendiri yang menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Kota Batam terkait pengembangan serta pengelolaan Pulau Rempang menjadi kawasan wisata terpadu eksklusif mewakili PT MEG. Akan tetapi, rencana lama ini sempat mati suri karena Tomy Winata tersandung kasus. 

Kasus yang dimaksud adalah dugaan korupsi pada proyek kawasan wisata terpadu eksklusif di Pulau Rempang yang merugikan keuangan negara hingga Rp 3,6 triliun tahun 2007. Terkuaknya isu korupsi tersebut berasal dari dua pucuk surat kaleng yang beredar di lingkungan pemerintah dan penegak hukum. Efeknya, Tomy Winata sempat diperiksa oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Meskipun pada akhirnya tidak jelas pengusutan lebih lanjut mengenai dugaan korupsi tersebut, perkembangan proyek kawasan wisata terpadu eksklusif di Pulau Rempang itu turut mati suri.   

Pengakuan mati surinya proyek kawasan wisata terpadu eksklusif oleh Tomy Winata dimuat dalam Tempo bertajuk Berdenyut Setelah Mati Suri pada masa itu. Bahkan Tomy menyatakan belum tentu akan melanjutkan proyek tersebut. Menurutnya, Singapura dan Johor sudah jauh di depan sehingga Rempang bisa jadi lebih pas dijadikan kota ruko daripada megapolitan. PT MEG kala itu berencana mengembangkan kawasan wisata terpadu eksklusif yang meliputi sarana perdagangan, jasa, hotel, perkantoran, dan permukiman. Di Rempang juga akan dibangun gelanggang bola ketangkasan, gelanggang permainan, panti pijat, klub malam, diskotek, dan tempat karaoke. Ada pula rencana pembangunan apartemen, hotel berbintang, pusat belanja, dan lapangan golf.   

Sama seperti kecurigaan masyarakat yang timbul menjelang PT MEG masuk kembali ke Pulau Rempang dan Galang melalui program TORA tahun 2022, awal PT MEG masuk ke Rempang tahun 2004 ini pun menimbulkan tanda tanya tersendiri di kalangan masyarakat Kampung Tua Pulau Rempang dan Galang. Kecurigaan itu terkuak dengan munculnya Surat Edaran Walikota Batam Nomor 09/TP/I/2002 pada awal tahun 2002 tentang Tertib Pertanahan (Larangan Transaksi Tanah) di Pulau Batam, Rempang, dan Galang, dimana seluruh warga Kampung Tua saat itu tidak boleh mengetahui perihal pelepasan hak atau ganti rugi. Tidak hanya itu, seluruh camat, lurah maupun kepala desa untuk sementara waktu juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapapun. Peristiwa itu terjadi hanya dua tahun menjelang Tomy Winata menandatangani kerjasama dengan Pemerintah Kota Batam terkait pengembangan kawasan wisata terpadu eksklusif di Rempang. 

Kembali ke PT MEG, meskipun Tomy Winata mengatakan bahwa proyek pengembangan Pulau Rempang tahun 2004 mati suri seiring dengan dugaan korupsi yang menimpa dirinya, akan tetapi PT MEG melalui bahan presentasi proyek investasi Batam -- Rempang Eco-City untuk Pemerintah Kota Batam 15 Juni 2023, memaparkan kegiatan PT MEG dalam pengembangan kawasan Rempang periode 2001-2023 dengan cukup detil. Dimulai pasca proyek kawasan wisata terpadu eksklusif dinyatakan mati suri tahun 2004, PT MEG mengisinya dengan rapat-rapat tindak lanjut perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani Tomy Winata, antara lain berupa pembuatan akta perjanjian, presentasi rencana pengembangan, serta rapat pembahasan permasalahan kepariwisataan di Batam sepanjang 2005 hingga 2008.   

Setelah itu, PT MEG vakum hingga 2015. Akan tetapi, di sisi lain, Pemerintah Kota Batam tetap melaksanakan giatnya menginventarisasi Perkampungan Tua seperti yang dimandatkan oleh Surat Keputusan KPTS. 105/HK/III/2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam serta Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014. Hasil inventarisasi Perkampungan Tua dipublikasikan pada Kertas Kerja Badan Pengelola Perbatasan dan Pertanahan Daerah Kota Batam berjudul Kebijakan tentang Kampung Tua Kota Batam, dengan rincian: tahun 2012 dilakukan verifikasi terhadap lima Kampung Tua, yaitu Nongsa Pantai, Batu Besar, Kampung Panau, Tanjung Riau, dan Tanjung Uma (proses verifikasi tim); dilanjutkan tahun 2013 verifikasi terhadap tujuh Kampung Tua, yaitu Sei Binti, Tanjung Sengkuang (proses verifikasi BP), Bengkong Sadai (proses verifikasi BP), Kampung Jabi (proses verifikasi BP), Kampung Melayu (proses verifikasi BP), Kampung Tengah (proses verifikasi BP), dan Tanjung Bemban (proses verifikasi BP). 

Berikutnya tahun 2014, Pemerintah Kota Batam melakukan verifikasi terhadap 21 Kampung Tua yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kampung Panglong (proses verifikasi tim), Teluk Mata Ikan (proses verifikasi tim), Teluk Nipah (proses verifikasi tim), Telaga Punggur (proses verifikasi tim), Teluk Lengung (proses verifikasi tim), Bakau Serip (proses verifikasi tim), Tereh (proses verifikasi tim), Belian (proses verifikasi tim), Bengkong Laut (proses verifikasi tim), Tanjung Buntung (proses verifikasi tim), Dapur 12 (proses verifikasi tim), Tembesi (proses verifikasi tim), Tiawangkang (proses verifikasi tim), Tanjung Gundap (proses verifikasi tim), Sei Lekop, Tanjung Piayu Laut (proses verifikasi tim), Bagan (proses verifikasi tim), Kampung Cunting, Kampung Patam Lestari (proses verifikasi tim), Batu Merah (proses verifikasi tim), dan Sei Tering (proses verifikasi tim). Kampung yang tidak diberi tanda kurung berarti sudah lolos verifikasi sebagai Perkampungan Tua oleh Pemerintah Kota Batam. 

Kembali ke PT MEG, setelah sempat vakum selama kurang lebih tujuh tahun, awal tahun 2015, kegiatan PT MEG berlanjut dengan permohonan tindak lanjut kerjasama antara PT MEG dengan Walikota dan BP Batam. Kemudian 2016 hingga 2017 diisi dengan rapat-rapat lanjutan kerjasama dengan beberapa pihak, antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Perekonomian, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Maritim, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Salah satu fokus agendanya adalah pengembangan kawasan Rempang menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang ditetapkan pada 2017. Selama empat tahun berikutnya (2018-2021), PT MEG mulai mengurus izin lokasi dan pemanfaatan kawasan hutan serta fokus alih fungsi kawasan hutan berupa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) demi kelancaran rencana pembangunan di Rempang.   

Muhammad Rudi, Walikota Batam sekaligus Kepala BP Batam, pada forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Menteri Investasi/BKPM dan Komisi VI DPR RI, 2 Oktober 2023, menegaskan pada tahun 2023 sudah keluar Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 45 dan 51 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa sebanyak 570 hektar kawasan Perkampungan Tua di Pulau Rempang sudah berubah statusnya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) sehingga sudah bisa difungsikan untuk pengembangan proyek Rempang Eco-City. "Bahkan sebelum ini hanya 147 hektar saja yang bisa dialihfungsikan menjadi kawasan APL, sehingga kalau ada kebutuhan investasi yang mendesak, maka kita harus mengubah tata ruang," katanya. 

Investasi mendesak yang dimaksud Rudi termasuk proyek Rempang Eco-City yang sudah resmi menjadi PSN sejak 28 Agustus 2023. Bahkan, pengurusan pengubahan rencana tata ruang wilayahnya sudah diupayakan oleh PT MEG sejak tahun 2022. Selain pengubahan RTRW, PT MEG juga mengurus dokumen kajian lingkungan hidup pada tahun yang sama. Selain itu, di tahun itu pula mulai masuk undangan rapat-rapat di Jakarta dari BP Batam kepada PT MEG, dengan kegiatan lanjutan di tahun berikutnya berupa penjajakan kerjasama antara PT MEG dengan sejumlah investor asing dalam rangka pengembangan proyek Rempang Eco-City, antara lain PT Ekasurya Yasa Consult, Xinyi Group, PT Nusantara Urbana Advisori, PT Wiwakharman, PT Pusat Studi Urban Desain, PT Studio Rancan Urban Selaras (Urban+), Nippon Koei, PT Townland International. Tahun 2023 juga mencatat beberapa peristiwa penting yang terjadi pada PT MEG, yaitu peluncuran proyek Rempang Eco-City, penandatanganan kerjasama antara PT MEG dengan Xinyi Group, termasuk beberapa komitmen percepatan pengembangan kawasan Rempang dengan Kementerian Perekonomian maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang. 

***

Mengenakan setelan jas hitam, dasi merah, dan peci hitam, Presiden Joko Widodo memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada seorang lelaki beramput putih, juga dengan setelan jas, peci, serta dasi warna dongker, Kamis, 9 November 2017 di Istana Negara, Jakarta. 

"Almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah, tokoh dari Provinsi Kepulauan Riau, diterima oleh ahli waris," terdengar ucapan yang mengawali gerakan Jokowi dalam memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada ahli waris Almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah, yang diterimanya dengan senyuman sambil menjabat tangan Jokowi. Kejadian itu berlangsung sekitar 10 detik, diakhiri dengan tatapan mata ahli waris dari balik kacamatanya ke arah Jokowi sambil menunduk kecil, yang dibalas dengan ucapan selamat dari Jokowi. 

Penganugerahan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada Sultan Mahmud Riayat Syah berlandaskan pada Keputusan Presiden Nomor 115/TK/2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Selain Sultan Mahmud Riayat Syah, pada kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo juga memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan kepada tiga tokoh nasional lainnya, yaitu Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainudin Abdul Madjid asal Nusa Tenggara Barat, Laksamana Malahayati dari Aceh, serta Prof. Drs. Lafran Pane asal Yogyakarta.   

Tidak semua bisa mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan yang diberikan setiap tahun jelang Hari Pahlawan Nasional tersebut. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan mengatur syarat khusus untuk memperolehnya, selain telah meninggal dunia, syarat lainnya seseorang berpeluang disebut sebagai Pahlawan Nasional, yaitu semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan, mengabdi dan berjuang hampir sepanjang hidupnya, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar, menghasilkan karya besar, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi, atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional. 

Dalam hal ini, beberapa syarat khusus untuk dapat memperoleh gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan sebagai Pahlawan Nasional tersebut memang ada di dalam diri dan perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah. Ia merupakan seorang pemimpin Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang tahun 1761-1812 yang aktif berjuang melawan penjajahan Belanda untuk mencapai kemerdekaan. Ia dikenal pantang menyerah pada musuh dalam perjuangan tersebut, terbukti dari keterlibatannya dalam Perang Riau I (1782-1784) melawan Belanda, yang kemudian berhasil menang pada Perang Riau II (1787), juga melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Setidaknya Presiden Joko Widodo sepakat bahwa wujud perjuangan dan pengabdian Sultan Mahmud Riayat Syah memang berdampak nasional dan memiliki jangkauan luas sehingga ia menyematkan tanda jasa, tanda kehormatan, dan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Mahmud Riayat Syah pada tahun 2017.   

10-65339fdcee794a6a23597e72.jpeg
10-65339fdcee794a6a23597e72.jpeg

Kiprah Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai pahlawan Riau-Lingga-Johor-Pahang terekam pula dalam berbagai sumber bacaan, salah satu yang cukup termasyur adalah manuskrip Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji yang dikaji dan diperkenalkan oleh Virginia Matheson Hooker, terbitan bersama Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur tahun 1998. Raja Ali Haji, penulis manuksrip ini, merupakan cucu Raja Haji Fisabilillah, salah satu Pahlawan Nasional Kerajajaan Melayu, dimana Raja Haji Fisabilillah adalah Paman dari Sultan Mahmud Riayat Syah, yang juga mendidik Sultan Mahmud dari kecil terutama mengenai kepemimpinan dan pengelolaan pemerintahan. Ketiga nama tersebut, Raja Haji Fisabilillah, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Raja Ali Haji, merupakan pahlawan terkenal bagi warga Kepulauan Riau. 

Raja Ali Haji
Raja Ali Haji

Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam mempertahankan Kesultanan Melayu dari jajahan Belanda berkaitan erat pula dengan sejarah Pulau Rempang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Sultan Mahmud Riayat Syah memiliki keterlibatan pada Perang Riau I tahun 1782, dimana ia sebagai Pemimpin Kesultanan Melayu bersama Raja Haji Fisabilillah selaku Panglima Perang (Yang Dipertuan Muda) kala itu berniat menyerang Belanda yang memiliki benteng pertahanan di Melaka. Mereka bersama pasukan perang Kesultanan pun berangkat ke Melaka. Belum sampai di sana, Sultan Mahmud Riayat Syah dan pasukannya singgah dan berhenti di Linggi. Sultan Mahmud dan Raja Haji pun bersepakat bahwa Sultan tetap tinggal di Linggi untuk memperkuat pertahanan, sedangkan Raja Haji beserta pasukannya melanjutkan perjalanan ke Melaka. Raja Haji Fisabilillah gugur di Teluk Ketapang saat menyerang benteng pertahanan Belanda di Melaka.   

12-6533a16bedff76063e2f9412.jpeg
12-6533a16bedff76063e2f9412.jpeg

Jejak persinggahan Sultan Mahmud Riayat Syah di Linggi untuk membentuk benteng pertahanan Kesultanan Melayu (Lingga-Riau-Johor-Pahang) menyebar ke warga Pulau Rempang dan Galang hingga kini. Sebagian besar tetua bahkan anak cucu dan penghuni Perkampungan Tua Pulau Rempang dan Galang mengetahui bahwa dulunya Pulau Rempang dan Galang ini merupakan benteng pertahanan dari serangan Belanda sewaktu menjadi bagian dari Kesultanan Melayu. "Di sini dulu benteng pertahanan Kesultanan Melayu, kampung pertama namanya Lubuk Nenek," kata Sani, budayawan Melayu dari Kampung Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, yang merupakan keturunan keempat dari Suku Galang, salah satu suku asli Perkampungan Tua, sambil bermain bersama cucunya berumur 1,5 tahun, saat dijumpai di rumahnya, Minggu, 8 Oktober 2023.   

Sani juga menyayangkan sikap pemerintah yang sedang berupaya untuk menjual Pulau Rempang kepada pengusaha asing saat ini. "Lucunya, dulu rumah ini pemberian dari BP Batam karena jasa Bapak sebagai budayawan, sekarang malah rumah ini mau digusur, oleh BP Batam juga," ujar istri Sani sambil tertawa miris. "Sebenarnya rumah ini kalau mau diambil, ya ambil lah, yang penting buat kami makam nenek moyang itu. Nenek saya, orang tua dari nenek saya, semua makamnya ada di sini. Itu yang sebenarnya kita pertahankan," tambah istri Sani, yang sudah mendiami Pulau Rempang bersama nenek dan buyutnya sejak kecil.   

Seorang tetua Perkampungan Tua lainnya, Gerisman Ahmad dari Kampung Pantai Melayu, menuturkan bahwa nenek moyang di Perkampungan Tua sudah mendiami Pulau Rempang dan Galang sejak Kerajaan Melayu Islam Riau-Lingga diperintah Sultan Abdurrahman Muazzamsyah tahun 1884. Lalu pada awal 1945, Perkampungan Tua di Pulau Rempang dan Galang berada di bawah Kewedanaan (Wilayah) Tanjungpinang (Pusat Kerajaan Riau-Lingga), kemudian tahun 1960-1979 Perkampungan Tua Rempang dan Galang masuk ke dalam Kecamatan Bintan Selatan, barulah tahun 1980 Kecamatan Bintan Selatan dimekarkan menjadi Kecamatan Galang di Pulau Rempang. "Pemerintah tidak menempatkan Kelurahan Sembulang di Pulau Galang karena pada tahun 1980 Pulau Galang digunakan sebagai penampung pengungsian Vietnam dan Kamboja," kata Gerisman Ahmad yang juga pernah menjadi kepala desa di Perkampungan Tua.   

