Mohon tunggu...
Ely yuliana
Ely yuliana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tulisan saya banyak salah ketik 🙂

Kunjungi blog bacaan anak di https://www.dhiayasmeen.blogspot.nl

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fatamorgana Bahagia (Selingkuh Oh Selingkuh)

27 Oktober 2014   22:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:32 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, di luar permasalahan itu semua, watak dan sifat asli Marlin sendiri sebenarnya seorang wanita yang menyukai kesendirian, dan kurang menyukai hiruk pikuk.

Bukan karena Marlin tak mau terlibat pertemanan dengan orang banyak, tapi ia lebih menyadari kekurangannya yang  sangat mudah terpancing dan terbawa arus, suka ikut menggosip ketika sedang berkumpul bersama teman-temannya.

Oleh sebab ituia menghindari acara atau pertemuan yang dapat memancing terjadinya gosip-menggosip, karena yang ditakutkan Marlin, nantinya malah akan berujung pada pertengkaran.

Dan lagi, dengan banyak bergaul otomatis ia juga harus sering mengadakan pertemuan dengan acara makan-makan di luar rumah dan sebagainya, dan otomatis hal itu semua memerlukan biaya ekstra yang harus dikeluarkan, dari kebutuhan hari-harinya yang sudah cukup membebani dan membuat Marlin kewalahan mengatasi kekurangannya.

Marlin juga bukan tipe orang yang memiliki keberanian, untuk bepergian seorang diri. Sebab ia seorang wanita yang terbiasa dikawal suaminya ke mana-mana. Namun, teman-teman Marlin yang sempat dikenalnya itu tak mau tau dan selalu berusaha membujuknya, untuk memasukan Marlin ke dalam lingkungan atau kelompok di grup pertemanan mereka.

Padahal, ketika Marlin mengenal teman yang jumlahnya hanya satu dua itu, sudah sejak awal ia mengingatkan, bahwa ia tidak ingin banyak mengenal teman dari temannya itu. Bagi Marlin cukup dia saja, tidak usah dijadikan mata rantai ke pertemanan selanjutnya.

Marlin menyadari, dengan kekurangannya yang suka mudah terpancing untuk bergosip ria, khawatirkan akan menjurus ke arah pertemanan yang tidak sehat dan terjadinya pertengkaran. Dan sebab itulah yang menjadi kendala Marlin, dan ia akhirnya memutuskan memilih lebih banyak menyendiri.

“Kita berniat mengadakan pesta kejutan mba," ucap Nen teman Marlin di telepon, ketika ia mengajak Marlin untuk ikut merayakan pesta kejutan ulang tahun teman baiknya, yang tak punya cukup dana untuk merayakan pesta ulang tahun sendiri.

Dan kami sebagai teman baiknya, melakukan pesta ulang tahun tersebut secara gotong-royong, memasak makanan yang kami bagi menunya di rumah masing-masing. Kemudian kami akan mengadakan acara pesta kejutan itu, di rumah si teman kami yang baik itu.

"Ok, aku harus masak apa toh Jeng Nen?" tanya Marlin kepada temannya yang bernama Nen itu.

"Mba Marlin masak apa juga enak tuh. Oh ya, kalau begitu, kita bagi saja ya setiap orang memasak satu menu untuk Mer," ucap Nen, teman Marlin dianggapnya cukup pintar, cekatan dan rajin.

Acara pesta begitu sukses dan meriah. Si Mer yang berulang tahun, kebetulan biasa bekerja di hari Sabtu Minggu sebagai tukang bersih-bersih di Belanda. Jadi kami bebas merias dan mempersiapkan acara kejutan pesta ulang tahun di rumahnya.

Mer, adalah anak yang disukai di kelompok pertemanan Marlin pada saat itu. Karena Mer terkenal banyak beramal dan suka membantu ibu-ibu yang membutuhkan tenaga bantuannya.

Mer juga sebetulnya sedang kuliah di Belanda, tapi berhubung ia bukan berasal dari keluarga yang cukup kaya, dan ia akhirnya nyambi melakukan pekerjaan bersih-bersih di rumah orang kaya di Belanda.

Namun, sayangnya grup yang cukup solid dan begitu menarik itu menurut Marlin, harus bubar jalan juga karena terjadinya perseteruan antar teman satu dengan yang lainnya.

Marlin sebenarnya paling menyukai Nen di dalam grup itu. Nen anak yang sosial, baik, juga pintar. Namun sayangnya pertemanan itu kini hampir kandas, karena Nen bersahabat dengan teman yang tak disukai oleh Marlin.

Daripada Marlin harus terus menahan sebal terhadap teman Nen yang masuk ke pertemanan itu, lebih baik Marlin mundur dan kembali menyendiri di sudut rumahnya, seperti dulusebelum mengenal Nen yang Marlin sukai.

Ada yang menarik dari sistem pertemanan ibu-ibu Indonesia itu di mata Marlin. Mereka suka sekali bergerombol seperti sekawanan semut, membentuk grup di bawah pengaruh seseorang.

Ketika di dalam pertemanannya itu ada orang yang dianggap sebagai kepala suku, diseganidan dipuja karena faktor tertentu seperti kekayaan dan kelebihan lainnya, mampu menarik simpati orang karena harta yang dimiliknya, ia seakan dianggap layak untuk ditetapakan secara tak tertulis sebagai sang pemimpin.

Karena hal di atas tadi, tak jarang pula membuat para ibu-ibu itu tanpa berfikir panjang dan meraba ulang keberadaan dirinya, bahwa mereka adalah manusia bebas yang tidak perlu takut apalagi menjadi tergantung dan terbelenggu dengan sistem atau model pertemanan yang dikendalikan seseorang, hanya karena faktor kekayaan dan penampilan ngejreng orang itu.

Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka  rela menjadi manusia yang sangat tergantung dan ketakutan, dengan budaya ala pertemanan yang mereka terapkan. Budaya hutang budi dan menjadi budak dari sebuah pertemanan masih mendominasi sistem gaya pertemanan ibu-ibu yang datang dari Tanah Air di Belanda.

Saat seseorang terlihat kaya, cantik dan modis, ia akan menjadi sosok yang dikagumi hingga yang mengaguminya sendiri melupakan keberadaan dirinya, bahwa mereka sebagai manusia yang berada di dunia dan negara bebas, tak perlu lagi melihat apa-apa dari bungkus dan kekayaan orang itu.

Tetapi kenyataannya, pemikiran seperti itu masih mendominasi pemikiran dan gaya pertemanan kebanyakan ibu-ibu yang datang dari negeri Marlin, hingga tak jarang mereka melupakan keberadaan mereka sendiri, yang telah berada di dunia penganut sistem pluralisme. Malah mereka tak jarang memilih pertemanan yang mengikat, mengancam kebebasan, dan memberlakukan aturan yang tak tertulis, hanya karena si temannya itu bisa membeli mereka dengan sejumlah sogokan, ditambah dengan penampilandan kekayaan orang itu.

Tak jarang pula mereka rela seolah menjadi budak dan dengan mata hati yang seakan tertutup rapat, oleh pesona seseorang. Mereka mau saja mengikuti semua komando yang diinginkan oleh orang yang dianggapnya pemimpin.

Bahkan mereka sampai lupa, bahwa mereka jauh-jauh terbang dan hijrah dari Tanah Air ke Eropa, akan memiliki kelebihan terbebas dari budaya bergerombol, feodal, dan menjadi manusia yang terbebas dari budaya bullying. Karena semua kelebihan itu otomatis akan mereka dapatkan, di negara ini.

Ketika mereka telah berada di dunia yang tak memandang apa-apa lagi dari materi dan bungkus tampilan luar seseorang, seharusnya membuat mereka bisa lebih percaya diri, mampu berdiri di atas kaki kebenaran mereka sanggap benar, bukan malah sebaliknya.

Tapi menurut pandangan Marlin, kelakuan mereka malah sebaliknya. Di negara yang menganut paham kebebasan ini, mereka malah membawa budaya feodal dan budaya peradaban kuno yang kerap mengikat, membuat mereka tak mampu bergerak bebas dan leluasa, karena peraturan tak tertulis yang diterapkan dalam gaya pertemanan yang dibentuknya. Tentu saja hal itu sangat disayangkan oleh Marlin.

Itulah gaya pertemanan sebagian besar ibu-ibu yang datang dari Tanah Air, yang Marlin sempat ketahui terjadi di Belanda. Kadang Marlin merasa lucu, menyaksikan pola pertemanan mereka itu.

Contohnya, ketika si pemegang kekuasaan atau orang yang dianggap berkuasa dari grup pertemanan tersebut sedang merasa kesal kepada salah satu temannya, mereka tak segan akan mengucilkan temannya yang sedang tidak disukainya itu secara bergiliran.

Dan si pengikutnya atau teman yang telah mengalami hal yang sama, yakni pernah dikucilkan juga karena tak sepaham dengan kemauan si pemimpin, eh, ikut mengucilkan teman yang lainnya juga. Dan lucunya lagi, teman yang pernah dikucilkan di salah satu grup itu seakan lupa akan perasaannya sendiri, bagaimana rasanya ketika mereka  mengalami hal yang sama, ketika ia sedang dikucilkan teman-teman di grup pertemanannya itu.

Dan yang paling aneh lagi, katanya mereka tidak suka bila di antara anggota teman dalam grupnya ada yang bermulut ember atau tukang gosip, hingga tak jarang mereka akan menghindarinya, kalau ada orang yang dianggapanya bermulut ember atau BIGOS. Sementara orang yang jelas-jelas paling ember dan hobi sekali menggosipkan teman satu dan lainnya, selama orang itu mampu mengikuti gaya hura-hura mereka, pandai menjilat, bermuka dua,  royal, dan memiliki materi yang memadai untuk tetap exist di acara-acara yang berbau pesta dan sebagainya, tetap saja akan dianggap sebagai teman yang tak pernah terlihat comel oleh anggota grup dan pimpinannya.

Biar kata orang itu memiliki kebiasaan hobi gosip sampai berbusa-busa, tetap saja ia selamat melenggang masuk dan berada di dalam grup pertemanan mereka, tidak dianggap BIGOSalias biang gosip.

Dan yang lebih anehnya lagi, suami mereka kadang suka pula ikut-ikutan seperti sekawanan kelelawar yang terbang di waktu senja, bergerombol pindah mencari tempat makan dan mencuri buah di kebun Marlin pada zaman dahulu. Atau para suami Londo itu bagaikan kambing yang dicekokan jamu para istri mereka, mengekor ikut mengucilkan suami teman yang sedang tidak mereka sukai.

Mungkin para suaminya itu turut pula bergosip ria dengan para istri mereka,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun