Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Sudah tidak diragukan lagi popularitas Jokowi, yang menjabat sebagai walikota Solo selama 2 periode. Tahun 2012, ia mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sontak, wajahnya semakin sering muncul di televisi. Kiprah kepemimpinannya, di saat bangsa kehilangan figur pemimpin yang ideal, seolah menjadi oase di tengah padang sahara. Predikat positif yang tidak tunggal pun melekat padanya.
Pembaca juga boleh terkesima seperti saya ketika menyaksikan para pedagang di Solo. Mereka justru asyik menyaksikan prosesi pencontrengan Gubernur DKI di TV –sebagai dukungan untuk Jokowi, wali kota mereka– dibanding mengurusi dagangan mereka. Ternyata, mereka cukup rela jika pada akhirnya harus ditinggalkan pemimpin mereka yang bersahaja itu. Asal, untuk kepentingan yang lebih besar.
Demikian terkenalnya Jokowi, sampai saya harus menganguk-anggukan kepala ketika mendengar sebuah jawaban dari adik-adik TPA (Taman Pendidikan Alquran). Ketika saya bertanya siapa Gubernur DIY, mereka lumayan serentak menjawab, “Jokowi!” Ketika pertanyaan diulangi, saya tetap mendapatkan jawaban yang sama. Ternyata, Jokowi sudah merasuki alam bawah sadar anak kecil sekalipun.
Jokowi sebenarnya adalah akronim dari Joko Widodo. Sebutan ‘Jokowi’ seolah menjadi brand yang semakin menaikkan pamor Joko Widodo. Hal itu sama halnya dengan nama presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian disederhanakan menjadi SBY. Tesis sementara saya, jika ingin lebih dikenal mungkin butuh brand (nama) baru selain nama yang sesungguhnya. Pastinya, yang keren…
Jokowi memang manusia. Di balik kelebihan yang melekat padanya, pasti masih menyimpan banyak kekurangan. Namun, khalayak lebih nyaman memotret Jokowi lewat keberhasilannya memimpin rakyat Solo. Seorang teman pernah bercerita. Saking merakyatnya Jokowi, sampai kalau ada peresmian gapura sekalipun warga berani mengundangnya. Dan tidak jarang ia datang, menghadiri undangan tersebut.
Masyarakat dalam banyak kasus memang butuh kehadiran pemimpin secara langsung. Tidak cukup hanya diawasi lewat kursi kebesarannya. Pemimpin, bagi masyarakat, harus hadir di tengah hiruk-pikuk aktivitas mereka sebagai rakyat biasa. Dengan begitu, pemimpin akan merasakan sentuhan sebagaimana yang dirasakan oleh rakyatnya. Dan dalam konteks ini, Jokowi berhasil melakukannya.
Semoga benar, saya mendengar bahwa Jokowi juga tidak mengetahui secara pasti berapa besaran gajinya. Barangkali yang mengurusi gajinya cukuplah asisten pribadinya. Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran. Bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang fokus pada pengabdian melalui tahta kepemimpinannya. Ia sudah selesai dengan dirinya sendiri, termasuk tidak banyak acuh mengenai gaji yang diterimanya.
Untuk masalah gaji, memang tidak bisa digeneralisasi sebagai tolok ukur kewibawaan kepemimpinan seseorang. Pasalnya, Jokowi memang seorang pengusaha yang secara finansial pasti tidak mengalami masalah berarti. Bagi pemimpin yang bukan pengusaha, mengambil gaji tentu masih dalam batas kewajaran. Asal, hal itu dibarengi dengan kinerjanya yang maksimal. Teruskan langkahmu, Jokowi. Teruslah menjadi teladan bangsa! Amin. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H