Mohon tunggu...
elde
elde Mohon Tunggu... Administrasi - penggembira

penggembira....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan "Pembiaran" Kasus Setya Novanto

23 November 2015   16:00 Diperbarui: 23 November 2015   19:12 3687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="cdn.tmpo.co"][/caption]Koalisi Merah Putih (KMP), kembali kali ini akan mengalami ujian kepercayaan publik atas kasus yang sedang menimpa Setya Novanto. Ketua DPR dan juga kader Golkar ini dianggap sudah terlalu jauh mencampuri masalah yang bukan wilayah kewenangan legislatif sebagai jabatan yang diembannya. Membicarakan perpanjangan kontrak PT. Freeport yang akan berakhir tahun 2021 dan diduga telah mencatut nama presiden beserta wakilnya dalam pembicaraan dengan pihak PTFI. Dalam transkrip yang sudah menyebar ke publik, ditemukan adanya pembicaraan permintaan saham di "obrolan warung kopi" tersebut, hingga muncul istilah "Papa Minta Pulsa" dan menjadi trending topik media sosial.

Keheranan sebagian masyarakat pun muncul melihat sikap presiden Jokowi walaupun namanya dikabarkan dicatut tapi kelihatan adem ayem saja. Bahkan beliau secara guyonan sempat mengutip istilah "Papa Minta Saham" dengan gaya khasnya.

Beberapa waktu lalu sehabis masa pilpres, Elde sempat menulis dan memprediksi bahwa kepemimpinan Jokowi akan banyak menuai permasalahan. Kehebohan dikalangan atas akan terus muncul menyangkut masalah politik dan segala intrik-intrik didalamnya. Hal ini sebagai wujud adanya sikap perlawanan terhadap Jokowi yang akan membenahi birokrasi dan menghentikan praktek para pemburu rente. Orang-orang yang semula bisa tidur nyenyak dan tidak pernah terusik dengan bisnis hitamnya dipastikan akan kebakaran jenggot.

Hal yang tidak bakal terjadi jika Jokowi bersikap sama seperti pendahulunya dan lebih memilih merangkul mereka untuk kepentingan kekuasaan agar mendapat dukungan demi kelanggengannya. Kondisi yang kelihatan adem ayem tapi menyimpan bom waktu yang bisa suatu saat meledak. Tidak beda dengan model rezim Orba dulu. Ledakan hebat yang bisa mengancam perekonomian negara.

Diyakini bahwa Jokowi sendiri sudah bisa memetakan orang-orang yang tidak beres dan sering bermain dengan proyek, baik dilingkup kekuasaan maupun yang berada diluar. Namun cara menyelesaikan yang dipakai berbeda jauh tidak seperti yang dilakukan oleh Ahok untuk membongkarnya. Bukan gaya Ahok yang blak-blakan dan konfrontatif langsung menunjuk hidung, tapi lebih menggunakan cara halus.

Menyikapi kasus Setya Novanto, beliaupun bereaksi tidak segarang seperti wakil presiden Jusuf Kalla yang begitu menggebu hingga menyarankan kasus ini dibawa ke ranah hukum. Ada semacam pembiaran melihat sikapnya, lebih memilih banyak diam dan menyerahkan mekanisme prosesnya yang sudah masuk pembahasan di MKD.

Ini semacam strategi yang digunakan untuk bisa menguak dan melihat orang-orang yang suka bermain proyek. Tanpa harus repot mengotori tangan, pihak-pihak yang berseteru dibiarkan saling membongkar borok lawan. Jokowi tinggal memetakan orang-orang yang terlibat dan perlu diwaspadai sambil cengengesan.

Perlawanan sudah ditunjukkan oleh pendukung Novanto yang mulai mengungkit keberadaan Sudirman Said. Dari surat pada Freeport tentang janji penataan ulang dan revisi kontrak karya, hingga keterlibatan persekongkolan dengan Rini Soemarno, JK and his geng. Sebenarnya jika dikaitkan dengan isu transkrip pembicaraan Setya Novanto dengan pihak Freeport, tidak ada hubungannya. Namun ada semacam misi dilakukan oleh mereka untuk membentuk opini publik agar jangan percaya pada omongan maling, bahasa kasarnya seperti itu.

Misal saja seperti Fadli Zon yang membawa surat Sudirman Said pada Freeport dan tertanggal 7 Oktober. Kenapa hal ini baru dipermasalahkan saat ada kasus yang menyangkut Setya Novanto. Ada kesenjangan waktu hampir 2 bulan. Jika apa yang dilakukan Sudirman Said dianggap sebagai pelanggaran hukum, harusnya sejak awal harus diusut. Lewat pemanggilan di DPR atau menyerahkan masalah pada penegak hukum. Tapi kenapa baru sekarang dan dijadikan bahan untuk menyerang Sudirman Said karena dijadikan alasan sebagai pembelaan pada teman seperjuangan di KMP. Ini juga lucu.

Dalam kasus Setya Novanto inipun bagi KMP adalah simalakama. Dukungan yang diberikan akan menjadi bumerang. Apabila MKD memutuskan lagi bahwa tidak bersalah dan hanya mendapat teguran ringan, menandakan betapa besarnya kekuatan pada diri ketua DPR. Namun publik akan menilai dan bisa saja menghukum dengan cara lain terhadap parpol dan orang-orangnya yg tergabung dalam KMP.

Namun sebaliknya apabila MKD sampai memberikan keputusan pemecatan, ini suatu tamparan keras bagi KMP karena terbukti ketidak setujuan diangkatnya Setya Novanto sewaktu dipilih ketua DPR yang disuarakan oleh beberapa elemen masyarakat, bahkan KPK menengarai Novanto kemungkinan bisa terjerat masalah hukum menjadi terbukti. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus-kasus lain yang pernah menyeret namanya. Akibat pernyataan KPK inipun tidak menutup kemungkinan salah satu yang menyebabkan para pimpinannya dilengserkan. Namun orang lebih banyak menyoroti dan mengaitkan hal ini dengan kasus Budi Gunawan yang akan dilantik menjadi Kapolri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun