Cuaca buruk saat itu membuat cahaya di musim dingin menjadi lebih gelap pekat dari biasanya. Sepeda yang dikayuh Keisa goyah ke kanan dan kiri, Oleg bukan karena Keisa kurang fasih bersepeda, tapi karena angin yang bertiup cukup kencang hari itu. Pohon di jalanan yang hampir gundul karena daunnya berguguran tersapu suhu musim dingin, melambai-lambai seakan menghambat langkah Keisa berusaha menghentikan perjalanannya hari itu. Tapi Keisa tak peduli, ia tetap mengayuh sepedanya dengan sepenuh hati. Keisa tak ingin menunda semua tugas kuliah dan urusan lainnya, sebelum ia benar-benar kembali ke tanah airnya.
Kira-kira jam sepuluh malam Keisa menuntaskan segala hal yang perlu ia selsaiakan, termasuk mengosongkan loker yang sekian lama ia gunakan untuk menyimpan barang-barang keperluan kuliahnya, juga sempat berkutat di perpusatakaan sejenak untuk mengecek segala imformasi tentang segala hal yang berkaitan dangan bidang pendidikannya fakultas ekonomi.
Keisa orang yang paling akhir berada di kampus, karena cuaca buruk membuat kampus sepi hampir tak berpenghuni. Malam terasa seperti sudah sangat larut, kebetulan juga bulan itu bulan Januari yang memiliki jam malam terpanjang sebab singkatnya sinar matahari singgah di Bumi Belanda.
Entah kenapa pula akhir-akhir ini cuaca kerap aneh dan sulit diduga. Musim hujan yang biasanya sering terjadi di musim semi atau musim gugur, tapi kini di musim dinginpun masih sering diguyur hujan ditambah pula suara petir yang bersahutan membuat orang-orang makin enggan keluar rumah.
Saat Keisa keluar dari kampus hujan tak lagi turun sederas sebelumnya.
Gadis berperawakan bak peragawati dan berkulit halus dan mulus itu melangkah terburu-buru, menuju tempat sepedanya yang terparkir. Setelah Keisa membuka rantai kunci sepedanya, ia lalu menerebos hujan dan angin menuju apartemennya. Salahnya Keisa memiliki kebiasaan enggan mengenakan jas hujan, karena menurutnya hujan di Belanda tak akan membuatnya basa kuyup sebab udara di Belanda cepat mengeringkan tubuhnya karena cuacanya memang kering.
Hujan yang semula hanya rintik-rintik tiba-tiba menjadi sangat deras bagaikan dicurahakan dari langit, hal itu membuat Keisa mau tak mau menghentikan sepedanya sebab ia tak mau basah kuyup diperjalanan juga iar hujan terasa bagaikan air es. Keisa berniat akan memarkir kan saja sepedanya di halte trem terdekat, ia memilih akan menggunakan tream atau atau kereta listrik daripda kemalaman dan basah kuyup di jalan
Keisa memang sudah terbiasa ke kampus menggunakan sepeda, tapi kali ini ia harus menyerah pulang menggunakan trem karena hujan yang tak biasa dan perjalanan menuju apartemennya masih cukup jauh.
Gadis itu terlihat begitu terburu-buru ingin segera sampai di rumah setelah menyelesaikan semua urusannya, sebab esok hari ia akan segera mencari tiket untuk pulang ke tanah air.
Di saat Keisa sedang terburu-buru membelokan arah ke trema halte, mau tak mau ia harus melewati jalanan yang sepi melintasi bagian hutan kota Rotterdam yang sepi dan gelap.
Brug, sepeda Keisa tiba-tiba terjatuh tanpa memberikan waktu untuk berpikir kepada Keisa apa yang sedang terjadi, karena yang ia rasakan adanya tangan kokoh menyeretnya ke dalam hutan sambil menutup mulutnya dengan sangat kuat.
Â