"Semuanya." Jawabku lagi. "Lelah menjalani hidup, lelah menanti, lelah merindu, lelah semuanya..."Â
"Sakit?" tanyanya sedikit berempati.Â
Aku mengangguk, "Sangat...." jawabku pelan. "Tapi tak ada luka yang menganga. Tak ada darah yang mengucur... Otakku tak bisa memahami rasa sakit yang timbul tanpa adanya luka dan darah yang mengucur..." sambungku kemudian.Â
Perempuan dalam cermin itu menatap dengan sedikit gelisah, "Lalu, apakah kamu merasa perlu mencari luka?" tanyanya sedikit hati-hati.Â
Aku tertawa kecil, "Entah... Aku sendiri pun masih belum tahu." aku menjawab dengan sedikit mengawang. Lalu aku mengalihkan pandanganku ke tangan. Sebilah pisau terselip di sana. Aku diam sesaat. Menimbang-nimbang.Â
"Jangan!" cegah perempuan dalam cermin itu. Perempuan itu mengangkat wajahnya.Â
"Kenapa?" tanyaku dengan nada sedikit terganggu.Â
"Resapi saja sakitnya. Tak perlu mencari luka dan darah." jawab perempuan dalam cermin itu.Â
Aku menghela nafas panjang, "Tapi sakit tanpa luka mengangga dan tanpa darah itu absurd! Abstrak! Aku tak suka...." jawabku sedikit merajuk.Â
Perempuan dalam cermin itu menatapku lurus-lurus. "Ceritakan padaku..." katanya kemudian.Â
Aku membalas tatapannya, "Tentang apa?"Â