Weleri - Kendal : Dalam rangka memasuki Tahun Baru Jawa atau biasa disebut awal 1 sura, beberapa daerah khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur biasanya mengadakan aneka kegiatan mulai dari tirakatan, wayangan hingga kirab. Kegiatan - kegiatan tersebut diadakan sebagai ungkapan syukur karena masih diperkenankan memasuki tahun yang baru dan juga doa memohon kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik di tahun yang baru. Beberapa waktu yang lalu, dalam memasuki Tahun Baru Jawa 1949 tepatnya pada hari Selasa, 13 Oktober 2015 , gereja St. Martinus Weleri Kendal mengadakan upacara ruwatan, misa tirakatan sura dan Lampah Ratri (jalan dalam keheningan).
Meskipun kegiatan di Gereja St. Martinus Weleri tersebut baru akan diawali pukul 18.00, umat sudah mulai berdatangan 1 jam sebelum kegiatan berlangsung. Umat yang datang mayoritas mengenakan pakaian tradisional Jawa atau batik. Tepat pukul 18.00 ,kegiatan di Gereja St. Martinus dimulai dengan suatu tembang Jawa yang dinyanyikan oleh Romo Simon dan diiringi oleh gamelan cokekan yang tahun ini didatangkan langsung dari Bantul Yogyakarta. Setelah tembang Jawa dinyanyikan, dilanjutkan dengan upacara ruwatan dipimpin oleh Romo Simon Atas yang merupakan romo dari gereja tersebut yang dibantu oleh Ki Bawono Projoprakosa dan Ki Wisessa Budi Nurani. Bagi masyarakat jawa, makna ruwatan tersebut adalah membuang sukerta/ kesialan bagi anak/orang sukerta. Upacara ruwatan tersebut terdiri dari beberapa prosesi seperti sungkem pada orang tua, menginjak bambu, siraman, pemotongan rambut, pelepasan kain mori dan diakhiri dengan larungan. Pada upacara ruwatan kali ini, larungan diadakan setelah semua rangkaian acara selesai dan dilaksanakan di Sendang Sikucing.
Setelah upacara ruwatan selesai digelar, maka diadakan misa tirakatan sura berbahasa Jawa di dalam gereja yang dipersembahkan oleh Romo Simon Atas Wahyudi. Dalam khotbah, Romo Simon mengatakan bahwa rangkaian upacara ruwatan dan misa sura ini adalah bentuk inkulturasi budaya Jawa dimana Gereja Katolik menerima dan menghargai kebudayaan Jawa. Beliau juga mengatakan bahwa ruwatan boleh diadakan sebelum atau setelah misa dan tidak boleh dijadikan satu dengan misa. Beliau juga menyampaikan bahwa misa sura ini diadakan setiap tahun sebagai bentuk syukur dan doa permohonan untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dan juga bagi Bangsa Indonesia dalam kerangka keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Di akhir khotbahnya, Romo Atas mengajak semua orang yang hadir disana untuk mengikuti Lampah Ratri atau jalan dalam keheningan memutari Weleri dan berdoa untuk kota Weleri agar aman,damai, sejahtera dan dilimpahi berkat dari Tuhan. Misa tirakatan ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Gereja Kristen Jawi Wetan dan tokoh masyarakat setempat.
Setelah misa tirakatan sura selesai, sebagian besar umat yang diperkirakan sekitar 200 - 300 orang keluar dari gereja dan bersama - sama berjalan kaki dalam keheningan mengitari kota Weleri dan melalui jalan utama penghubung kota Weleri dan kota lainnya. Kegiatan Lampah Ratri tersebut mendapat pengamanan dari Polsek Weleri. Pengamanan juga dilakukan oleh security dan tim panitia. Karena kegiatan tersebut berlangsung pada malam hari tepatnya antara jam 9 malam, maka kegiatan tersebut tidak sampai menimbulkan kemacetan lalu lintas. Keramahan penduduk Weleri sangat terasa dan harmonisasi kerukunan antar umat beragama di Weleri juga terlihat dari kegiatan Lampah Ratri tersebut.Â
*) Dok. Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H