Mohon tunggu...
elde
elde Mohon Tunggu... Administrasi - penggembira

penggembira....

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cicip Nasi Rames Seharga 210.000 IDR

31 Maret 2016   11:15 Diperbarui: 31 Maret 2016   20:41 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="rumah makan Indonesia di Berlin...foto.elde"][/caption]Ini cerita untungnya bukan terjadi di Indonesia. Kalau ada orang jualan nasi rames seharga 210 ribu apalagi di warung atau rumah makan pinggiran jalan, dipastikan cepat gulung tikar. Pengalaman makan nasi rames ketika kemarin liburan di Berlin. Jerman. Bermula selasa minggu lalu, sewaktu habis jalan-jalan dan siangnya beli döner kebab, kaget juga ketika melihat sepintas tayangan televisi di tempat tersebut terkait adanya pengeboman yang terjadi di bandara Brussel, Belgia. Karena merasa sedikit lelah dan pingin sedikit istirahat, akhirnya kami memutuskan pulang ke hotel sekalian mengikuti kelanjutan aksi teror ini dari televisi.

[caption caption="meja bar di tuk tuk restaurant..foto.elde"]

[/caption]Sambil nonton televisi di kamar, kami pun menyusun rencana sorenya mau jalan kemana. Tiba-tiba muncul ide spontan untuk makan di restauran Indonesia, malam terakhir di Berlin pingin juga merasakan masakan tanah air yang ada di kota ini. Mencari informasi dan buka-buka internet menemukan 3 rumah makan yang lokasinya tidak terlalu jauh.

[caption caption="salah satu ruangan restauran..foto.elde"]

[/caption]Ada 3 restauran yang kami temukan dan semuanya mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Satu diantaranya hanya menjual makanan ringan semacam bakso, siomay, mie ayam dan sejenisnya, tempat lain kemungkinan karena kursi yang ada tidak banyak tapi padat pengunjung maka harus reservasitempat dulu, yang terakhir cukup komplit jenis masakannya dan tidak perlu memesan tempat sebelumnya.

[caption caption="dekorasi dari bambu...foto.elde"]

[/caption]Kami pun akhirnya memilih yang terakhir untuk mudahnya saja dan juga karena masakan yang ditawarkan lebih bervariasi. Melihat gambar di web restauran tersebut juga cukup menarik juga. Dekorasi didalam ruangan hampir semuanya menggunakan bahan bambu. Terdapat lukisan dan patung yang berasal dari Indoensia sebagai hiasan. Khas tanah air yang membuat suasana seperti di negara sendiri. Selain itu dari membaca rekomendasi di portal tripadvisor,website pariwisata yang cukup ternama di Jerman, kesan yang ditampilkan juga cukup bagus.

[caption caption="sate ayam yang digoreng?..foto.elde"]

[/caption]Akhirnya sekitar jam 5 sore kami berangkat naik U-Bahn dan cukup mudah untuk menemukan restaurant tersebut. Sewaktu masuk sudah ada satu meja pengunjung pasangan dari Indonesia. Basa-basi sebentar dan say hello,selanjutnya mencari tempat duduk. Cukup luas juga tempatnya dan ada sekitar 20-30 meja.

Datang seorang karyawan yang memberikan menu makanan. Banyak pilihan yang ditawarkan, selain makanan khas Indonesia, juga minumannya seperti teh jahe ada juga. Anak-anak memesan sate ayam, istri pilih udang pedas dan saya sendiri nasi rames Jawa. Melihat harga yang tertera 14€ atau sekitar 210.000 rupiah, yang termasuk tidak murah untuk nasi rames, bayangan akan mendapatkan kelezatan asli masakan Indonesia sudah membuat ngeces. Apalagi ditambah minum bir bintang, sekedar tombo kangen.

[caption caption="nasi rames ala berlin...foto.elde"]

[/caption]Ketika makanan datang porsi yang disajikan tidak terlalu besar. Untuk sate dengan bumbu kacang yang seharga 8€ diisi 4 tusuk dan dagingnya lumayan gede-gede. Hanya saja nasi rames penyajiannya lain dengan yang biasa ditemukan di Indonesia. Yang ini isinya sayuran semacam cap cay, daging sapi dimasak manis dengan potongan kecil-kecil, ditambah 2 sate ayam dan daging bebek goreng, serta krupuk.

Rasa cukup lumayan tapi untuk lidah yang menginginkan nasi rames asli, kurang memuaskan. Apalagi sate ayam sepertinya tidak dibakar atau dipanggang tapi kemungkinan digoreng. Untuk keseluruhan rasa, bagi lidah orang barat mungkin tidak bisa membedakannya tapi bagi orang Indonesia, kurang pas. Dengan harga 210.000 rupiah ini kalau dibelikan nasi kucing angkringan di Jogja, pastinya dapat lebih banyak dan rasa pun dijamin asli.

Disela kesibukan sekitar 9 meja yang terisi pengunjung dan kebanyakan warga lokal Jerman, saya sempat juga ngobrol dengan pemiliknya yang orang Jakarta dan bilang bahwa restaurant ini sudah ada sekitar 32 tahun. Dia sendiri adalah pemilik tangan kedua setelah membeli dari pendirinya. Sekitar tahun 1994-1997 dia sempat juga tinggal di München dan menganggap München masih lebih enak untuk tempat tinggal daripada di Berlin.

[caption caption="Brandenburger Tor berlin...foto.elde"]

[/caption]Setelah kenyang dan sedikit terobati rasa kangen masakan Indonesia, kami pun kembali ke hotel. Melihat televisi lagi sekitar jam 21.00 dan ada tayangan bahwa di Brandenburger Tor dimana biasanya sering digunakan tempat melakukan bermacam aksi kegiatan masyarakat Berlin, ada orang-orang yang sedang berkumpul memberikan simpati pada korban bom di Brussel. Kami pun lalu keluar lagi memutuskan untuk ikut bergabung.

[caption caption="lilin yang membentuk huruf BXL...foto.elde"]

[/caption]Brandenburger Tor yang dibangun tahun 1788 dan dijadikan sebagai simbol persatuan nasional inipun disinari dengan warna bendera Belgia, hitam, merah dan kuning. Hanya saja warna kuning entah karena pencahayaan atau efek lain, sedikit terlihat jadi kehijauan. Susana pun hening dan sebagian orang menyalakan lilin sebagai tanda duka dan simpati pada masyarakat sesama Eropa.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun