Mohon tunggu...
Lourdes Florentine Mariso
Lourdes Florentine Mariso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

écriture [Personal Blog]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Benarkah? Bila Begitu, Dengarlah

16 Agustus 2013   22:00 Diperbarui: 10 April 2016   17:49 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hubungan antar manusia memang merepotkan. Tapi, kita tak bisa hidup sendiri."

Banyak bagian hidup yang masih bisa saya menangkan. Mungkin Anda telah menang dan saya telah kalah untuk pertandingan ini. Tapi percayalah, saya akan memenangkan bagian ini pula kelak. Meskipun saya takkan jadi Juara Pertama. Sebab saya dalam jalan menuju kemenangan itu. Hanya saja saya tidak tersandung, melainkan terperosok jatuh dalam jurang dimana gemanya tak mampu meraih gendang telinga mereka yang tengah berlari ataupun sibuk bersorak mendukung Anda.

Kita tak pernah saling mengenal satu sama lain. Maka dari itu, berhati-hatilah dengan apa yang Anda katakan. Anda belum pernah berada di titik saya dahulunya, bahkan untuk menyentil garis tepi dunia saya saja Anda tidak sanggup. Bagaimana mau duduk dan menyaksikan apa yang saya hadapi? Pun dengan saya yang belum sanggup melompati langkah Anda yang lebih maju dari saya. Langkah yang memenangkan babak ini. Tapi saya tetap menjadi saya tanpa mencoba untuk berpikir apa yang Anda pikir. Sedangkan Anda berpura-pura mengerti apa yang saya rasakan. Membentuk kesimpulan-kesimpulan dari persepsi Anda yang absurd dan tak mendasar dengan alibi tahi kucing yang Anda pikir saya banget. Kadal!

Ya, tunggulah. Saya akan menang meski terlambat. Seperti yang saya bilang tadi, saya sedang memanjat untuk kembali pada lajur pertandingan itu. Mencari akar-akar pohon tunggang yang kuat pada lereng untuk saya jadikan penopang. Memukul jantung saya untuk berhenti merintih di antara sakit yang berpendar di sekujur tubuh. Mengumpulkan tenaga untuk mencapai titik jalur yang lekang selama ini. Walaupun titik-titik itu tak sama dengan Anda, sang pemenang.

Kini, Anda sudah mendapatkan penghargaannya; suami yang sangat mencintai Anda, dan buah hati yang sangat Anda cintai. Saya pernah nyaris mendapatkan pemberian itu jua. Nyaris saja. Andai Tuhan bukanlah sang pencipta yang *maaf* serakah dan cerdas. Mungkin kata Anda itu hanya cobaan, ujian untuk memastikan seberapa jauh ketunggalan iman ysng benar-benar satu pada Tuhan. Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Terserah. Sebab hal terindah yang pernah saya ingat adalah ketika saya menahan pilu di dapur. Mendengar sunyi yang menghantarkan energi yin pada diri saya. Meminta izin untuk meruntuhkan ketegaran saya hingga akhirnya saya tersungkur. Menyadari saya sendiri dan sendiri. Ya, saya terisak dan sendiri. Tak seorangpun tahu, kecuali Anda.

Tuhan memang terlalu pintar untuk memutar bola kehidupan ini. Menjadikan salah satunya adil dan yang lainnya tidak. Kamu memang menang, berhasil. Tapi jarang ada perempuan yang berhasil seperti Anda dengan mudahnya, mendapatkan sepupu saya yang gentle itu. Atau mungkin nasib saya yang sial dengan mendapatkan lelaki sundal tak beradab yang pernah satu kali saya cintai dengan seluruh pemaknaan tanpa syarat. Lelaki aib yang tidak saya sangsikan untuk hampir melepas karier, mimpi sejak kecil, dan segalanya. Lelaki brengsek yang memberkati rahim perempuan lain.

Saya sangat setuju dengan pernyataan Anda sebenarnya. Akan tetapi, saya bukanlah sosok yang sanggup hidup bersama kelas mamalia bergenus homo. Saya rasa lebih banyak perselisihan paham, dituntut bertenggang rasa, mengikuti etika untuk meninggikan kelas sosial, mengerti tanpa dimengerti, mendengar melulu pesakitan batin; pada intinya ialah menjadi pihak minoritas yang tertindas. Lantas, untuk apa saya hidup jikalau hanya sebagai pelengkap? Cukup untuk melapangkan dada. Saya akan jauh lebih mati bila terus seperti itu.

Mungkin saya memang bodoh dengan melemparkan diri secara tidak langsung ke dalam jurang tapi biarlah begitu adanya. Saya tidak ingin didikte. Saya ingin berlari menggunakan pemikiran saya, bukan orang lain. Oleh karena itu, biarlah saya menanggung seluruh resikonya tanpa harus menyalahkan siapapun. Ya, sekali ini saja. Mengapa orang-orang tidak memperbolehkan saya jatuh untuk berdiri lebih tegak? Entahlah, rasanya saya juga berada di minggu-minggu tersulit kala itu. Menemukan kekerasan hati pada diri saya dan dirinya hingga waktu terbelah, masing-masing tangan terbuka untuk membuat pintu di antara jarak yang beku. Enam bulan. Pintu berbeda yang menyatukan kembali setelah beberapa kali pasang ombak tak menyapa. Benar, tak lama setelah kami memantapkan hati untuk berhenti bersikap angkuh pada Tuhan; Tuhan menjawab.

Saat itu, Bait Allah kosong. Gempita dengan bunga-bunga di ujung kursi panjang, lilin yang siap menarikan api di kedua sisi dinding, karpet merah di sepanjang koridor, bahkan korpus dalam keesaan yang tak tertebak. Kami tepat berada di altar. Hening. Sedang melukiskan kesiapan untuk menghadapi esoknya. Namun, perempuan dengan janin yang berumur tua itu datang dan memohon agar membatalkan acara itu. Kucari pasti dalam mata lelaki bajingan itu. Ya! Iya mengiyakan atas apa yang terjadi di antara satu dan enam bulan itu. Penyebab kelahiran yang tak lama lagi disambutnya dengan perempuan itu, bukan dengan saya!

Anda tahu? Saya mengenal perempuan itu yang dulunya merupakan teman sekamar saya di asrama, tepatnya saat SMA. Perempuan yang saya kenalkan kepada lelaki jahanam itu. Dan dengan entah bagaimana mereka membangun hubungan yang jauh dari dugaan saya. Mengapa saya tidak melabeli perempuan itu dengan umpatan sedangkan lelaki binatang itu terlabel selalu? Haha sebab sudah terlalu banyak umpatan yang saya bingkaikan pada perempuan itu dulunya. Sebuah permainan yang saya kira hanya dimonopoli oleh satu pihak dan itu adalah pihak ketiga. Ternyata, ban serep hanyalah ban serep jika tanpa kehadiran dongkrak.

Saya tidak tahu kabar mereka lagi. Terakhir kali, saya merutuki orangtua janin itu dengan berdoa di patung Bunda Maria di gereja itu, supaya nanti besarnya takkan menjelma jalang seperti mereka. Perempuan berhasil itu menangis seolah-olah saya manusia terkeji yang membentuk rangkaian kata pada Tuhan secara dosa. Lah, memang dimana salah saya? Bukankah lebih bersalah bila saya menyumpahi kandungan tak berdosanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun