Mohon tunggu...
elde
elde Mohon Tunggu... Administrasi - penggembira

penggembira....

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Belum Pernah Ngalamin Pemadaman Listrik, Tapi....

26 Juli 2015   16:00 Diperbarui: 26 Juli 2015   16:13 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sempat beberapa hari gak nengok kompasiana, blog kesayangan bersama kita semua. Babu Njerman ini lagi disibukkan dengan kerjaan ngosrek wc yang menyita waktu, hingga tak sempat menyapa tulisan2 teman lewat komentar. Sebagai yang tertuduh salah satu anggota gerombolan voter, juga tidak bisa meninggalkan jejak memberikan vote inspiratif, menarik, bermanfaat maupun aktual di lapak rekan-rekan. Maafkan diri ini..hiks.

Sedikit cerita tentang masalah listrik di Jerman yang mungkin bisa dijadikan perbandingan dengan kondisi tanah air di daerah tertentu yang kadang masih byar pet. Sejak bermukim di negara ini, khususnya kota München, belum pernah sekali pun mengalami pemadaman. Listrik jalan terus 24 jam seharinya tapi tarifnya juga juga bisa bikin merem melek.

Listrik disini sudah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Hampir segala aktivitas membutuhkan tenaga listrik ini. Selain untuk mempermudah dan mempersingkat waktu bagi pekerjaan rumah tangga, juga sangat dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian Jerman yang mengandalkan dari sektor industri.

Penggunaan listrik untuk kebutuhan rumah tangga tidak ada batasan, tidak seperti di Indonesia yang masih memakai sistem jatah. Misalnya tiap rumah hanya mendapatkan 900 watt dan seterusnya. Disini yang hampir semua peralatan menggunakan listrik dan biasanya memakan watt besar, orang bebas bisa sesukanya memakai tanpa ada kekhawatiran listrik akan padam karena melampaui kapasitas.

Hanya saja sistem ini juga ada jeleknya. Orang kadang tidak bisa mengkontrol penggunaannya hingga kaget sewaktu mendapat tagihan rekening listrik. Ini seperti yang terjadi pada saya. Sewaktu beberapa waktu lalu menerima perincian yang dihitung setiap tahunnya, ada kenaikan mengejutkan. Penggunaan listrik tahun lalu sudah melampaui diatas rata-rata kebutuhan rumah tangga.

Memang ada semacam tabel penggunaan lisrik yang disarankan dari pihak pemasok agar orang bisa mengkontrol penggunaannya. Dari orang yang tinggal sendirian sampai beberapa orang penghuninya di rumah, ada catatan tersendiri. Jika sudah melampaui batas rata2 penggunaan, orang pun jadi berpikir nantinya diharapkan bisa lebih berhati-hati dan melakukan pengiritan. Misalnya di rumah saya dihuni 4 orang dan batas rata2 penggunaan seharusnya maksimal 8.509 kWh, namun tahun lalu mencapai 8.849 kWh. Biaya pun membengkak menjadi 2.078,61€ atau sekitar lebih 30 juta/tahunnya. Harga yang harus dibayar akibat tidak bisa mengkontrol penggunaan.

Penggunaan listrik di rumah memang besar. Dari mesin pemanas lantai dan untuk air panas yang selalu jalan, hanya di musim panas saja untuk pemanas lantai atau ruangan ini akan mati secara otomatis dan juga mesin cuci. Selain itu yang memakan banyak listrik adalah semua peralatan yang ada di dapur. Dari kompor, kulkas, oven, mesin pencuci piring sendok, microwave hingga perebus air. Dengan peralatan yang serba listrik ini memang orang menjadi dimudahkan kegiatannya dan tidak makan waktu lama, hanya saja penggunaan listriknya yang banyak karena memerlukan watt juga besar..

Untuk saat ini saya pun sedang mencari faktor apa yang menyebabkan kenaikan tersebut. Ada perkiraan kemungkinan karena seringnya menggunakan oven atau microwave. Akhir-akhir ini memang jarang masak dan lebih sering menggunakan kedua barang tersebut. Misalnya tiap pagi untuk bekal makan anak-anak di sekolah, membeli roti yang belum jadi yang dibekukan lalu dimasukkan ke oven. Selain itu saya sendiri yang memiliki lidah jowo bila tidak makan makanan panas, rasanya kurang mantap. Apalagi tidak begitu menyukai roti dan segala jenisnya. Bila belum ada nasi yang masuk perut, rasanya ada yang kurang. Untuk memanaskan maka selalu menggunakan microwave ini.

Setiap tahun memang ada kenaikan tarif listrik yang terjadi, bila tidak ngirit akan boros juga. Kenaikan yang disebabkan Jerman mulai mengurangi pembangkit dengan tenaga nuklir. Keputusan yang dilakukan tahun 2011 dan merencanakan paling lambat 2022 tidak lagi menggunakan PLTN. Faktor yang menentukan membuat pengkajian setelah adanya bencana nuklir di Fukushima, Jepang. Apabila ini terjadi di Jerman maka kerugian yang akan ditanggung tak ternilai. Beberapa pembangkit sudah mulai tidak diaktifkan lagi. Untuk memenuhi pasokan beberapa daerah, Jerman saat ini masih membeli dari negara tetangga seperti dari Perancis. Jumlah yang ada sekarang tinggal 9 pembangkit listrik tenaga nuklir yang masih aktif dan selanjutnya akan diganti dengan sistem yang lebih beresiko kecil juga ramah lingkungan.

Hal berbeda yang saya dengar dari pemberitaan di tanah air. Ada rencana pembangunan pembangkit listrik yang akan menggunakan tenaga nuklir. Kemungkinan berhitung untuk biaya dianggap lebih murah, namun jika terjadi kecelakaan seperti di Fukushima, nilai yang harus dibayar tak terhitung termasuk bila ada korban jiwa akibat radiasi. Jerman yang notabene minim dengan bencana alam saja sudah memperhitungkan besarnya dampak yang ditimbulkan dan akan menghentikannya secara total, menjadi pertanyaan kenapa Indonesia yang sering mengalami bencana alam malah berani membangun pembangkit listrik dengan tenaga nuklir ini...

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun