[caption caption="foto: focus.de"][/caption]Sejak peralihan kekuasaan tampuk pimpinan kerajaan Saudi Arab, politik agresif untuk menjadi negara paling berpengaruh di semenanjung Arab dan disegani dunia, Saudi menerapkan beberapa kebijakan politik berbahaya bagi negara lain. Selain disinyalir sebagai penyandang dana terbesar kelompok teroris, juga menerapkan perang minyak yang bertujuan menjatuhkan negara saingannya.
Produksi minyak besar-besaran yang belum pernah dilakukan dalam sejarah oleh pemerintah kerajaan menjadi salah satu pemicu rendahnya harga minyak di pasaran. Sampai saat ini harga bahkan sampai dibawah 40 USD/barrel. Selain dimaksudkan untuk menyaingi produksi minyak Amerika ada maksud juga menjatuhkan secara ekonomi negara Rusia dan Iran yang dianggap sebagai musuhnya.
Bagi negara pengimport minyak tentu saja hal ini sangat menguntungkan, namun tidak bagi pengekspor semacam Rusia, Iran dan Venezuela yang menggantungkan perekonomian negaranya kebanyakan dari sumber emas hitam tersebut. Guncangan ekonomi dirasakan di negara-negara tersebut.
"Keberhasilan" politik yang dilakukan oleh Saudi Arab dengan melemahkan Rusia dan Iran, namun harus dibayar mahal juga di dalam negerinya sendiri. Perlahan dan pasti negara kerajaan ini juga akan mengalami defisit keuangan. Seperti pernah diramalkan oleh beberapa pengamat dan saya tuliskan dalam artikel fakta-di-balik-kemegahan-arab-saudi. Rendahnya harga minyak tentu saja menyebabkan kurangnya pemasukan yang didapat negara tersebut. Untuk memenuhi standart keseimbangan belanja negara, Saudi Arab membutuhkan patokan harga minyak minimal 82 USD/barel.
Senin kemarin di Riyadh, menteri perekonomian Saudi Arab telah mengumumkan akibat rendahnya harga minyak menyebabkan rapor merah tahun 2015 dan negara mengalami defisit keuangan sebesar 90 milyard USD. Target pemasukan 148 milyard euro yang dicanangkan, ternyata tidak terpenuhi. Defisit keuangan yang juga diperkirakan akan dialami tahun depan sebesar 87 milyard USD. Pemasukan keuangan paling rendah sejak 2009 ketika perekonomian dunia mengalami krisis global.
Langkah penghematan yang dibebankan pada rakyatnya mulai dilakukan. Kenaikan harga bensin lebih dari 50% diberlakukan sejak selasa hari ini. Subsidi dalam bidang listrik, diesel dan air juga akan dikenakan biaya lebih mahal, termasuk transportasi umum. Tidak menutup kemungkinan kerajaan pun diperkirakan akan mulai menerapkan sistem pajak penghasilan yang selama ini belum pernah ada.
Ambisi pemerintah Saudi Arab untuk menjadi negara "super power" di kawasan jazirah Arab dengan menerapkan berbagai cara politik, rupanya menjadi bumerang bagi masyarakatnya. Kehidupan perekonomian yang selama ini adem ayem mulai sedikit terusik dengan kenaikan kebutuhan sehari-harinya. Apabila harga minyak tidak segera stabil dan belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak diseimbangkan, bukan hal mustahil seperti yang diramalkan oleh beberapa pengamat ekonomi bahwa negara petro dollar ini akan mengalami kebangkrutan dan menjadi negara yang pantas untuk mendapat hutangan. Bangkrutnya suatu negara tentu juga bakal ada efek samping bagi rakyatnya. Biasanya akan diikuti oleh gejolak sosial yang tidak akan bisa dihindari lagi. Antisipasi dini seharusnya sudah mulai dilakukan oleh negara ini.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H