Dedi Arman, Peneliti Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau, sempat menuliskan silsilah Kesultanan Melayu pada tahun 2019 bersama dua rekannya. Buku berjudul Sultan Lingga -- Riau I, Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832) itu menyebutkan bahwa Raja Abdurrahman Muazzam Syah--nenek moyang yang mendiami Pulau Rempang menurut Gerisman--merupakan salah seorang keturunan asli Kesultanan Melayu yang memimpin pada periode 1884-1911. Ia juga merupakan keturunan kelima dari Sultan Mahmud Riayat Syah, yang menurut manuskrip Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji, Sultan Mahmud lah yang berperan memindahkan ibukota Kesultanan Melayu dari Johor ke Lingga--cikal bakal Pulau Rempang--pada 24 Juli 1787.   

Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, 1998 dan Kisah Perang Riau karya Rendra Setyadiharja dkk, 2022
Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, 1998 dan Kisah Perang Riau karya Rendra Setyadiharja dkk, 2022

Seorang budayawan lain bernama Abdul Malik, juga Akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, seperti dikutip Tempo, 1 Oktober 2023, bahkan mengisahkan bahwa keterlibatan warga Pulau Rempang sebagai prajurit yang mempertahankan Kesultanan Melayu dari serangan penjajah, sudah ada jauh sebelum masa kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah. "Prajurit setia Kesultanan Melayu ini dikenal dengan sebutan para bajak laut, istilah negatif yang disematkan penjajah Portugis, Inggris, dan Belanda kepada prajurit Melayu kala itu," kata Abdul Malik. Mereka sebenarnya adalah rakyat biasa yang terdiri atas orang Melayu (Orang Laut), Orang Lanun, dan Suku Laut yang menghuni wilayah Kepulauan Riau, seperti Kepulauan Bintan, Bulang, Rempang, Galang, pulau-pulau di seluruh Batam, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, dan Pulau Tujuh, juga pesisir, selat, dan pulau di laut lepas Sumatera Timur, Semenanjung Malaysia, hingga Singapura. 

"Mereka dikenal luas sejak era Kerajaan Sriwijaya (Abad ke-7 hingga Abad ke-11), Kesultanan Melaka (Abad ke-15), hingga Kesultanan Riau-Lingga (Abad ke-18 hingga Abad ke-19). Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacaukan musuh kerajaan, terutama Portugis, Belanda, dan Inggris, serta sekutunya," ujar Abdul Malik lagi. Ia menuturkan peran utama dari prajurit bajak laut ini adalah memandu dan mengawal kapal-kapal pedagang yang berbisnis secara resmi ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Melayu. "Dalam situasi normal, bukan perang, mereka bekerja layaknya rakyat biasa. Mereka menjadi nelayan, pedagang antar pulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk), pemandu pelayaran, pembuat senjata, serta pembuat perahu atau kapal tradisional." 

Lewat tuturan Sani, Gerisman Ahmad, Dedi Arman, maupun Abdul Malik, setidaknya diperoleh gambaran bahwa Pulau Rempang dan Galang sebagai Perkampungan Tua memang sudah didiami jauh sebelum Indonesia merdeka, setidaknya abad ke-18. Meskipun kesaksian mereka berbeda satu sama lain mengenai siapa tokoh yang membersamai nenek moyang mereka dalam menjaga benteng pertahanan Pulau Rempang dan Galang dari serangan penjajah, setidaknya mereka sudah membuktikan bahwa Pulau Rempang dan Galang bukan lah Perkampungan Tua tak berpenghuni sehingga bisa dengan gampang direlokasi demi alasan pengembangan proyek Rempang Eco-City. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun