Asih memejamkan mata, menulikan sejenak pendengarannya. Jenuh, bosan dengan pertanyaan yang sama. Sebenarnya ingin ia teriak, haruskah semua menanyakan pertanyaan yang sama setiap tahunnya. Inilah yang membuatnya semakin enggan pulang kampung saat masa masa mudik tiba. Sungguh, Asih terlalu rindu pada Ibu dan Bapaknya, juga kedua adik lelakinya yang kini mulai beranjak remaja. Tapi, sekali lagi rasa enggan itu pasti mengusiknya, tiap kali mengingat disaat keluarga besarnya berkumpul, pertanyaan kapan ia menikah pasti lagi lagi terlontar. Ringan bagi mereka yang menanyakan, tapi sungguh berat bagi Asih untuk menjawabnya.
Asih kini 30 tahun, bukan usia muda bagi perempuan sebayanya di kampung. Perawan Tua? Asih tak lagi bisa marah bila ada yang mengatakannya. Pasrah, walau pahit tapi memang itulah adanya. Terkadang ada yang bilang dirinya terlalu pilih pilih. Tidak seperti Milah, teman sepermainannya yang penurut ketika orang tuanya menjodohkannya dengan Hamdan, yang tidak pernah dikenal Milah sebelumnya. Dulu saat Asih masih 18 tahun, Ibunya pernah pula berniat menjodohkan dirinya dengan Priyo, lelaki tampan anak pak Kyai. Asih berusaha menerima pendekatan yang dilakukan Priyo, yang menurut Asih lelaki yang sangat baik. Tetapi entah kenapa, sebaik apapun Priyo padanya, hatinya tidak tergerak sedikitpun. Cinta? Bukan Asih mengidolakan kata kata itu. Hanya saja, Asih sungguh tak bisa menerima kehadiran Priyo. Hingga pada akhirnya Priyo lebih memilih pergi, putus asa dalam penantian dan harapannya dapat meminang Asih.
Sempat Ibu marah, mendiamkannya karena ketidakpeduliannya pada Priyo, apalagi setelah itu Asih malah memilih pergi ke kota, mencari pekerjaan dan melanjutkan kuliah dengan biayanya sendiri. Tapi itu adalah pilihan hidup Asih, karena ia ingin nasib keluarganya di kampung bisa berubah. Benar rupanya keputusan Asih kali ini. Dengan modal kenekatannya, sekarang ia bahkan sudah memiliki apartemen mewah di kota. Juga bisa menghidupi keluarganya di kampung dengan sangat baik dan lebih dari cukup.
Cinta itu bukan tak pernah datang kepadanya. Asih merasakan dan tenggelam dalam cinta tatkala ia berkenalan dengan Puguh, lelaki paruh baya yang bisa membuat hari hari Asih terasa lebih berwarna. 2 tahun sejak menjalin hubungan dengan Puguh, beragam rencana untuk menuju ke pelaminan sudah mereka persiapkan berdua. Tapi, siapa yang bisa menolak takdir? Asih hanya bisa menangis pilu di depan pusara Puguh, yang mengalami tabrak lari ketika hendak menjemput Asih dari tempat kerjanya.
Sekian tahun dalam kesendirian, cinta itu tak pernah pudar. Asih masih merasa hanya Puguh seorang lelaki dalam hatinya. “Nduk, kapan kamu nikah?” diam....... hanya itu yang bisa Asih lakukan. Tanpa bisa menjelaskan seberapa dalam luka hatinya karena kepergian Puguh. Tak kuasa ia menceritakan alasan sebenarnya kepada Ibu atau yang lainnya. Cincin itu, pemberian Puguh ketika melamarnya dulu, hingga kini masih setia melingkar di jarinya. Cinta Puguh, tidak akan pernah tergantikan bagi seorang Asih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H