Mohon tunggu...
LOVINA
LOVINA Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis butuh tahu dan berani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Perkampungan Tua Tak Berpenghuni, Masyarakat Rempang-Galang Tak Bisa Direlokasi Begitu Saja Demi Rempang Eco-City

21 Oktober 2023   23:59 Diperbarui: 22 Oktober 2023   01:58 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Hutan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (Pasal 32). Oleh karena itu, pemerintah yang hendak melakukan pengembangan proyek Rempang Eco-City di Pulau Rempang perlu terlebih dulu mengubah status kawasan hutan lindung di Pulau Rempang menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) atau Areal Penggunaan Lain (APL) agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan.   

Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Agar suatu kawasan hutan produksi dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan, maka diperlukan pelepasan kawasan hutan, yaitu perubahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan, misalnya menjadi areal perkebunan. Sementara itu, Areal Penggunaan Lain (APL) adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.   

Masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, pada dasarnya, perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi (Pasal 54). Perubahan secara parsial dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan (Pasal 55) yang hanya dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif (Pasal 58). Salah satu tujuan pelepasan kawasan hutan dilakukan untuk proyek strategis nasional, sehingga dalam konteks proyek Rempang Eco-City yang sudah menjadi PSN, diperlukan pelepasan kawasan hutan yang berstatus hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif menjadi areal penggunaan lain (APL). Karena itu pula pemerintah saat ini sedang gencar mengupayakan alih fungsi lahan di Pulau Rempang agar dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan proyek Rempang Eco-City.   

Apa yang dikeluhkan oleh Gerisman tentang perubahan status kawasan hutan di Pulau Rempang tanpa sosialisasi dan pengecekan yang mumpuni dibuktikan dengan publikasi sejarah perubahan kawasan hutan di Kepulauan Riau yang dapat diakses melalui website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Khusus bagian Kepulauan Riau, setidaknya sudah ada 10 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dikeluarkan terkait perubahan status kawasan hutan di Kepulauan Riau sepanjang 10 tahun sejak tahun 2011 hingga 2021. Dimulai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tentang kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau tanggal 30 Desember 2011, mayoritas keputusan mengenai perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan, serta perkembangan pengukuhan kawasan hutan.  

Salah satu yang menarik perhatian yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tanggal 6 Juni 2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi di Provinsi Kepulauan Riau. Prosesnya sudah berlangsung sejak 2015, diawali dengan penyampaian permohonan persetujuan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cukup luas serta bernilai strategis (DPCLS) seluas 23.872 hektar yang berasal dari Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru, seluas 8.620 hektar, serta Kawasan Hutan Lindung seluas 15.252 hektar dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) / Koordinator Bidang Industri Pembangunan. 

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang alih fungsi kawasan hutan Taman Buru Pulau Rempang
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang alih fungsi kawasan hutan Taman Buru Pulau Rempang

Tiga tahun kemudian, barulah Wakil Ketua DPR / Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan menyetujui permohonan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut secara parsial, terdiri dari: (1) perubahan peruntukan Kawasan Konservasi Taman Buru Pulau Rempang yang semula diusulkan menjadi APL (DPCLS) seluas 7.560 hektar disetujui menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK); serta (2) perubahan peruntukan Kawasan Hutan di Batam untuk kepentingan fasilitas umum dan infrastruktur pemerintah yang masuk dalam kategori DPCLS seluas 330 hektar. Persetujuan oleh DPR tersebut ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan hingga akhirnya keluar penetapan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 272/MenLHK/Setjen/PLA.0/6/2018 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 330 hektar dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dari Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di Provinsi Kepulauan Riau.

Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 tersebut setidaknya menjadi bukti keluhan Gerisman Ahmad bahwa memang Kawasan Hutan Konservasi (Taman Buru) dan Kawasan Hutan Lindung di Batam dan Pulau Rempang telah diubah peruntukannya. Perubahan status Taman Buru yang menjadi bagian dari Kawasan Hutan Konservasi menjadi Hutan Produksi yang dapat Dikonversi ini telah membuat pemerintah selangkah lebih maju dalam mewujudkan kelancaran proyek pembangunan Rempang Eco-City.   

Buntut panjang berikutnya mengenai nasib Perkampungan Tua terjadi pada awal tahun 2002, Gerisman Ahmad menuturkan pada tahun itu keluar Surat Edaran Walikota Batam Nomor 09/TP/I/2002 tentang Tertib Pertanahan (Larangan Transaksi Tanah) di Pulau Batam, Rempang, dan Galang, ditujukan kepada seluruh camat, kepala desa, dan lurah. Ada tiga hal yang disampaikan dalam Surat Edaran itu. Pertama, untuk sementara waktu tidak diperbolehkan mengeluarkan surat keterangan atas tanah kepada siapapun baik badan hukum maupun perseorangan; kedua, tidak dibenarkan mengetahui pelepasan hak atau ganti rugi atas sebidang tanah; dan ketiga, agar para camat menginstruksikan hal tersebut kepada lurah/kepala desa di wilayah masing-masing. "Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan pulau sekitarnya ditetapkan sebagai daerah status quo. Kami tidak mengerti maksudnya bagaimana, tapi sejak tahun 1999 kami masyarakat Kecamatan Galang ditawari gabung ke pemerintah Kota Batam, dan setidaknya sejak saat itu, kami, masyarakat Kampung Tua, sudah menyadari pentingnya legalitas lahan di tempat kami. Kami belum memiliki surat-surat tanah, seperti surat tebas, alas hak, tapi tidak bisa kami urus karena ada Surat Edaran Walikota Batam tersebut," ujar Gerisman.

Selanjutnya, tahun 2022, lanjut Gerisman, lurah memberitahukan kepada RW, RT, dan warga tempatan mengenai program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria), yang kemudian masyarakat diminta meng-copy surat-surat tanah dan kebun sesegera mungkin dan dikumpulkan di kantor Pemerintah Kota Batam. "Kami sangat gembira, sampai tengah malam masih mengumpulkan data agar segera mendapatkan legalitas dan kepastian hukum dari pemerintah. Tapi sampai hari ini, program itu hilang tanpa ada kejelasan," katanya. Program TORA yang dimaksud diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yaitu tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang telah dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi (Pasal 1 Angka 4).

Sebagai gambaran, program TORA memiliki dua tahapan yang terdiri dari perencanaan reforma agraria dan pelaksanaan reforma agraria (Pasal 3). Kegiatan perencanaan meliputi perencanaan terhadap penataan aset, penataan akses, peningkatan kepastian hukum, penanganan sengketa, dan kegiatan lain yang mendukung reforma agraria (Pasal 4). Sementara itu, kegiatan pelaksanaan terdiri dari tahap penataan aset dan penataan akses (Pasal 5). Tahap penataan aset ini yang diduga sedang dilakukan di Pulau Rempang tahun 2022 kala itu yang membuat masyarakat, termasuk Gerisman, senang.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun