Mohon tunggu...
elde
elde Mohon Tunggu... Administrasi - penggembira

penggembira....

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dampak Dukungan PA 212 pada Prabowo

13 Maret 2019   06:04 Diperbarui: 13 Maret 2019   14:48 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak dipungkiri soal menghadirkan massa dalam acara tertentu, memang jagonya. Mobilisasi didatangkan dari berbagai daerah dan tidak luput dari balutan jubah agama. 

Sebagian di masyarakat kita memang masih ada yang mudah "tersentuh" sensitif bila sudah dikaitkan soal keimanannya. Namun kadang tidak sadar dan lupa agenda dibelakang yang menjadi tujuannya. Tidak jauh berujung hanya kepentingan politik semata.

Selain simpatisan dari kelompoknya sendiri, kehadiran massa dari partai politik yang berseberangan dengan petahana menambah jumlah kumpulan besar. Terlihat begitu wah dan berjubel sambil beberapa diantaranya menampilkan simbol 2 jari. 

Militansi pendukungnya soal kumpul-kumpul, memang patut diacungi jempol. Itulah gambaran sekilas acara-acara yang diimotori oleh PA 212 dan biasanya menggunakan simbol agama sebagai bumbunya. 

Tapi benarkah fakta yang terlihat dibanding realitas sebenarnya? Bahwa pendukung atau simpatisan murni PA 212 di Indonesia begitu besar dan masif seperti terlihat saat mereka kumpul bersama? Jawabannya simpel dan tegas. Tidak!

Bisa dilihat analisanya begini. Seperti diketahui afiliansi politik dari kelompok PA 212 kebanyakan disalurkan lewat parpol berbasis agama. Namun dari berbagai hasil survei, terlihat bahwa elektabilitas parpol nasionalis masih merajai perolehan suara. 

Sebut saja 5 besar dipegang oleh PDIP, Gerindra, Golkar, PKB dan Demokrat. PKB walau bisa dikategorikan juga berasal dari kelompok berbasis agama karena lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), tapi sikap nasionalismenya untuk menjaga Pancasila dan NKRI tidak perlu diragukan lagi. 

Jadi bisa diartikan kekuatan PA 212 tidak seperti yang dibayangkan orang. Berjumlah wah seperti dikesankan jika sedang kumpul-kumpul dan mampu mengubah peta politik Indonesia. Mereka hanyalah kelompok kecil yang tidak signifikan jumlahnya.

Setidaknya kubu Prabowo pun mengakui hal itu. Terbukti saat Pilkada 2018 dimana Presidium Alumni 212 melalui Sekjen Forum Umat Islam Al-Khaththath mengusulkan 5 nama calon, tidak satupun yang direkomendasikan oleh Gerindra, PAN dan PKS. Tentunya hal ini berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihannya yang sangat kecil.

Belum yang dihasilkan lewat katanya Ijtima Ulama, dimana nama cawapres yang disodorkan juga tidak mendapat respon positif dari koalisi paslon 02. Tidak ditampungnya Salim Segaf dari PKS tapi malah Sandiaga Uno yang sama sekali tidak direkomendasikan. Bisa saja karena faktor kardus tapi nama Salim Segaf diperkirakan sangat sulit untuk menaikkan tingkat perolehan suara Prabowo.

Secara logika bila PA 212 atau GNPF Ulama memiliki massa pendukung yang masif dan banyak di Indonesia, Prabowo akan mengambil nama yang disodorkan oleh mereka. 

Jaminan kemenangan ada ditangan, tapi faktanya tidak dilakukan. Kalau alasannya soal dana, itu tidak perlu dirisaukan. Kan katanya selama ini tidak pernah ada sponsor, dana bisa didapat murni secara suka rela dari ummat sampai-sampai ada yang kasih iming-iming sorga untuk jihad. 

Dukungan PA 212 serta simpatisannya bagi kubu Prabowo, secara hitungan tidak mendongkrak banyak suara. Sebaliknya bahkan bisa menggembosi. Penggembosan suara bisa dari kaum nasionalis dan religius yang tidak terafiliasi pada partai politik yang masih setia dengan Pancasila versi sekarang sebagai idiologi negara.

Sudah menjadi rahasia umum, ada beberapa kelompok simpatisan dibelakang PA 212 diantaranya masih belum selesai terkait idiologi negara.   

Kelompok yang menginginkan kembalinya Pancasila seperti tercantum di Piagam Jakarta, mensyaratkan Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Indonesia Bersyariah), bahkan ada juga yang menginginkan digantinya sistem negara dengan khilafah.

Akibatnya masyarakat yang sudah alergi dengan kelompok-kelompok tersebut dan dalam pandangan mereka dianggap intoleran, akan berpikir ulang memilih Prabowo. 

Kekhawatiran bila Prabowo menang, dengan sendirinya kelompok ini akan lebih leluasa menjalankan misinya bila berada dilingkar kekuasaan.

Nasionalisme Prabowo pun menjadi dipertanyakan. Kenapa merangkul orang-orang yang tidak sepemahaman dalam memandang idiologi dan sistem kenegaraan yang sudah berjalan hanya demi mencapai kekuasaan. 

Hal yang sah-sah saja sebenarnya dilakukan, tapi pandangan mayoritas masyarakat akan berbeda. Stigma negatif akan muncul khususnya datang dari masyarakat nasionalis yang tetap menginginkan Pancasila dan NKRI apa adanya.

Dukungan PA 212 akan menjadi bumerang bagi Prabowo. Perlawanan bisa datang dari masyarakat nasionalis non parpol dan swing voter yang tidak men-toleransi adanya elemen masyarakat yang ingin menggerogoti idiologi Pancasila. Kegagalan kembali di Pilpres 2009 dan 2014 kiranya hanya menunggu waktu  hingga 17 April nanti...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun